Tetralogi Laskar Pelangi, Buku Karya Andrea Hirata - Indonesia Kaya

Cari dengan kata kunci

Tetralogi Laskar Pelangi, Buku Karya Andrea Hirata

Tetralogi Laskar Pelangi, Buku Karya Andrea Hirata

Tetralogi yang mengajak para pembacanya untuk berani mewujudkan mimpi, meski kesulitan hidup kerap menerjang.

Kesenian

Tanpa mimpi, orang seperti kita akan mati….”

Dalam satu baris dialog singkat itu tertanam kuat pesan Tetralogi Laskar Pelangi, yaitu jangan remehkan kekuatan mimpi. Karena, dari mimpilah seorang anak pulau yang berasal dari keluarga proletar berpenghasilan pas-pasan akhirnya bisa kuliah di negeri seberang.

Dari mimpilah seorang anak pulau yang berasal dari keluarga proletar berpenghasilan pas-pasan akhirnya bisa kuliah di negeri seberang. 

Ironisnya, anak tersebut—Ikal, alter ego Andrea Hirata sang penulis—justru berasal dari daerah yang memiliki kekayaan alam melimpah. Pulau Belitung merupakan ladang timah, tetapi keuntungannya justru diraup oleh kaum kapitalis yang notabene bangsa sendiri. Tak ayal, sebagian besar penduduknya hidup dalam kemiskinan.

Meski begitu, berkat mimpi, situasi hidup seseorang bisa diubah. Andrea Hirata memilih optimis. Walau kondisi tak optimal, secercah harapan tetap dapat diraih.  

Coming-of-Age

Empat novel Indonesia terbitan Bentang Pustaka ini bisa disebut sebagai kisah coming-of-age, yakni genre yang merunut proses pendewasaan seseorang dari masa kecil atau remaja. Laskar Pelangi juga menjadi semacam autobiografi tentang sang penulis asal Belitung yang kemudian mengenyam pendidikan tinggi di Sorbonne, Prancis.  

Kisah nyata tersebut dirangkum dalam gaya penulisan yang cerdas, imajinatif, jenaka, menyentuh, dan dibumbui oleh elemen fiktif. Namun, elemen tersebut tak membuatnya jadi terlampau fantastis. Karena, alur cerita dan penokohan Laskar Pelangi dan novel-novel lanjutannya senantiasa terasa membumi yang disulut oleh semangat kekeluargaan dan persahabatan. 

Alur cerita dan penokohan Laskar Pelangi dan novel-novel lanjutannya senantiasa terasa membumi yang disulut oleh semangat kekeluargaan dan persahabatan. 

Setiap novel dari tetralogi Laskar Pelangi, yang telah diterjemahkan ke dalam 40 bahasa asing ini, menelusuri jenjang kehidupan tokoh-tokoh dari masa kecil Andrea. Saling terkait namun berdiri sendiri. Laskar Pelangi berkisah tentang masa kanak-kanak dan sekolah dasar sang tokoh utama; Sang Pemimpi berkisar pada kepelikan dan kenakalan masa remaja tokoh utama hingga akhirnya meraih beasiswa; Edensor memaparkan suka-duka hidup tokoh utama ketika menjadi mahasiswa di negeri orang; dan Maryamah Karpov mengembalikan tokoh utama ke dalam semangat cinta pada tanah kelahirannya. Sebuah struktur cerita lingkaran penuh

Tema dan kosakata yang dipakai di dalam tetralogi Laskar Pelangi memang terasa berat dan kompleks—lengkap dengan istilah ilmiah dan referensi nama-nama asing. Namun, pada saat bersamaan, tetralogi Laskar Pelangi juga termasuk mudah dibaca, karena kebanyakan babnya bersifat serial, ringan, dan tak terlalu panjang.   

Peran Penting Pendidikan 

Tetralogi bermula dari Laskar Pelangi, novel perdana Andrea Hirata yang berkisah tentang 10 anak siswa SD Muhammadiyah di Belitung. Sekolah ini reyot dan terancam tutup apabila tidak memiliki minimal 10 siswa. Di menit terakhir, jumlah itu tercapai—dan kesepuluh siswa itulah yang menjadi Laskar Pelangi, yaitu Lintang si jenius, Mahar sang seniman, Sahara yang keras kepala, A Kiong yang pemalu, Syahdan yang ceria, Trapani yang anak mami, Kucai yang politis, Borek yang jagoan, Harun yang jenaka, dan Ikal sang calon sastrawan (penulis yang menjadi narator cerita). 

Walau berpusat pada suka-duka kehidupan anggota Laskar Pelangi, novel ini juga menjadi surat cinta kepada kedua guru yang menjadi tokoh panutan Andrea, yaitu Ibu Muslimah Hafsari dan Bapak Harfan Effendy Noor. Keduanya tampil di dalam cerita dan bahkan dialokasikan dengan bab tersendiri. Andrea mendeskripsikan mereka sebagai “Ksatria tanpa pamrih, pangeran keikhlasan, dan sumur jernih ilmu pengetahuan di ladang yang ditinggalkan.” 

Walau berpusat pada suka-duka kehidupan anggota Laskar Pelangi, novel ini juga menjadi surat cinta kepada kedua guru yang menjadi tokoh panutan Andrea, yaitu Ibu Muslimah Hafsari dan Bapak Harfan Effendy Noor.

Selain kental akan tema edukasi, satu hal menarik lain dari Laskar Pelangi adalah ulasan kehidupan masyarakat di Pulau Belitung yang sebenarnya kaya akan timah—atau seperti dikatakan dalam novel, denyut nadi pulau. Timah tersebut dikuasai oleh PN (Perusahaan Negara) Timah yang berlaga laksana kolonialis era modern—merampas kekayaan alam negara jajahan lalu membangun wilayah tersendiri yang disebut Gedong dan terpisah dari rakyat sekitar. “Negeri asing yang jika berada di dalamnya orang tak akan berasa berada di Belitong. Tentu saja, penduduk asli pulau juga dipekerjakan oleh perusahaan tersebut. Tapi, sebagian besar hanya bekerja sebagai penambang.

Untungnya, hal tersebut tak mengurungkan niat belajar para anggota Laskar Pelangi, kendati kondisi sekolah mereka yang “Jika disenggol sedikit saja oleh kambing senewen ingin kawin, bisa rubuh berantakan.” Berkat niat serta dukungan kuat dari keluarga dan guru, kondisi sekolah yang menyedihkan sekalipun tak menghalangi semangat mereka untuk belajar. 

Memerdekakan Nasib

Sekuel kedua dalam tetralogi, Sang Pemimpi, menyederhanakan cerita dengan berfokus pada tiga tokoh utama, yaitu Ikal, Arai, dan Jimbron. Di sini, Arai dikisahkan telah menjadi siswa SMA Negeri yang dikepalai oleh Pak Mustar, seorang guru yang menunjukkan rasa sayang lewat disiplin dan ketegasan kepada murid-muridnya sehingga ia sangat disegani. Ikal dan dua sahabatnya kerap terlibat masalah dengan Pak Mustar—tergambar pada bab pertama yang bercerita tentang aksi kejar-kejaran mereka yang berakhir dengan bersembunyinya trio anak bengal itu di dalam peti pendingin ikan di pasar. 

Sang Pemimpi menyisipkan keraguan Ikal tentang masa depan, terutama saat kenyataan hidup datang menerjang. Hal ini sangat terasa ketika ia melihat nasib sesama remaja pulau yang seharian membanting tulang di pasar. “Tak pernah kusadari bahwa sikap realistis itu sesungguhnya mengandung bahaya, sebab ia memiliki hubungan dekat dengan rasa pesimis. Realistis tak lain adalah pedal rem yang sering menghambat harapan orang,” keluhnya.

Tak pernah kusadari bahwa sikap realistis itu sesungguhnya mengandung bahaya, sebab ia memiliki hubungan dekat dengan rasa pesimis. Realistis tak lain adalah pedal rem yang sering menghambat harapan orang,” keluhnya. 

Bersyukur ia memiliki ‘malaikat pelindung’ dalam sosok Arai, remaja temperamental yang merupakan kakak angkatnya (Arai dipungut oleh keluarga Ikal setelah orangtuanya meninggal). Ketika nilai Ikal jeblok—yang membuat ayah Ikal malu, lantaran sudah bersepeda sejauh 30 kilometer mengenakan kemeja safari spesial yang hanya dikenakan saat pembagian rapor—Arailah yang menegur dan kembali menyadarkan Ikal agar tak lantas mematikan mimpi. 

Mungkin, setelah tamat SMA, kita hanya akan mendulang timah atau menjadi kuli. Tapi di sini, Ikal, di sekolah ini, kita tak akan pernah mendahului nasib kita,” ucapnya menyemangati Ikal. 

Seperti Laskar Pelangi, Sang Pemimpi juga imbang menyodorkan alur cerita serius yang penuh jenaka (terutama sosok Jimbron yang pecinta kuda), menyenangkan, dan menyentuh. Suatu potret kehidupan anak-anak Melayu Belitung yang berupaya untuk memerdekakan diri dari nasib.

Desa Terindah

Jika Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi bernaung di bawah payung coming-of-age, maka seri ketiga, Edensor, melaju dalam genre road trip (genre yang mengupas lapisan cerita dan karakter melalui perjalanan yang dilakukan oleh tokoh pada cerita)Ikal dan Arai akhirnya mendarat di Prancis untuk kuliah pascasarjana di Universitas Sorbonne, Prancis. Di sini, mereka mesti berhadapan dengan lingkungan yang multikultural, dosen yang congkak, dan iklim musim dingin yang menyiksa. 

Beragam karakter dari berbagai negara mereka temui, mulai dari Famke Sommers asal Belanda, Naomi Stansfield dari Inggris, Virginia Townsend dari Amerika, dan Katya Kristanaema dari Jerman. Ada juga kelompok yang dijuluki The Pathetic Four, mahasiswa penerima beasiswa yang hanya ingin dapat nilai pas-pasan untuk lulus kuliah. 

Pengalaman di Eropa itu jelas sempat menimbulkan cultural shock (kaget dengan budaya asing)dalam diri Ikal dan Arai. Tapi, sang penulis tetap jeli dalam menangkap ciri khas dari masing-masing budaya yang ada di dunia. “Mahasiswa-mahasiswa dari beragam bangsa di dalamnya, membuat kelasku seperti laboratorium perilaku. Kelasku bukan sekadar tempat untuk belajar science, tapi juga university of life.”

Mahasiswa-mahasiswa dari beragam bangsa di dalamnya, membuat kelasku seperti laboratorium perilaku. Kelasku bukan sekadar tempat untuk belajar science, tapi juga university of life.”

Di luar ruang lingkup universitas, duo sahabat itu memutuskan untuk road trip (dengan transportasi umum seperti bus dan kereta) menjelajahi negara-negara di Eropa, yang kemudian berakhir di Afrika dan mempertemukan mereka dengan lebih banyak karakter-karakter unik. Seperti Pak Toha, warga Indonesia yang melarikan diri ke Eropa setelah insiden 1965 dan akhirnya menetap di Romania.

Lantas, apa makna dari judul itu sendiri? Edensor adalah nama sebuah desa yang pertama dicetuskan di novel Laskar Pelangi. Sebuah desa tradisional nan asri di Inggris, yang di mata seorang anak kampung Belitung merupakan desa terindah di dunia. Dan menjadi suatu kebetulan yang menyenangkan ketika Ikal secara tak sengaja menemukan Edensor dalam turnya keliling Eropa. 

Cinta dan Cita

Seri terakhir tetralogi yang berjudul Maryamah Karpov membawa Ikal kembali ke pulau kelahirannya, setelah berkuliah selama dua tahun di Prancis. Bila novel-novel sebelumnya lebih mengutamakan tema pencapaian cita-cita, seri keempat ini lebih mengumbar tema keberanian tekad dan kekuatan cinta. Lebih tepatnya, cinta Ikal terhadap cinta pertamanya, A Ling. Namun, ekspresi rasa itu terpaksa ditunda ketika A Ling dikabarkan menghilang di tengah laut dalam perjalanan kapal bersama keluarga. 

Disambar firasat bahwa A Ling masih hidup dan terdampar di kawasan Batuan yang rawan perompak, maka Ikal—dengan bantuan teman-teman lama dari Laskar Pelangi—bertekad untuk menyelamatkannya. 

Pemilihan nama Maryamah Karpov sebagai judul novel memang terdengar janggal, apalagi tokoh tersebut tak terlalu mencuat di dalam cerita. Maryamah adalah nama seorang wanita tua yang memiliki putri yang mengajari Ikal bermain biola.

Tapi, kejanggalan judul tak serta-merta memengaruhi alur cerita. Bisa dibilang, Maryamah Karpov adalah sebuah penutup manis dari tetralogi Laskar Pelangi. Diawali dengan cita-cita dan cinta (akan hidup, ilmu pengetahuan, keluarga, dan sahabat), cerita tersebut pun diakhiri dengan cita-cita yang tercapai dan cinta yang terungkap. 

Singkat kata, mimpi itu tak pernah mati.

Singkat kata, mimpi itu tak pernah mati.

Dari Novel ke Film

Versi film novel tetralogi Laskar Pelangi merupakan salah satu contoh adaptasi novel ke film terbaik—setidaknya dalam sejarah sinema Indonesia. Film Laskar Pelangi (2008) garapan Riri Riza pada saat rilisnya dinobatkan sebagai film Indonesia terlaris sepanjang masa dengan 4,6 juta penonton. Meskipun banyak detail unik yang terlewatkan dalam versi film (seperti ketika Ikal pertama kali melihat terpana kuku A. Ling), tapi hal itu tentu lumrah ketika mengadaptasi novel sekompleks Laskar Pelangi yang memiliki sejumlah karakter. Dua film lanjutannya, Sang Pemimpi (2009) dan Edensor (2013), meski tidak bisa mengulang ataupun melampaui kesuksesan film pertamanya namun tetap sanggup menyodorkan adaptasi novel ke film yang tak mengecewakan penggemar novelnya.

Album soundtrack Laskar Pelangi juga sukses diminati dengan persembahan lagu dari musisi-musisi kondang Indonesia seperti Sherina, Netral, Gita Gutawa, Garasi, dan Nidji yang menciptakan lagu utamanya yang ikonis yang berjudul sama dengan film.

Selain itu, film tetralogi Laskar Pelangi juga sukses melejitkan pantai Laskar Pelangi—atau pantai Tanjung Tinggi—sebagai salah satu destinasi wisata utama di pulau Belitung. Satu lagi destinasi wisata Belitung yang jadi warisan dari ketenaran Laskar Pelangi adalah Museum Kata Andrea Hirata yang didirikan pada 2010 di Desa Gantung, Belitung. Museum yang diharapkan oleh sang penulis bisa meningkatkan minat baca warga serta, yang terpenting, melahirkan lebih banyak lagi pemimpi dari sudut paling terasingkan di Indonesia.

Informasi Selengkapnya
  • Indonesia Kaya

  • Pramana Widodo Putra

  • Kemdikbud, Bentang Pustaka