Sate Bulayak, Sajian Khas Lombok yang Lezat dan Sarat Sejarah - Indonesia Kaya

Cari dengan kata kunci

sate_bulayak_1200.jpg

Sate Bulayak, Sajian Khas Lombok yang Lezat dan Sarat Sejarah

Di balik kesederhanaannya, sate bulayak menyimpan perpaduan rasa yang kaya—serta sejarah panjang dari dapur masyarakat Lombok.

Kuliner

Jangan mengaku sebagai penggemar sate sejati jika belum mencicipi sate bulayak, salah satu kuliner andalan dari Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB). Sekilas, satenya memang tampak seperti sate pada umumnya. Namun yang membedakannya adalah bumbunya—benar-benar lezat dan kaya rasa. Bahkan, tak jarang orang justru menghabiskan bumbunya sampai tetes terakhir, meski satenya sudah tandas.

Sate sendiri telah lama menjadi bagian dari kekayaan kuliner Indonesia. Hidangan berbahan dasar daging yang ditusuk dan dibakar ini bisa ditemukan di hampir seluruh penjuru Nusantara, dengan beragam variasi sesuai daerahnya. Sejumlah versi tentang asal-usul sate pun beredar. Salah satu versi yang paling populer menyebut bahwa sate merupakan adaptasi dari kebab, makanan khas Timur Tengah.

Dalam bukunya Balinese Food: The Traditional Cuisine and Food Culture of Bali, Vivienne Kruger menjelaskan bahwa kata “sate” berasal dari bahasa Tamil, sathai, yang berarti daging. Istilah ini merujuk pada potongan daging berbumbu yang dipanggang di atas tusuk kayu, lalu dicelupkan ke dalam saus sebelum disantap.

Kata “sate” berasal dari bahasa Tamil, sathai, yang berarti daging.

Orang-orang Tamil diyakini terinspirasi dari cara mengolah daging kebab khas Turki dan Arab—yang diperkenalkan oleh para saudagar Arab ke Asia Selatan. Selama era perdagangan antara abad ke-7 hingga ke-14, dan terutama pada gelombang terbesar di abad ke-19, budaya ini turut dibawa ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Para pedagang Tamil yang singgah di berbagai wilayah Indonesia memperkenalkan teknik memasak ini, yang kemudian bertransformasi menjadi sate—salah satu hidangan olahan daging yang kini dianggap sebagai bagian tak terpisahkan dari kuliner asli Indonesia.

“Kepulauan Indonesia, faktanya memiliki sejumlah besar sate dalam berbagai bentuk dan kombinasi daging, serta spesialisasi sate regional yang dipengaruhi oleh gaya dan bahan masakan di daerahnya,” ujar Kruger.

Di Indonesia, ada begitu banyak jenis sate yang dikenal luas—mulai dari sate Padang, sate Madura, sate Maranggi, sate buntel, hingga sate lilit. Salah satu yang tak kalah menarik adalah sate bulayak, sajian khas dari Lombok, Nusa Tenggara Barat. Hidangan ini dinamakan demikian karena disajikan bersama bulayak, lontong beras ketan yang dibungkus daun aren atau enau.

Keunikannya terletak pada bulayak, lontong mungil berbentuk mengerucut yang dibungkus secara spiral.

Secara tampilan dan bahan, sate khas Lombok ini memang mirip dengan sate pada umumnya—terbuat dari potongan kecil daging ayam, sapi, atau jeroan yang ditusuk dan dibakar. Namun keunikannya terletak pada bulayak, lontong mungil berbentuk mengerucut yang dibungkus secara spiral. Untuk menikmatinya, daun pembungkus perlu diputar terlebih dahulu, sesuai dengan arti katanya: bulayak, yang berarti “memutar” dalam bahasa lokal.

Tekstur bulayak terasa lebih lembut dibanding lontong biasa, dengan cita rasa gurih dan aroma khas dari daun enau. Saat dibuka, keharumannya langsung menyambut, menambah daya tarik dari hidangan sederhana ini.

Kelezatan lainnya datang dari bumbu kacang yang menyertainya. Tidak seperti bumbu sate pada umumnya, saus ini dibuat dari kacang tanah yang disangrai, lalu ditumbuk dan dimasak dengan santan serta berbagai rempah seperti ketumbar, jintan, bawang merah, bawang putih, lada, kemiri, cabai, dan air jeruk nipis. Rasa akhirnya mengingatkan pada bumbu kari, namun dengan sentuhan pedas yang lebih menonjol—karakter khas dari masakan Lombok yang kaya rasa.

Rasa akhirnya mengingatkan pada bumbu kari, namun dengan sentuhan pedas yang lebih menonjol.

Untuk menikmati sate khas Lombok ini, cukup buka daun yang melilit bulayak, lalu celupkan lontong tersebut ke dalam saus kacang. Perpaduan antara gurihnya bulayak dan pedasnya saus kacang menciptakan kombinasi rasa yang sederhana namun memikat.

Di balik kelezatan sajian ini, tersimpan sejarah yang cukup panjang. “Pada awalnya, sate bulayak dibuat oleh masyarakat Kecamatan Narmada, Lombok Barat. Sate ini disiapkan pada saat odalan (upacara keagamaan umat Hindu) di pura,” tulis Eni Harmayani dkk dalam Makanan Tradisional Indonesia Seri 1.

Sejalan dengan catatan tersebut, laman resmi Pemerintah Kabupaten Lombok Barat menyebutkan bahwa hidangan ini telah lama dikenal oleh masyarakat dan menjadi bagian dari upacara adat. Berbeda dengan penyajiannya saat ini, dahulu sate bulayak dihidangkan bersama saur (parutan kelapa berbumbu), kacang kedelai, dan urap jambah. Semua sajian disusun di atas dulang (wadah khas), lalu ditutup dengan tebolaq—tutup saji khas Lombok yang dihiasi kaca cermin dan keke (kerang).

Hidangan ini telah lama dikenal oleh masyarakat dan menjadi bagian dari upacara adat

Elemen hiasan tersebut pun memiliki makna simbolis. L. Pangkat Ali, Pranata Humas Pelaksana Lanjutan Pemerintah Kabupaten Lombok Barat, menjelaskan bahwa kaca cermin dimaksudkan sebagai pengingat bagi penyantap agar tidak berlebihan hingga kekenyangan, yang dipercaya dapat menimbulkan penyakit. Di saat yang sama, cermin juga mengajak untuk bersyukur, karena makanan yang disajikan adalah karunia dari Sang Khalik. Sementara itu, kerang (keke) melambangkan kematian—sebuah pengingat akan kefanaan hidup.

“Kedua media, antara cermin dan kerang ini memberi peringatan, jangan terlalu banyak makan, apalagi sampai sakit. Akibatnya kematian yang datang menjemput,” kata Ali.

Akibat perkembangan globalisasi, nilai-nilai filosofis yang menyertai sajian ini perlahan terkikis.

Akibat perkembangan globalisasi, nilai-nilai filosofis yang menyertai sajian ini perlahan terkikis, bahkan nyaris punah dimakan zaman. Kelengkapan menu pun tak lagi seperti dulu. “Sayur, urap jambah, dan kacang kedelai tidak lagi ditemukan. Yang tersisa hanya sate dari daging kambing atau sapi, bumbu kuah, cabai hijau, dan bulayak,” ujar Ali.

Meski demikian, sebagai kuliner khas Lombok, sate bulayak tetap sayang untuk dilewatkan. Menemukannya pun tidak sulit. Penjual sate ini bisa dijumpai di berbagai sudut Kota Mataram, serta di sejumlah objek wisata seperti halaman Pura Lingsar, Taman Narmada, Taman Suranadi, Makam Loang Baloq, hingga kawasan Pantai Senggigi.

Informasi Selengkapnya
  • Indonesia Kaya

  • Indonesia Kaya

  • Vivienne Kruger, Balinese Food: The Traditional Cuisine and Food Culture of Bali
    Eni Harmayani dkk, Makanan Tradisional Indonesia Seri 1.
    L. Pangkat Ali, Pranata Humas Pelaksana Lanjutan Pemerintah Kabupaten Lombok Barat,