Seorang pria bertubuh tegap dan kekar berdiri di kejauhan. Ia berdiri dengan gagah tanpa sehelai kain pun di tubuhnya. Pria ini hanya menggunakan sebuah benda berbentuk kerucut untuk menutupi kemaluannya. Sorot mata yang begitu tajam, seolah tertuju pada sesuatu di hadapannya. Wajah yang dilumurinya dengan lumpur hitam terlihat sangat seram dan terkesan bengis. Apalagi ditambah dua buah potongan taring babi menyumbul dari lubang hidungnya. Pria ini adalah seorang prajurit dari Suku Dani, Suku besar yang mendiami wilayah Lembah Baliem, pegunungan tengah Provinsi Papua Pegunungan.
Suku Dani adalah suku asli Papua yang cukup dikenal hingga ke seluruh penjuru dunia. Keberadaan suku ini sudah banyak diketahui, bahkan diteliti oleh berbagai pihak dari dalam dan luar Indonesia. Masyarakat suku Dani dikenal sebagai suku berperangai keras dan sangat menggemari peperangan. Namun pada kenyataannya, Suku Dani adalah suku yang sangat ramah, memiliki banyak kemampuan dalam bidang seni, bahkan mereka sangat senang bernyanyi membawakan lagu daerah Suku Dani. Jadi, dibalik penampilannya yang keras dan menyeramkan, masyarakat Dani ternyata menyimpan banyak kelembutan.
Keberadaan Suku Dani awalnya diketahui melalui berbagai penelitian yang dilakukan oleh para peneliti dari negara-negara barat sekitar tahun 1900 hingga 1940. Namun pada tahun 1938, ekspedisi pertama yang bersentuhan langsung dengan Suku Dani adalah ekspedisi yang dipimpin oleh Richard Archbold, seorang pakar ilmu hewan serta filantropi asal Amerika Serikat. Archbold lah yang mengawali penelitian mendalam tentang suku Dani, kemudian para peneliti lain pun silih berganti mempelajari keberadaan suku ini hingga kini.
Suku Dani sudah tinggal di kawasan lembah Baliem sejak ribuan tahun lalu. Mereka umumnya hidup bercocok tanam ubi dan berburu hewan liar untuk mencari makan. Gaya hidup ini diketahui oleh para peneliti masa lalu melalui beberapa penemuan berupa kapak batu dan ladang-ladang pertanian di sekitar wilayah lembah Baliem. Seiring berkembangnya jaman, peternakan pun kini menjadi pilihan aktifitas Suku Dani. Mereka suka beternak babi, bahkan hewan ini pun dianggap sangat berharga, hingga harga seekor babi bisa mencapai ratusan juta rupiah.
Dalam hal sistem kekerabatan, Suku Dani sebenarnya tidak terlalu rumit, hanya saja seiring perkembangan jaman, sistem ini mengalami banyak perubahan. Pada dasarnya, suku Dani tidak mengenal sistem keluarga inti dimana satu rumah hanya berisi ayah, ibu, dan anak saja. Suku Dani adalah masyarakat komunal yang hidup dalam satu komunitas. Oleh karena itu, sistem kekerabatannya bersifat kelompok, dimana mereka membagi keluarga menjadi kelompok-kelompok yang tinggal dalam satu wilayah rumah yang bernama Silimo. Jadi, satu Silimo bisa berisi 3 hingga 4 keluarga kecil yang tinggal bersama. Kumpulan beberapa Silimo ini akan menjadi sebuah kampung, kemudian kumpulan beberapa kampung akan menjadi sebuah klan. Akhirnya, klan-klan inilah yang saling terkait menjadi satu kesatuan suku Dani dan mereka tinggal berpencar di seluruh wilayah Lembah Baliem hingga ke Puncak Jayawijaya.
Banyaknya jaringan hubungan keluarga dalam Suku Dani membuat perselisihan pun tidak dapat terhindarkan. Perang antar klan, kampung, atau keluarga sangat sering terjadi. Apalagi bila kita mengingat lagi bahwa Suku Dani adalah suku yang sangat gemar berperang. Biasanya perselisihan ini disebabkan hal-hal perebutan tanah, perempuan, dan pencurian hewan ternak yang berupa babi. Tidak jarang korban nyawa pun melayang. Ketika masalah tidak dapat diselesaikan baik-baik, panah, tombak, dan parang dapat menancap kapan pun ke tubuh musuh. Namun, di masa modern ini mereka sudah mengenal sistem ganti rugi uang. Kini, perang sudah jarang terjadi dan penyelesaian masalah pun dialihkan menjadi ganti rugi uang ke pihak yang dirugikan.
Kehidupan Suku Dani tidak banyak mengalami modernisasi. Banyak tradisi kuno yang masih mereka pertahankan hingga saat ini. Pakaian, rumah adat, gaya hidup, bahkan bahasa asli pun masih mereka pergunakan walau hal-hal modern telah mereka kenal. Suku Dani hingga kini masih memakai koteka (penutup kemaluan pria yang terbuat dari umbi sejenis labu panjang) dan para wanita pun lebih suka bertelanjang dada dalam kesehariannya. Mereka masih tinggal di honai (rumah khas Suku Dani yang beratapkan jerami, berdinding kayu dan berbentuk jamur) dan bahasa asli Dani masih menjadi bahasa utama mereka, sekalipun mereka juga dapat berbahasa Indonesia.
Suku Dani sangat menarik untuk dipelajari. Banyak kearifan lokal yang akan kita dapat dari kehidupan mereka. Memang hidup mereka masih jauh dari kata modern, namun dalam beberapa hal, (misalnya cara mereka menghargai alam) Suku Dani jauh lebih bijak dari kita yang sering mengaku berbudaya modern. Akhir kata, Suku Dani adalah satu bukti nyata begitu kayanya budaya bangsa Indonesia. [@phosphone/IndonesiaKaya]