Cari dengan kata kunci

Azab dan sengsara

Azab dan Sengsara, Buku Karya Merari Siregar

Kritik akan tradisi kelahiran yang dikemas dalam cerita roman nan tragis.

Kesenian

Konon, misery loves a company. Pepatah yang mengatakan penderitaan suka ditemani itu tampaknya tepat disematkan pada novel Indonesia klasik karangan Merari Siregar yang berjudul Azab dan Sengsara. Secara superfisial novel yang terbit pada 1921 ini mungkin sarat suka duka tragis dengan penderitaan beruntun yang menimpa tokoh utamanya, tetapi jika ditelisik lebih dalam justru menyeruak tema kompleks yang melampaui kesengsaraan semata.

Azab dan Sengsara—yang dalam terbitan pertama memiliki embel-embel “… Seorang Anak Gadis”—dipandang sebagai salah satu novel Indonesia modern pertama, tak hanya karena penggunaan bahasa Melayu yang mulai mendekati bahasa Indonesia, tetapi juga karena pemikiran sang pengarang yang berhaluan emansipatif dan kritis terhadap tradisi tanah kelahirannya, Tanah Batak, terutama soal kawin paksa yang kerap terjadi pada masa itu. 

Novel roman pertama yang diterbitkan oleh Balai Pustaka ini telah dicetak 29 kali hingga tahun 2009. Novel ini menyodorkan kisah tentang pasangan bernama Mariamin dan Aminuddin yang telah menjalin cinta sejak mereka kecil. Jalinan romansa ini disebut “pariban”, yang berarti mereka sebetulnya adalah sepupu tapi tidak berbagi marga (dalam tradisi Batak tidak boleh menikah jika memiliki nama marga sama). Keluarga Mariamin dulunya kaya dan terpandang, tetapi gara-gara ulah sang ayah, keluarganya pun jatuh miskin. Sementara Aminuddin adalah keturunan keluarga bangsawan dan sang ayah menjabat sebagai kepala kampung di Sipirok. 

Novel ini menyodorkan kisah tentang pasangan bernama Mariamin dan Aminuddin yang telah menjalin cinta sejak mereka kecil.

Aminuddin hendak meminang Mariamin, tetapi sebelum menikah ia memutuskan untuk bekerja terlebih dahulu. Ia meninggalkan Mariamin untuk bekerja di kota besar tak jauh dari kampung mereka. Sayangnya, keluarga Aminuddin—terutama sang ayah—tak merestui hubungan mereka dan malah menjodohkan Aminuddin dengan wanita lain ketika mereka datang mengunjunginya di kota. Aminuddin, sebagai wujud baktinya terhadap orangtua, menerima calon istri yang dipilihkan. 

Mendengar kabar pertunangan Aminuddin, Mariamin pun patah hati dan sempat depresi, dan pada akhirnya ia juga dipaksa kawin dengan pria lain bernama Kasibun. Bahtera rumah tangga mereka berjalan tak harmonis, yang diperparah dengan penolakan Mariamin untuk berhubungan suami istri dengan Kasibun lantaran dia memiliki penyakit kelamin yang menular. Kasibun pun tak segan melakukan kekerasan terhadap Mariamin, yang membuat kehidupan Mariamin kian sengsara.

Nyata & Terang

Ada tema menarik di balik segala kesengsaraan yang menimpa Mariamin. Seperti dilansir oleh situs Kemendikbud, intensi Merari Siregar (1896-1940) menulis novel Azab dan Sengsara adalah untuk mengangkat topik tradisi kawin paksa, dan betapa pemuda-pemudi yang belum menemukan calon pasangan hidup bakal dianggap sebagai aib tak hanya oleh orang tua mereka, tapi juga masyarakat. Oleh karena itulah mereka “terpaksa” menikah untuk menyenangkan hati orang tua, yang berujung pada ketidakbahagiaan dan, ya, kesengsaraan. 

Intensi Merari Siregar (1896-1940) menulis novel Azab dan Sengsara adalah untuk mengangkat topik tradisi kawin paksa, dan betapa pemuda-pemudi yang belum menemukan calon pasangan hidup bakal dianggap sebagai aib tak hanya oleh orang tua mereka, tapi juga masyarakat.

“Saya mengarang cerita ini, dengan maksud menunjukkan adat dan kebiasaan yang kurang baik dan sempurna di tengah-tengah bangsaku, lebih-lebih di antara orang yang berlaki-istri. Harap saya diperhatikan oleh pembaca. Hal-hal dan kejadian yang tersebut dalam buku ini, meskipun seakan-akan tiada mungkin dalam pikiran pembaca, adalah benar belaka, cuma waktunya terjadi kuatur–artinya dibuat berturut-turut–supaya cerita itu lebih nyata dan terang.”

Entah cerita tersebut terasa nyata dan terang tergantung dari masing-masing pembaca, tapi pada dasarnya Azab dan Sengsara menyodorkan alur cerita sederhana dengan prosa yang tak terlalu puitis. Novel Indonesia klasik ini memang merupakan produk pada masanya, dengan gaya cerita yang cenderung berbunga-bunga dan kerap berkomentar atas situasi dan perilaku tokoh pada cerita; ibaratnya seperti konsep breaking the fourth wall di dunia teater di mana aktor yang melakoni karakter berbicara langsung ke penonton untuk bermonolog. 

Seperti dijelaskan oleh A. Teeuw dalam buku Sastra Baru Indonesia (1978), novel ini melukiskan watak-watak dalam bentuk hitam dan putih dan gaya karangan yang merayu-rayu—pengarangnya menghadapi para pembaca secara langsung untuk memberikan komentarnya atas perilaku tokoh. Memang penggambaran karakter tokoh Azab dan Sengsara condong hitam-putih—seperti Mariamin yang naif dan ayah Aminuddin yang licik—dengan penguraian kondisi sosial-ekonomi yang terasa sangat ekstrem, seperti keluarga Mariamin yang digambarkan sangat miskin dan, dalam spektrum berlawanan, keluarga Aminuddin yang kaya raya.

A. Teeuw dalam buku Sastra Baru Indonesia (1978), novel ini melukiskan watak-watak dalam bentuk hitam dan putih dan gaya karangan yang merayu-rayu

Kendati ekstrem, Merari menyodorkan peristiwa yang terasa nyata yang tentu ia angkat dari pengalaman dan apa yang ia saksikan sendiri. Asis Safioedin, dalam bukunya Himpunan Seni Sastra Indonesia (1962), mengungkap kalau novel Azab dan Sengsara menggambarkan kejadian nyata di masyarakat, seperti kawin paksa, dan melalui kemasan karya sastra, Merari menyuarakan keberatannya. 

Tak dipungkiri memang hebat pada era tersebut (1920-an) seorang pria muda asal Tapanuli berani menulis cerita yang kritis terhadap tradisi tanah kelahirannya dan terhadap “kaum”-nya sendiri. Walau begitu Merari sesekali tetap menunjukkan kenetralannya soal gender karena tradisi kawin paksa memengaruhi wanita dan pria, seperti diutarakan dalam kalimat berikut ini, 

“Mereka itu memandang perkawinan itu suatu kebiasaan, yakni kalau anaknya yang perempuan sudah genap umurnya harus dijodohkan. Demikian pula jadinya pada anak laki-laki. Haruslah ia lekas dikawinkan, karena merupakan sebuah aib di mata orang banyak jika orang tua terlambat memperistrikan anaknya.”

Seberapa Jauh Kita Berubah

Dalam novel ini, sang penulis secara konstan menceritakan kesedihan dan penderitaan di sepanjang cerita untuk menguras simpati dan empati pembaca. Masyarakat modern, dengan kebebasan dan pilihan yang lebih tersedia untuk mereka, mungkin merasa asing dengan tindakan dan keputusan yang diambil karakter-karakter di dalam cerita ini. Terutama pada karakter Mariamin yang terlihat sebagai perempuan tidak tegas dan mandiri, dan bagaimana hal yang menimpanya dapat dihindari jika dilihat dari persepsi masa kini.

Padahal, nasib perempuan zaman sekarang masih tak jauh berbeda, bahkan di benua Barat pun. Membaca Azab dan Sengsara berpotensi mengusik nurani dan mencuatkan pertanyaan, sudah seberapa jauh kita berevolusi dari masa ketika Merari Siregar menulis novel ini? Apakah kawin paksa masih dipraktekkan? Apakah secara merata perempuan masa kini sudah memiliki hak untuk memilih calon pasangan mereka sendiri?

Membaca Azab dan Sengsara berpotensi mengusik nurani dan mencuatkan pertanyaan, sudah seberapa jauh kita berevolusi dari masa ketika Merari Siregar menulis novel ini?

Azab dan Sengsara melempar pertanyaan tersebut dan mendorong kita agar lebih kritis atas tradisi yang berpotensi mengancam kebahagiaan orang. Merari Siregar merupakan salah satu di antara segelintir penulis yang berani mengangkat topik sensitif tersebut.  Sebelum menjadi penulis, Merari bekerja sebagai guru, dan mungkin karena profesi tersebut, pemikirannya lebih terbuka dan kritis terhadap tradisi yang biasanya jadi topik tabu untuk dibahas dan dipertanyakan relevansinya. Merari memanfaatkan medium literatur untuk mengangkat isu yang dekat dalam kehidupannya di Sipirok, di mana ia merasa kawin paksa sudah tidak sejalan lagi dengan perkembangan zaman. Melalui Azab dan Sengsara, ia mencoba mengubah kebiasaan tersebut dan persepsi orang atas tradisi itu. 

Apakah ia berhasil menghapus tradisi kawin paksa? Mungkin tidak. Namun, lewat karyanya, ia telah memulai sebuah dialog mengenai hal-hal tabu dibicarakan. Ia berani mendobrak batasan dengan memaparkan pemikirannya sehingga mampu memantik pembaca untuk berpikir. Dengan penuturan yang begitu menyeluruh, buku ini pun berdampak besar pada lingkungan sosial dan politik pada masanya hingga saat ini, terlebih di lingkungan patriarki seperti Indonesia. Pesan moralnya adalah agar kesengsaraan tak mesti terjadi lagi, karena tradisi yang sarat nilai patriarki tak hanya merugikan kaum perempuan, tetapi juga laki-laki.  Ia memaparkan, mengusik, dan “memaksa” pembaca untuk berpikir. 

Informasi Selengkapnya
  • Indonesia Kaya

  • Indonesia Kaya

  • http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Azab_dan_Sengsara | Ensiklopedia Sastra Indonesia – Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
    http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Merari_Siregar | Ensiklopedia Sastra Indonesia – Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia

This will close in 10 seconds