Cari dengan kata kunci

3_Cantik itu Luka_Gambar Buku

Cantik itu Luka, Buku Karya Eka Kurniawan

Novel pertama Eka Kurniawan yang sukses memprovokasi pembaca dengan gaya bertutur yang absurd.

Kesenian

Cantik itu Luka merupakan novel perdana Eka Kurniawan, pemuda asal Tasikmalaya yang baru serius mendalami profesi jadi penulis pasca lulus kuliah jurusan Filsafat di Universitas Gadjah Mada (di mana ia menulis skripsi tentang penulis idolanya, “Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Surealisme Sosial”). Sama seperti pengalaman penulis-penulis baru lainnya, novelnya sempat ditolak oleh beberapa penerbit, hingga akhirnya Penerbit Jendela yang berbasis di Yogyakarta melihat potensi Cantik itu Luka dan menerbitkan novel tersebut pertama kali pada tahun 2002.

Singkat kata, novel dari suami penulis Ratih Kumala (Gadis Kretek) ini kontan melejitkan namanya sebagai penulis baru menjanjikan dengan gaya penulisan khas, dan pilihan cerita yang berakar pada sejarah serta dinamisme sosiokultural dan mentalitas rakyat di era kolonialisme.

Absurd. Vulgar. Aneh. Setelah membaca novel Cantik itu Lukamungkin ketiga hal itulah yang terlintas di kepala. Simak saja bab pertama tentang seorang pelacur tua yang bangkit dari kubur, setelah 21 tahun lalu bercengkerama dengan Cantik, anaknya yang buruk rupa, di teras rumah. Benar-benar absurd, tapi menarik dan bikin penasaran. Orisinal.

Juluran cerita dan rentang waktu yang terangkum dalam Cantik itu Luka sangat mengesankan dan ambisius, terbentang dari era kependudukan Belanda, Jepang, hingga ke masa 1980-an. Meski tampak tak memiliki tokoh sentral, tapi setiap karakter yang ada di dalamnya dapat berkonstelasi pada satu figur, Dewi Ayu, si pelacur tua yang menjadi jangkar cerita. 

Juluran cerita dan rentang waktu yang terangkum dalam Cantik itu Luka sangat mengesankan dan ambisius, terbentang dari era kependudukan Belanda, Jepang, hingga ke masa 1980-an.

Berkah Sekaligus Kutukan Dewi Ayu

Namun, cerita tak bergulir dari kebangkitan Dewi Ayu yang misterius dari kubur. Ia pun tak selalu menjadi pelacur. Profesinya merupakan “efek samping” dari masa dia dibesarkan, dengan sosok sebagai gadis blasteran Belanda yang cantik. Bersama gadis blasteran dan noni-noni Belanda cantik lainnya, dia ditangkap dan dipenjarakan saat Jepang mengambil alih kekuasaan.

Lantas, bagaimana nasib seorang wanita cantik di tangan prajurit bengis penuh nafsu? Jelas, ia akan dijadikan objek pelampiasan dari nafsu tersebut. Tak hanya oleh penjajah, tapi juga oleh gerilyawan Indonesia.

Malang memang, terutama bagi gadis-gadis lainnya yang tak setangguh Dewi Ayu. Karena, Dewi Ayu tak seperti gadis-gadis lainnya. Ia tak hanya tangguh, tapi juga cerdas, berkepala dingin, dan peka. Ketika yang lain kebingungan atau memilih untuk menjadi naif sewaktu membayangkan apa yang bakal terjadi saat mereka dipindahkan ke sebuah rumah yang dikepalai oleh wanita Indonesia yang anggun bernama Mama Kalong—Dewi Ayu-lah yang langsung ngeh.

“Apakah kau tak merasakan sesuatu yang aneh. Tidakkah kau mencemaskan sesuatu?”

“Kecemasan datang dari ketidaktahuan,” kata Dewi Ayu.

“Kau pikir kau tahu apa yang akan terjadi atas kita?”

“Ya,” jawabnya. “Jadi pelacur.” 

Tak bisa dimungkiri, penokohan Dewi Ayu sangatlah kuat, kompleks, dan tanpa menanggalkan unsur kewanitaannya (kala menulis tokoh wanita, penulis pria cenderung idealis, entah terlalu feminin dan seksi atau tangguh bak pria). Menjadi pelacur bukanlah pilihannya, tapi ia juga sadar bahwa itu adalah jalan keluar agar ia bisa bertahanHal sama juga dilalui oleh Mama Kalong (tokoh wanita kuat lainnya), sang mucikari anggun, yang awalnya juga melacurkan diri agar bisa bertahan hidup, namun kemudian jeli melihat potensi bisnis prostitusi di masa penjajahan kolonial. Alhasil, ia sukses menjadi wanita terkaya di daerahnya.

Menjadi pelacur bukanlah pilihannya, tapi ia juga sadar bahwa itu adalah jalan keluar agar ia bisa bertahan.

Meski begitu, bukan berarti Dewi Ayu adalah sosok yang sempurna. Sebagai ibu, jelas ia punya banyak kelemahan. Dari rahimnya, lahir empat anak perempuan. Tiga yang pertama, yaitu Alamanda, Dinda, dan Maya Dewi, berparas elok seperti ibunya. Namun yang terakhir, yang dikandung saat ia sudah tua, terlahir buruk rupa dengan kulit gelap, hidung seperti colokan listrik, telinga seperti gagang panci, dan mulut bak lubang celengan babi. Tapi, justru itulah yang diharapkan Dewi Ayu. Ia ingin anak terakhirnya tak terlahir secantik ketiga kakaknya. Sebab, ia merasa kecantikan adalah kutukan. Atau, seperti yang dikatakan satu tokoh di penghujung cerita, “Cantik itu Luka.”

Kutukan itu tampaknya menurun ke anak-anak Dewi Ayu. Di pertengahan novel, alur beralih ke ketiga anaknya yang pertama, beserta lika-liku roman rumit yang mereka lalui. Alamanda dinikahi oleh pria yang memerkosanya, Sondancho, sang pemuda simpatisan Jepang. Bersamanya, Alamanda tak menjalani pernikahan bahagia hingga suatu saat ia mengenakan celana dalam zirah. Dinda menjalin cinta dengan Kamerad Kliwon, meski ia tahu Kliwon mencintai kakaknya, Alamanda. Sementara itu, Maya Dewi dijodohkan dengan preman kota, Maman Gendeng, saat berusia 12 tahun. Perjodohan yang lagi-lagi merupakan salah satu taktik sang ibu untuk bertahan hidup.

Begitu banyak cerita dan karakter yang berseliweran dalam Cantik itu Luka. Karakter periferal bahkan ikut tersorot meski hanya selintas. Sebut saja para pria dalam kehidupan ketiga anak Dewi Ayu; Rengganis, anak Dinda dan Kliwon; Krisan, anak Maya Dewi dan Maman Gendeng; Cantik dan ibu asuhnya yang bisu Rosinah; serta Ma Gedik, pria yang dibuat gila setelah kekasihnya dijadikan gundik oleh pria Belanda. Ketika Ma Gedik tua dan diasingkan di sebuah gubuk, ia mendadak dipaksa menikah dengan Dewi Ayu muda atas kemauan Dewi Ayu sendiri. Membingungkan? Jelas. Bikin penasaran? Pasti.

Pencapaian Cantik itu Luka

Cantik itu Luka yang memiliki elemen genre realisme magis ini memang terasa sangat ambisius dan epik. Ketebalan bukunya pun menjadi bukti. Dari setiap halamannya, pembaca dapat merasakan lorong waktu dan ruang yang dilalui setiap tokoh dengan begitu rinci. Yang lebih mengesankan, yaitu gado-gado genre yang terjahit dengan cermat—tak hanya roman atau elemen sejarah yang kental, tapi juga sekelumit elemen horor atau mistis sebagai bumbu pemanis. Istilahnya, semuanya dapat diterimaTapi sang pengarang, Eka Kurniawan, seperti dalam novel-novel lanjutannya, Manusia Harimau dan Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas, berhasil memadukannya mulus.

Yang lebih mengesankan, yaitu gado-gado genre yang terjahit dengan cermat—tak hanya roman atau elemen sejarah yang kental, tapi juga sekelumit elemen horor atau mistis sebagai bumbu pemanis.

Dan, ya, pemilihan kata-katanya memang vulgar, blakblakan, dan tentu menempatkan novel ini khusus bagi orang dewasa. Namun, semua pilihan kata dan diksinya berjalan selaras dengan watak dan lingkungan karakter. Sesuai dengan gaya bicara sehari-hari.

Karena pemilihan cerita yang bermuatan lokal, Eka telah menuai apresiasi dari pecinta sastra global. Cantik itu Luka telah dialihbahasakan ke dalam 24 bahasa dan diulas oleh publikasi prestisius The New York Times dalam Sunday Review. Ulasan novel yang judulnya disadur ke bahasa Inggris jadi Beauty is a Wound ini tidak sepenuhnya cemerlang (sang kritikus mengungkit soal plot yang terlampau padat dan karakter terlalu banyak) tetapi secara garis besar karya perdana ini cukup mengesankan, “Mr. Kurniawan does a masterly job of pulling together all the seemingly flyaway strands. (Kurniawan berhasil menyatukan semua untaian yang tampak kusut.” New York Times pun mencantumkan novel Cantik itu Luka dalam daftar “100 Notable Books of the Year”. Selain itu pada 2016, novel ini menyabet penghargaan World Readers Award, dan pada tahun yang sama, tercantum dalam nominator potensial untuk Man Booker International Prize yang sangat bergengsi di kalangan sastrawan.

Boleh juga buat karya penulis yang pertama.

Singkat kata, Cantik itu Luka adalah novel perdana yang sangat impresif. Berpuluh-puluh tahun kemudian, bakal terus diperbincangkan layaknya karya-karya roman sejarah persembahan novelis lawas seperti tokoh idola sang penulis, Pramoedya Ananta Toer.  

Informasi Selengkapnya
  • Indonesia Kaya

  • Pramana Widodo Putra

  • Perpustakaan Nasional, BBC, Detik, The New York Times