Cari dengan kata kunci

Tradisi Tenganan

Kiprah Muda-mudi Desa Tenganan untuk Jaga Tradisi Bali Aga

Mengenal tradisi mekare-kare, warisan leluhur Bali Aga yang masih dipertahankan penduduk Desa Tenganan.

Tradisi

Menuju arah timur Bali ke arah Candi Dasa Karangasem, terdapat sebuah desa tradisional bernama Tenganan Pegringsingan, yang terkenal dengan kainnya. Desa Tenganan merupakan salah satu dari tiga desa Bali Aga, selain Trunyan dan Sembiran.

Bali Aga adalah desa yang masih mempertahankan pola hidup dan tata masyarakat mengacu pada aturan tradisional dan hukum adat desa, warisan nenek moyang penduduk sekitar. Masyarakat Tenganan menjalankan konsep Tri Hita Karana dari ajaran Hindu. Tri berarti tiga dan Hita Karana berarti penyebab kebahagiaan merupakan sebuah landasan hidup untuk mencapai keseimbangan dan keharmonisan dalam diri, keluarga, dan masyarakat. Tri Hita Karana terdiri dari Perahyangan—hubungan yang seimbang antara manusia dengan Tuhan, Pawongan—hubungan harmonis antara manusia dengan manusia lainnya, serta Palemahan—hubungan harmonis antara manusia dengan lingkungan alam sekitarnya.

Masyarakat Tenganan menjalankan konsep Tri Hita Karana dari ajaran Hindu.

Kain Khas Pegringsingan

Selain bertani dan membuat kerajinan bambu serta lontar, penduduk Desa Tenganan Pegringsingan dikenal ahli dalam menenun kain gringsing. Kain tenun yang satu ini merupakan kain khas Tenganan yang pembuatannya menggunakan teknik dobel ikat, teknik satu-satunya di Indonesia. Kain ini dibuat menggunakan pewarnaan alami dengan warna bumi seperi cokelat, merah marun, kuning kunyit, dengan motif khas Tenganan Pegringsingan. Dibuat dengan penghayatan dan kesabaran tingkat tinggi, dibalut dengan cinta, tak heran kain Gringsing yang dihasilkan sangat indah dan isimewa.

Kain tenun yang satu ini merupakan kain khas Tenganan yang pembuatannya menggunakan teknik dobel ikat, teknik satu-satunya di Indonesia.

Hampir setiap rumah di desa ini memproduksi dan menjual kain gringsing yang terkenal. Selain dijual pada turis dan menghasilkan nilai ekonomi, kain-kain ini juga digunakan saat upacara sakral. Walaupun seni tradisional selalu terancam punah karena kurangnya peminat di generasi muda, anak-anak muda di desa ini pelan-pelan mengikuti jejak pendahulunya dalam pelestarian kain gringsing. Mulai banyak anak muda dari Desa Tenganan Pegringsingan yang memasarkan berbagai macam kain gringsing melalui media sosial dan pasar online.

Pemuda Gagah dan Mekare-kare

Desa Tenganan Pegringsingan kaya akan ritual dan upacara, serta memiliki sekitar 25 upacara adat yang digelar setiap tahunnya. Setiap lini masyarakat turut mengikuti setiap upacara ini. Sedari kecil, anak-anak diajarkan untuk mencintai tradisi turun-temurun dan bangga sebagai orang Tenganan.

Sedari kecil, anak-anak diajarkan untuk mencintai tradisi turun-temurun dan bangga sebagai orang Tenganan.

Masyarakat asli Tenganan Pegringsingan yang tak lagi tinggal di desa karena tuntutan belajar maupun pekerjaan sudah terbiasa untuk pulang kampung agar dapat selalu mengikuti upacara. Beberapa masyarakat yang telah merantau pun memilih untuk pulang agar dapat membangun desa.

Salah satu dari upacara adat di desai ini adalah upacara mekare-kare atau lebih dikenal sebagai perang pandan. Mekare-kare adalah upacara persembahan yang dilakukan untuk menghormati Dewa Indra yang merupakan dewa perang dan juga para leluhur. Pada tanggal yang telah ditentukan menurut sistem penanggalan setempat, digelar ngusaba samba yang biasa terjadi pada bulan Juni dan Juli.

Mekare-kare adalah upacara persembahan yang dilakukan untuk menghormati Dewa Indra yang merupakan dewa perang dan juga para leluhur.

Mekare-kare diadakan selama 2 hari, merupakan bagian dari upacara sasih sembah, yaitu upacara keagamaan terbesar di Desa Tenganan. Upacara ini biasa dilaksanakan didepan balai pertemuan yang ada di halaman desa, oleh para pemuda. Perang pandan menggunakan senjata pandan berduri perlambang gada yang dipakai berperang. Laki-laki Desa Tenganan, baik tua, muda dan anak-anak, perang berhadapan satu persatu yang dipimpin oleh satu orang pria. Dengan bertelanjang dada, peserta tampil segagah mungkin, saling pukul, saling gebuk menggunakan pandan berduri selama satu menit. Luka dan darah akibat duri pandan akan diobati setelahnya dengan ramuan tradisional, antiseptik alami yang terbuat dari campuran kunyit lengkuas dan cuka.

Selama 3 jam, para penabuh selonding, gamelan khas Tenganan, memainkan lagu-lagu Bali mengiringi upacara. Para juru gambel (pemain gamelan) adalah orang-orang pilihan, yang sudah menjalani pelatihan dan upacara khusus sebagai juru gambel. Para remaja putri berdandan cantik mengenakan kain tradisonal dan berkumpul bersama teman-teman lainnya, duduk di atas tempat tinggi, menyaksikan para pemuda berlaga mengikuti perang pandan, dan memberikan semangat pada peserta. Setelah selesai perang pandan, semua peserta berkumpul bersama, berpesta merayakan dengan gembira. Duduk dan makan bersama, tanpa ada rasa dendam.

Mayunan dan Gadis Tenganan, Karena Hidup itu Berputar

Para pemudi Desa Tenganan Pegrisingan yang disebut daha juga mengikuti sebuah upacara bernama upacara mayunan. Mayunan jadi bagian dari rangkaian upacara perang pandan yang melibatkan remaja putri yang sudah akil balik.

Mayunan jadi bagian dari rangkaian upacara perang pandan yang melibatkan remaja putri yang sudah akil balik.

Pada hari sebelum perang pandan dan mayunan, para daha menjalankan upacara persembahan di Bukit Tenganan. Pagi hari saat matahari terbit, mereka berjalan melewati jalan setapak menerobos hutan, menuju pura di atas bukit untuk melakukan persembahan kepada dewa, di mana mereka mengiris daging kelapa menjadi panjang tanpa putus. Setelah melakukan persembahan, mereka kembali ke desa untuk mempersiapkan diri dalam balutan kain berwarna kuning dan menyaksikan perang pandan. 

Sore sehari sebelum perang pandan, para remaja putri berdandan cantik mengenakan kain gringsing. Setelah menyaksikan perang pandan, para pemudi ini menjalankan upacara mayunan, sebuah upacara yang menandakan menuju kedewasaan. Ayunan dari kayu ini berbentuk kincir angin dengan tempat duduk, didirikan di halaman desa. Ayunan besar ini tidak boleh disentuh atau dinaiki sembarangan. Ia dibangun khusus untuk upacara mayunan, dan diupacarai terlebih dahulu

Para daha bergantian menaiki ayunan ini. Satu ayunan diisi oleh delapan daha. Para pemuda bergantian memutar ayunan, sehingga posisi daha kadang di atas dan kadang di bawah. Terdengar suara kayu yang diputar, semakin keras putaran semakin keras suaranya. Filosofi mayunan adalah sebuah perlambang hidup yang seperti roda berputar, kadang di atas, kadang di bawah. Para remaja putri harus sadar dan siap menghadapi hidup.

Filosofi mayunan adalah sebuah perlambang hidup yang seperti roda berputar, kadang di atas, kadang di bawah.

Perang pandan dan mayunan bagai ajang pertemuan muda-mudi Desa Tenganan Pegringsingan. Semua boleh tampil segagah-gagahnya atau secantik-cantiknya. Siapa tahu jodoh berawal dari sini?

Informasi Selengkapnya
  • Indonesia Kaya

  • Indonesia Kaya