Kepala naga terangkat, mengangguk-angguk, menyorong, dan mengibas-kibas. Sesekali, keluar asap dari mulutnya. Tubuh sang naga kemudian meliuk-liuk membentuk kelokan atau gelombang yang harmonis. Sebuah suguhan dari tari naga atau biasa disebut liang liong yang cukup membuat decak kagum penonton.
Tari naga diwarnai aksi akrobatik yang membutuhkan konsentrasi tinggi, kekompakan, dan disiplin. Sebab, tari naga dibawakan secara beregu yang memainkan belasan tongkat pada badan naga. Gerakan mereka dikomandoi oleh pemain yang mengendalikan kepala naga.
Para penari juga perlu memiliki stamina prima dan tenaga ekstra agar bisa mengangkat dan memainkan naga yang berat dan panjang. Sebelum bermain, mereka akan berlatih koreografi. Dan tak kalah penting, menjalani ritual agar pertunjukan berjalan lancar.
Sama seperti barongsai, tari naga sering dimainkan pada perayaan Tahun Baru Imlek dan Cap Go Meh.
Sama seperti tari singa atau barongsai, tari naga sering dimainkan pada perayaan Tahun Baru Imlek dan Cap Go Meh. Di dalam pertunjukan, tari naga akan diiringi kelompok musik yang terdiri dari instrumen tambur, gong, dan simbal. Musik pengiring akan ditabuh sekeras-kerasnya. Dan para penari akan mengikuti ketukan dari musik tersebut.
Filosofi Barongsai, Lebih dari Sekadar Tarian Perayaan Imlek
Secara mitologi, naga digambarkan sebagai makhluk yang tangguh dan bermartabat tinggi. Naga adalah simbol kekuatan supranatural yang amat berpengaruh bagi kehidupan. Menurut antropolog James Danandjaja dalam Folklor Tionghoa, sejak zaman dahulu di Tiongkok, naga selalu menjadi lambang kekuasaan terpenting dan dihubungkan dengan kekaisaran. Naga dianggap sebagai binatang baik dan membawa keberuntungan serta menurunkan hujan yang dibutuhkan untuk mengairi pertanian Tiongkok dan menyebabkan kehidupan.
Naga dianggap sebagai binatang baik dan membawa keberuntungan.
“Karena naga diyakini dapat mendatangkan hujan, mengubah ukuran tubuhnya, serta dapat muncul dan lenyap sekehendak dirinya, kekuasaannya untuk mengendalikan tenaga-tenaga alam dapat merefleksikan kekuasaan kaisar di dunia,” ungkap Danandjaja. Tak heran jika semua alat-alat kekaisaran seperti bendera kebangsaan, harta milik kaisar, serta jubah kaisar hingga para pejabatnya diberi tanda pola naga.
Penghormatan terhadap naga kemudian mewujud dalam tari naga. Menurut Faustinus Hadinata Muliawan dan Suwardana Winata dalam Tempat Pertunjukan Kesenian Khas Tionghoa di Glodok di jurnal Stupa Vol. 2 No. 1, April 2020, corak naga dibuat dengan menggabungkan gambaran berbagai hewan: tanduk dari rusa jantan, telinga dari banteng, mata dari kelinci, cakar dari harimau, dan sisik dari ikan. Semuanya melengkapi tubuhnya yang mirip ular raksasa.
“Dengan ciri-ciri ini, naga dipercaya sebagai makhluk amfibi dengan kemampuan untuk bergerak di tanah, terbang di udara, dan berenang di laut; memberikan mereka peranan sebagai penguasa langit dan hujan,” tulis Faustinus dan Suwardana.
Tari naga dipercaya berasal dari zaman Dinasti Han.
Tari naga dipercaya berasal dari zaman Dinasti Han (180-230 SM). Lalu populer di masa Dinasti Song (960-1279 M) dan sering tampil pada perayaan-perayaan yang meriah.
“Dipercaya bahwa pada mulanya tarian ini adalah bagian dari kebudayaan pertanian dan masa panen, di samping juga sebagai salah satu metode untuk menyembuhkan dan menghindari penyakit,” tambah Faustinus dan Suwardana.
Di Indonesia, setiap kelenteng, baik besar maupun kecil, memiliki kelompok tari naga sendiri. Tari naga menyemarakkan perayaan-perayaan penting. Sang naga tidak saja beratraksi di satu tempat, tapi juga diarak keliling permukiman. Di tengah atraksi atau arak-arakan, masyarakat dapat memberikan angpao dengan memasukkannya ke mulut naga. Memberi angpao dipercaya dapat meningkatkan hoki si pemberi.
Setiap kelenteng di Indonesia, besar maupun kecil, memiliki kelompok tari naga sendiri.
Sama seperti barongsai, tari naga mengalami masa-masa suram di awal Orde Baru karena adanya larangan terhadap segala hal yang berkaitan dengan Tionghoa. Setelah reformasi, tari naga memperoleh kembali kebebasannya. Pemainnya bukan hanya orang Tionghoa. Corak dan warna naga pun kian beragam.
Sudono, Suhartono, dan GR Lono Lastoro Simatupang dalam Pertunjukan Liong dan Barongsai di Yogyakarta: Redefinisi Identitas Tionghoa di Jurnal Panggung Vol. 23 No. 2, Juni 2013, menunjukkan perubahan itu. Warna liong beraneka ragam dengan hiasan-hiasan sesuai selera masing-masing. Misalnya, terdapat liong yang tak punya sisik tapi dihiasi warna loreng, seragam militer Indonesia.
“TNI Angkatan Darat, Kodam Diponegoro, termasuk salah satu instansi pemerintah yang memiliki kelompok permainan liong ini. Kelompok ini tetap mempertahankan identitas mereka melalui uniformnya yaitu doreng,” tulis Sudono, Suhartono, dan GR Lono Lastoro Simatupang.
Kodam IV/Diponegoro memiliki kelompok dengan nama Liong Naga Doreng, yang dimainkan anggota kesatuan Batalyon Artileri Pertahanan Udara Sedang (Yon Arhanudese) 15 di Semarang, Jawa Tengah. Dalam laman resminya disebutkan kelompok ini berdiri pada 3 Desember 2003. Tujuannya sebagai wadah pengembangan seni dan bakat prajurit, alat pembinaan teritorial, dan alat pemersatu bangsa.
Kesatuan TNI di daerah lain juga memiliki dan memainkan tari naga. Polri tak mau kalah. Brimob Yogyakarta, misalnya, memiliki Naga Teratai.
Tari naga sudah menjadi bagian dari kekayaan budaya Indonesia.
Selain corak dan warna, bentuk liong berubah. Giginya tak menunjukkan kekuatan. Tanduknya lebih kecil. Keempat kaki tak memperlihatkan cakar. Tak ada lagi bulatan intan di tengah-tengah kedua matanya. Gerakan dan tarian yang diperagakan pun kian variatif tanpa menghilangkan gerakan standar seperti liong sedang tidur dan melintir-lintir seperti spiral (hoo pak).
Di Malang, Jawa Timur, muncul akulturasi tari naga (dan juga barongsai) ke dalam pertunjukan bantengan. Hanifatia A. Radhia, Rizki Pradestiyan Putra, dan Ary Budiyanto dalam Ketika Naga dan Singa Menari dengan Banteng: Pelestarian Tarian Barongsai dan Liong di Bantengan Malang menyebut kesenian liong ditampilkan tanpa meninggalkan ciri khasnya. Kehadiran wujud naga memperkaya kisah dan karakter pertunjukan bantengan. Proses kreatif itu, menurut mereka, “Menunjukkan bahwa harmonisasi dan toleransi untuk saling menghargai agar eksis dan lestari.”
Tari naga bukan lagi miliki orang Tionghoa. Ia sudah menjadi bagian dari kekayaan budaya Indonesia.