Kami adalah manusia berdosa. Kami mohon ampun padaMu, ya, Tuhan. Kami bersyukur atas semua kebaikanMu. Ya, Tuhan, terima kasih atas Panen Sagu ini. Tuhan baik dan kami manusia berdosa.
Syair di atas adalah terjemahan bagian dari sebuah lagu tradisional yang dinyanyikan oleh suku Asmat ketika masa panen sagu tiba. Kira-kira seperti ini lirik lagu tersebut apabila diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Sebuah lagu yang sangat religius, di mana pengakuan dosa menyatu dengan ucapan syukur mendalam atas berkat panen sagu yang telah dianugerahkan Tuhan Semesta Alam.
Lagu ini biasa dinyanyikan bersamaan dengan tarian yang dilakukan atas dasar ungkapan syukur terhadap limpahan berkat Tuhan.
Nyanyian Pesta Ulat Sagu merupakan bagian dari Pesta Panen Sagu yang biasa dilakukan suku Asmat ketika mereka mulai menuai hasil perkebunan sagu mereka. Lagu ini biasa dinyanyikan bersamaan dengan tarian yang juga dilakukan atas dasar ungkapan syukur terhadap limpahan berkat Tuhan. Seperti kita ketahui, sagu adalah makanan pokok bagi sebagian besar penduduk Papua, termasuk suku Asmat. Oleh karena itu, sagu memiliki arti penting di dalam kelangsungan hidup suku Asmat dan keberadaannya dianggap merupakan anugerah dari Sang Pencipta.
Dalam Pesta adat Panen Sagu, nyanyian ini dinyanyikan oleh kaum pria sambil memainkan alat musik tifa. Atmosfer etnik dan penuh spiritualitas terpancar ketika lagu ini mulai diinyanyikan dari mulut tetua-tetua adat suku Asmat. Mereka juga sesekali mengucapkan lantunan mantra yang berisi doa terhadap Yang Maha Kuasa sembari para wanita menggoyangkan pinggul mereka dalam alunan nada musik tersebut. Nanyian dan tarian Pesta Ulat Sagu adalah sebuah kombinasi luar biasa yang memberi gambaran jelas betapa suku Asmat begitu menghormati dan menghargai Sang Pencipta beserta alam indah di sekitar mereka.
Di zaman yang serba modern ini, jarang sekali ditemui nilai-nilai spiritualitas seperti yang dimiliki Suku Asmat ini.
Sebenarnya ada sebuah nilai luhur yang dapat kita pelajari dari nyanyian Pesta Ulat Sagu ini. Bila ditelaah lebih lanjut, isi lagu ini adalah ucapan syukur yang didahului dengan permintaan ampun atas dosa-dosa yang suku Asmat telah lakukan. Hal ini adalah sebuah perwujudan dari kearifan lokal yang mereka miliki dimana mereka mengakui posisi mereka sebagai manusia biasa yang penuh dosa dan tidak akan pernah bisa untuk menjalani hidup tanpa kehadiran Sang Mahakuasa. Pengakuan dosa terlebih dulu, setelah itu pengucapan syukur atas berkat yang begitu berlimpah dalam kehidupan mereka. Harus kita akui bahwa di zaman yang serba modern dan penuh sekularitas ini, sangat jarang sekali akan kita temui nilai-nilai spiritualitas seperti yang dimiliki Suku Asmat ini.
Memang saat ini hampir sebagian besar suku Asmat sudah memeluk agama-agama modern. Warga Asmat modern sudah banyak mengenal dan memeluk agama-agama seperti Katolik, Kristen Protestan dan beberapa meyakini Islam sebagai imannya. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa animisme dan dinamisme adalah keyakinan yang sudah dianut oleh para leluhur serta nenek moyang mereka sejak purbakala. Inilah yang membuat spiritualitas Asmat menjadi unik dalam perwujudannya sebagai tarian atau nyanyian mistis di upacara-upacara adat mereka. Bahkan, seringkali nilai-nilai luhur kearifan lokal yang Asmat punya justru tergali dari keyakinan kuno mereka ini.
Seringkali nilai-nilai luhur kearifan lokal yang Asmat punya justru tergali dari keyakinan kuno mereka ini.
Nada-nada Asmat ini akan selalu bergema di dalam kehidupan Suku Asmat. Mereka akan selalu menjaga nilai-nilai luhur ini untuk terus bertahan dari terpaan zaman yang semakin modern. Keinginan mereka sederhana, yaitu agar nyanyian beserta nilai di dalamnya ini menjadi sebuah warisan mutakhir bagi generasi penerus mereka. Mereka ingin anak cucu mereka mampu menjalani kehidupan sebijak mereka bahkan melebihi generasi-generasi sebelumnya. [@phosphone/IndonesiaKaya]