Cari dengan kata kunci

Tetralogi Bumi Manusia

Tetralogi Bumi Manusia, Empat Seri Buku Karya Pramoedya Ananta Toer

Sebuah sastra penutup abad.

Kesenian

Tetralogi Bumi Manusia atau yang dikenal juga sebagai Tetralogi Pulau Buru merupakan empat seri novel Indonesia karya penulis Pramoedya Ananta Toer. Keempat judul tersebut adalah Bumi Manusia (1980), Anak Semua Bangsa (1981), Jejak Langkah (1985), dan Rumah Kaca (1988). Tiga bulan sejak diterbitkan, Bumi Manusia seketika menjadi novel Indonesia terlaris dengan penjualan yang mencapai 60.000 eksemplar, dan dicetak ulang sebanyak 10 kali pada periode 1980-1981. 

Novel kedua, Anak Semua Bangsa terbit setahun kemudian. Namun bersamaan dengan itu, Kejaksaaan Agung secara resmi mengumumkan pelarangan kedua novel tersebut. Hal ini didasari anggapan bahwa kedua buku mengandung propaganda ajaran marxisme dan komunisme. Belum lagi, label ‘Tetralogi Buru’ yang identik dengan eks-tapol (tahanan politik) membuat buku ini masuk dalam catatan hitam pemerintah ketika itu. Beruntungnya, larangan ini berakhir bersamaan dengan turunnya rezim Orde Baru pada tahun 1998.

Kepopuleran Tetralogi Bumi Manusia tak luput dari nama sang penulis, Pramoedya Ananta Toer. Bahkan sebelum serial ini terbit, ia sudah termasuk sebagai sastrawan Indonesia yang berpengaruh. Ia telah menerbitkan lebih dari 50 karya, lebih dari 42 di antaranya diterjemahkan dalam bahasa asing. Pramoedya juga dikenal sebagai anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat atau Lekra yang memiliki afiliasi dengan Partai Komunis Indonesia. Keterlibatannya dengan Lekra inilah yang membuatnya kemudian ditangkap pada masa Orde Baru dan ditahan selama 14 tahun di Nusakambangan dan Pulau Buru. Pada masa tahanannya di Pulau Buru inilah ia kemudian menyusun Tetralogi Bumi Manusia. Karena dilarang menulis pada masa itu, ia kerap menyelundupkan naskahnya lewat tamu-tamu yang berkunjung ke Pulau Buru. 

Mengenal Tetralogi Bumi Manusia

Keempat seri novel Indonesia ini menceritakan kehidupan masyarakat di era kolonial hingga periode kelahiran gerakan nasional melalui kisah seorang pemuda Jawa berdarah ningrat bernama Minke. Ia adalah seorang keturunan priyayi yang memiliki hak istimewa untuk bersekolah di Hoogere Burgerschool (HBS) Surabaya. Dalam buku pertama, Bumi Manusia, Minke dikenalkan sebagai pemuda yang mencintai ilmu pengetahuan dan terobsesi dengan kemajuan zaman. Meskipun terlahir di keluarga Jawa yang terikat oleh tradisi, Minke justru tak ingin terlibat dalam pakem tradisi. Ia percaya dengan konsep egalitarianisme dan ingin menganggap semua orang sebagai pihak yang sederajat. Minke juga tidak pernah ingin meneruskan jabatan sang ayah sebagai bupati, karenanya ia selalu menolak dan mengungkapkan keinginannya untuk menjadi orang yang bebas.  

Keempat seri novel Indonesia ini menceritakan kehidupan masyarakat di era kolonial hingga periode kelahiran gerakan nasional melalui kisah seorang pemuda Jawa berdarah ningrat bernama Minke.

Bumi Manusia juga memperkenalkan kita pada karakter-karakter yang akan membentuk kisah hidup Minke. Seperti Annelies Mellema, gadis keturunan Belanda – pribumi yang dicintainya dan Nyai Ontosoroh, ibu dari Annelies yang kerap mendapat perlakukan tidak adil dari pemerintah kolonial, tetapi berupaya melawan semuanya dengan berani. Pembaca juga akan mendapatkan gambaran Hindia pada masa kolonialisme, di mana masyarakat masih terjebak dalam pandangan rasis dan sikap feodalisme, bahkan oleh sesama pribumi. 

Pada Anak Semua Bangsa, pembaca diajak menyelami ‘masa kebangkitan’ Minke, yang dipaksa untuk ‘mengenal’ bangsanya sendiri. Selama ini, Minke cenderung lebih dekat dengan kaum Belanda, bahkan ia menolak belajar Bahasa Jawa. Kini, Minke mulai mencoba untuk mengenal kaum pribumi lebih dekat. Ia juga mulai menulis di surat kabar tentang kritik terhadap pemerintah kolonial dan kondisi masyarakat ketika itu. Bahkan, Minke kemudian mendirikan surat kabar sendiri agar ia dapat memiliki kebebasan lebih untuk menulis tentang masyarakatnya dalam bahasanya sendiri dan dibaca oleh kaumnya sendiri. Tulisan Pramoedya dalam Anak Semua Bangsa, menurut para kritikus, menggambarkan tragedi dan nasib kaum terjajah yang menunjukan kecenderungan mental inferior, rasa curiga, dan ketakutan terhadap penjajah. Selain itu diskriminasi secara hukum yang dialami oleh kaum pribumi juga semakin diperjelas. Minke yang mengalami kepahitan karena Annelies meninggal dunia pun akhirnya menyadari bahwa kesedihannya tidak seberapa jika dibandingkan kesengsaraan kaum pribumi di bawah penjajahan kolonial. 

Buku ketiga yang bertajuk Jejak Langkah menceritakan kemunculan pergerakan nasional, lewat kelahiran berbagai organisasi pribumi di tanah air. Minke kemudian mulai belajar di STOVIA yang mendekatkannya dengan sosok-sosok yang memprakarsai organisasi pribumi di Hindia, hingga kemudian mendirikan Syarikat Dagang Islam sebagai upaya penyebaran ide mengenai kemerdekaan dan persatuan.

Novel keempat agak berbeda dengan tiga buku sebelumnya, karena tidak lagi menjadikan Minke sebagai sosok utama. Dalam Rumah Kaca, sosok Jacques Pangemanan menjadi karakter utama. Ia adalah keturunan Eropa asal Makassar yang bekerja di pemerintah kolonial. Asal usulnya sebagai yatim piatu yang diadopsi oleh seorang apoteker berkebangsaan Prancis membuatnya bisa mengecap pendidikan di Eropa, sebelum kemudian kembali ke Hindia dan bekerja sebagai polisi negeri. Tugasnya sebagai polisi membuatnya terlibat dalam kehidupan Minke yang sangat kritis menyuarakan ketidakpuasan terhadap pemerintah kolonial. Jacques ikut bertanggung jawab dalam mengasingkan Minke ke Maluku, lalu menempati kediaman Minke. 

Bumi Manusia dan Masa Kini

Kepiawaian Pram – sapaan akrab penulis kelahiran tahun 1925 ini— dalam meramu karakter dan kisah-kisah berlatarkan era kolonial memang tak perlu lagi diragukan. Meskipun bertuliskan kata ‘roman’ dalam sampul buku, keempat novel ini lebih dari sekadar kisah percintaan antara Minke dan Annelies. Sudah begitu banyak studi kontemporer yang mengkaji keempat buku Pram, bahkan dalam salah satu teori kajian budaya, buku ini memaparkan pemikiran tentang identitas bangsa. Tak sedikit yang menyandingkan buku-buku ini dengan tulisan karya filsuf Jacques Derrida yang terkenal dengan teori dekonstruksi dalam paham postmodernism.

Setelah menelaah keempat buku Tetralogi Bumi Manusia, tak dapat dipungkiri bahwa buku pertama, Bumi Manusia adalah bagian penting dalam sejarah kesusastraan Indonesia, bahkan dunia. Buku ini menjadi satu-satunya novel Indonesia yang pernah menjadi kandidat peraih Nobel dalam bidang sastra. Hingga tahun 2005, Bumi Manusia juga telah diterbitkan ke dalam 33 bahasa dan diperbincangkan dalam berbagai media internasional, seperti Volkskrant di Belanda, The Third World Magazine di Inggris, serta media seperti Time, New York Times, USA Today, The Los Angeles Times, dan The San Francisco Chronicles. 

Hingga tahun 2005, Bumi Manusia juga telah diterbitkan ke dalam 33 bahasa.

Menurut Hilmar Farid, Direktur Jenderal Kebudayaan Kemdikbudristek yang pernah meneliti tentang dekolonisasi dalam karya Pram pada 2006, banyak hal yang kerap terlewatkan dalam Tetralogi Bumi Manusia. Seperti konflik lahan di era kolonial yang ternyata masih banyak dialami oleh masyarakat Indonesia saat ini. Kepemilikan lahan oleh para penguasa besar kerap kali membuat masyarakat asli kerap terasing di lahannya sendiri. 

Pembaca juga bisa melihat tafsir feminisme dalam sosok Nyai Ontosoroh yang merupakan perwakilan dari eksistensi perjuangan perempuan dalam keterpurukan dan ketertindasan dalam dunia laki-laki. Keberanian dan perlawanan Nyai Ontosoroh terlihat dari perubahan status dari perempuan desa biasa menjadi seorang Nyai yang mandiri dan sukses mengelola usaha milik suaminya. Meskipun kalah dalam perlawanannya untuk mempertahankan Annelies, ia membuktikan bahwa telah melawan dengan sebaik-baiknya dan sehormat-hormatnya.

Adaptasi dalam Bentuk Lain

Hampir empat dekade sejak edisi pertamanya terbit, novel Bumi Manusia kemudian diadaptasi dalam berbagai bentuk seni yang lain. Pada 2016-2017, Titimangsa Foundation menggelar pentas teater bertajuk Bunga Penutup Abad yang merupakan adaptasi dari novel Bumi Manusia. Terlibat dalam pementasan ini adalah nama-nama besar seperti Reza Rahadian sebagai Minke, Chelsea Islan sebagai Annelies, Happy Salma sebagai Nyai Ontosoroh, dan Lukman Sardi sebagai Jean Marais. Pentas teater ini sukses menarik minat banyak orang. Pada tiga hari penayangan di Jakarta berhasil mencapai 1.500 penonton, hingga kemudian teater ini juga dipentaskan di Bandung untuk memenuhi animo masyarakat. 

Kemudian pada 2019, Falcon Pictures merilis film Bumi Manusia yang disutradarai oleh Hanung Bramantyo. Film ini mendapatkan apresiasi yang sangat besar bahkan berhasil memboyong lima penghargaan dalam Festival Film Bandung 2020, termasuk untuk sang pemeran utama, yakni Iqbaal Ramadhan. Kedua adaptasi Bumi Manusia ini menunjukan bahwa pesona Bumi Manusia tak terbatas hanya dalam sastra dan narasinya, tapi juga lintas medium. 

Baca juga: Layar Terkembang, Buku Karya Sutan Takdir Alisjahbana

Informasi Selengkapnya
  • Indonesia Kaya

  • Indonesia Kaya

  • Kemdikbud, Ensiklopedia Kemdikbud, Tirto, Kompas, Media Indonesia, Academia

This will close in 10 seconds