Nano Riantiarno: Sang Pionir Teater Koma - Indonesia Kaya

Cari dengan kata kunci

Nano Riantiarno: Sang Pionir Teater Koma

Nano RIantiarno

Nano Riantiarno: Sang Pionir Teater Koma

Sejarah, karya, dan warisan Nano Riantiarno untuk Indonesia melalui Teater Koma.

Mini Biografi

Sejak kepergiannya pada 20 Januari 2023, Norbertus Riantiarno atau Nano Riantiarno, pendiri Teater Koma yang lahir di Cirebon, Jawa Barat, Senin Kliwon, 6 Juni 1949, meninggalkan duka mendalam bagi keluarga dan seluruh anggota Teater Koma. Namun, semangat Teater Koma untuk terus berkarya dan berkontribusi pada seni pertunjukan Indonesia tidak pernah padam. Naskah terakhirnya yang berjudul Matahari Papua, pemenang Sayembara Penulisan Naskah DKJ 2022, berhasil dipentaskan pada Juni 2024 oleh sang penerus dan juga anaknya bernama Rangga Riantiarno, Ratna Riantiarno sebagai istri tercinta, dan seluruh anggota Teater Koma. Dengan demikian, cita-cita terakhir Nano untuk terus memajukan teater Indonesia dapat terwujud.

Mungkin, mereka yang kurang mengenal Pak Nano akan bertanya-tanya bagaimana Teater Koma dapat bertahan setelah kepergian beliau dan beberapa orang terdekatnya seperti Ohan Adiputra dan Idris Pulungan. Jawabannya terletak pada pengaruh mendalam Pak Nano terhadap setiap anggota sanggar. Beliau tak hanya berkontribusi besar pada seni pertunjukan Indonesia, melainkan juga menjadi inspirasi bagi setiap individu yang pernah ia bimbing.

NR adalah orang yang semangat kerjanya luar biasa. Ia ibarat api yang terus menyala 24 jam sepanjang tahun, sejak saya kenal pertama kali tahun 1985 hingga berpulang,” ujar Budi Ros, seorang aktor senior yang pernah menyutradarai beberapa pertunjukan di Teater Koma dan juga menjadi penggagas buku esai Nano & Ratna, Berdua Melintasi Masa.

Budi bercerita bahwa pada November 2022, beberapa hari setelah Pak Nano menjalani operasi pengangkatan benjolan ganas di paha kirinya, beliau masih memimpin rapat produksi untuk Matahari Papua. Semangat kreatif Pak Nano begitu besar sehingga ia terus berkarya tanpa merasa terganggu oleh sakitnya. Beliau juga tidak pernah khawatir soal biaya yang dibutuhkan untuk menyalurkan kreativitasnya. Menurut Budi, Pak Nano mampu menulis dengan sangat cepat. “Bunyinya mirip senapan mesin saking cepatnya.”

Bu Ratna, istri Pak Nano, sependapat dengan Budi mengenai idealisme dan kreativitas Pak Nano dalam setiap pementasan. Ia mengaku sulit menolak keinginan Pak Nano jika beliau sudah teguh pada idealismenya ini. “Inspirasinya datang di saat malam. Kesunyian malam itu lebih membantu otak kreatifnya. Anak-anaknya pun begitu, bekerja hingga larut malam.”

Selamat Tinggal Cirebon!

“Pak, saya akan ke Jakarta, dan Bapak mulai sekarang tidak usah memikirkan saya lagi. Saya ingin berdikari. Pak, sungguh saya ingin jadi seniman teater!” 

“Sepenggal kalimat yang diungkapkan Pak Nano sekitar tahun 1968 dengan penuh keyakinan itu benar-benar diwujudkannya hingga tutup usia. Bukan hanya menjadi seniman teater, ia juga menjadi tokoh utama teater modern di Indonesia dengan keteguhan dan konsistensi yang sama seperti ketika ia meminta izin Soemardi dan Artini, kedua orang tuanya.

Tak banyak yang tahu bahwa sejak kecil, Pak Nano dipanggil oleh para tetangganya dengan sebutan ‘Nakula’. Julukan ini diberikan karena ia pernah memiliki saudara kembar bernama Pujo Purnomo, yang akrab disapa Sadewa. Di keluarganya sendiri, ia kerap dipanggil Jendol, sementara sang Sadewa dipanggil Jendil. Sayangnya, Jendil meninggal dunia saat baru berusia 21 hari. Kepergian Jendil membuat Pak Nano menjadi anak kelima di keluarganya.

Tak banyak yang tahu bahwa sejak kecil, Pak Nano dipanggil oleh para tetangganya dengan sebutan ‘Nakula’.

Bakat intelektual Pak Nano sudah tampak sejak dini. Pada usia 4 tahun, ia sudah fasih menghitung dan mengenal huruf. Setelah menempuh pendidikan dasar, ia memilih untuk mendalami dunia teater di Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI), sebuah keputusan yang berseberangan dengan kehendak ibunya yang menginginkannya menjadi seorang pastor. Nama baptis Norbertus, yang ia terima saat dibaptis di kelas 4 SD, menjadi bagian dari identitasnya.

Embrio kegiatan tulis-menulisnya dimulai sejak ia berdomisili di Bubulak, Ketanggungan Timur, dan berkembang pesat ketika ia menetap di Cirebon. Ia memiliki tempat pribadi di sudut ruang keluarga atau di atap kamar belakang untuk ‘mojok’ dan menulis di atas kertas bekas seperti pembungkus obat nyamuk, kertas rokok, atau sobekan-sobekan kertas. Maklum, buku tulis cukup mahal saat itu.

Tak jarang, Pak Nano merekam peristiwa yang dialaminya lewat bentuk adegan bergambar atau comic strip. Inspirasi untuk membuat gambar-gambar tersebut sering kali ia dapat setelah melihat buku-buku komik wayang karya R.A. Kosasih dan Ardisoma, serta karya pengarang-pengarang cerita silat seperti Gan KL, OKT, dan Kho Ping Ho.

Kegiatan ‘mojok’ ini pun memperkenalkannya pada karya-karya seniman Pujangga Baru seperti Sutan Takdir AlisjahbanaAbdul Moeis, Armijn Pane, dan Marah Roesli, serta penulis luar seperti Ernest Hemingway, Jules Verne, Alexander Dumas, hingga William Saroyan. Koleksi buku Pak Nano yang mencapai sekitar 12.000 judul disusun rapi dalam ruang kerjanya yang berukuran 4×5 meter di Perpustakaan Mini Teater Koma.

Sejak kelas dua SMP, ia telah merintis karier sebagai penulis. Karya pertamanya, Kasih Ibu, berhasil dimuat di surat kabar Berita Indonesia yang terbit di Jakarta. Semangatnya semakin berkobar ketika menyadari bahwa tulisannya dapat memberinya penghasilan. Ia pun rutin mengirimkan karya ke berbagai media cetak, mulai dari anekdot, kronik, hingga cerpen. Beberapa tulisannya bahkan dimuat di majalah ternama seperti Varia dan Selecta.

Karya pertamanya, Kasih Ibu, berhasil dimuat di surat kabar Berita Indonesia yang terbit di Jakarta.

Tak heran jika beliau sangat fasih dalam membuat karya berlatar budaya Jawa dan Cina. Pengetahuan beliau akan tradisi sudah sangat mendalam sejak muda. Beliau senang menonton kesenian rakyat seperti sintren, masres, dan pertunjukan wayang, terutama wayang golek. Pak Nano memang merupakan sosok yang terbuka pada berbagai macam budaya. Ia tidak hanya menyukai kesenian tradisional, tetapi juga menikmati film-film Hollywood.

“Pada tahun 1968, Pak Nano meninggalkan Cirebon menuju Jakarta untuk bersekolah di Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) dan mulai menempuh pendidikan teater secara formal. Di sanalah, ia berjumpa dengan Teguh Karya, seorang pengajar yang kemudian menjadi mentornya. Pak Nano lulus seleksi mengikuti kursus akting ATNI yang dikelola Teguh Karya bersama nama-nama besar seperti Slamet Rahardjo, Boyke Roring, Franky Rorimpandey, Mieke Wijaya, Titi Qadarsih, dan Hengky Sulaiman.”

Teater adalah Cermin Kehidupan

“Bagi saya, teater adalah cermin kehidupan. Salah satu upaya manusia untuk mencapai titik ujung yang bisa disebut sebagai ‘kebahagiaan manusiawi’. Teater, seharusnya adalah esensi, sari pati dari hidup itu sendiri,” ujar Pak Nano suatu waktu. Ia percaya bahwa teater adalah kehidupan yang hidup, dan dengan dasar sikap itulah Pak Nano ada di dalamnya dan bekerja.

Ia percaya bahwa teater adalah kehidupan yang hidup, dan dengan dasar sikap itulah Pak Nano ada di dalamnya dan bekerja.

Kepercayaannya pada esensi teater inilah yang ia pegang teguh sejak berkelana dari Cirebon. Bersama Teguh Karya, ia turut mendirikan Teater Populer (awalnya bernama Teater Populer Hotel Indonesia) pada tahun 1968. Pentas perdana Teater Populer melibatkan Pak Nano sebagai pemain sekaligus kru. Konsep ini serupa dengan konsep yang masih diterapkan Teater Koma hingga kini. Pemain tidak hanya berakting di atas panggung, tetapi juga terlibat aktif dalam berbagai aspek produksi, mulai dari pembuatan properti hingga menjadi kru panggung. Kesibukan Pak Nano, selain kuliah sore hari di ATNI, adalah berlatih teater di Hotel Indonesia setiap malam.

Mengutip Syaeful Anwar dalam bukunya, Dari Rumah Kertas ke Pentas Dunia, Pak Nano menyadari bahwa hidup di dunia teater berarti harus memahami kehidupan sehari-hari secara nyata. Saat bergabung dengan Teater Populer, ia telah melakoni berbagai naskah teater di panggung, mulai dari Djajaprana (1970), Pernikahan Darah (1971), Wabah Putih (1972), hingga terlibat dalam film pertama yang diproduksi oleh Teater Populer, yaitu Wajah Seorang Laki-Laki. Sejak tahun 1968 hingga tahun 1972, Teater Populer Hotel Indonesia berhasil menjaring sekitar 3.000 penonton tetap.

Tetap Kekal Meski Dicekal

Tanggal 1 Maret 1977 menjadi tonggak berdirinya Teater Koma. Inisiatif Nano Riantiarno bersama 11 orang lainnya dari berbagai latar belakang teater, seperti Teater Populer dan Teater Mandiri, melahirkan kelompok teater ini. Lakon perdana mereka, Rumah Kertas, karya Nano Riantiarno sendiri, menandai awal perjalanan panjang Teater Koma. Sejak saat itu hingga Juni 2024, mereka telah mementaskan lebih dari 230 lakon. Beberapa di antaranya adalah Trilogi Opera Kecoa (Bom Waktu, Opera Kecoa, Opera Julini)Maaf. Maaf. Maaf.J.J Atawa Jian Juhro, dan Kontes 1980. Lalu yang paling baru adalah Matahari Papua.

Dalam setiap naskahnya, Pak Nano tidak hanya menyajikan cerita tradisi, tetapi juga menyisipkan nilai-nilai kritis dan politik narasi yang dapat digunakan untuk merefleksikan pemerintahan, terutama Orde Baru.

Karena itulah, perjalanan Teater Koma tidak selalu mulus. Sejak lakon Suksesi dipentaskan pada tahun 1990, kelompok teater ini kerap menghadapi berbagai bentuk pencekalan oleh pihak kepolisian. Setahun setelahnya, ketika lakon Opera Kecoa hendak dipentaskan, terjadi pencekalan yang membuat gempar para seniman dan budayawan. Mereka pun berbondong-bondong datang ke DPR untuk melakukan aksi protes, namun upaya ini tidak membuahkan hasil. Akibatnya, Teater Koma harus mendapatkan izin pentas khusus dari pemerintah setiap kali hendak menggelar karya teater di wilayah Indonesia.

“Aku jika berhenti berarti kalah. Kalau begitu aku tidak boleh berhenti menyuarakan kebenaran hati nurani lewat karya pentasku! Jika berhenti, artinya aku sampai pada satu ‘titik’ dan tak pernah hidup lagi. Aku harus tetap ‘koma’, terjaga dan terus waspada,” kata seorang N. Riantiarno saat itu.

Aku harus tetap ‘koma’, terjaga dan terus waspada.

Setelah memiliki anak, Pak Nano mulai mencari pekerjaan tetap di luar dunia teater. Oleh karena itu, ketika Putu Wijaya mengajaknya mendirikan dan bekerja di majalah Zaman, ia menerima tawaran tersebut mulai tahun 1979 hingga 1985. Selanjutnya, ia memprakarsai majalah Matradan menjabat sebagai Wakil Pemimpin Redaksi. Bersamaan dengan itu, sejak tahun 1985 hingga 1989, ia ditunjuk sebagai Ketua Komite Teater dan juga menjadi anggota Komite Film serta Komite Sastra oleh Dewan Kesenian Jakarta. Selain itu, ia juga sering menerima pesanan untuk menulis skenario film.

Ia tak pernah berhenti berkarya hingga tahun 1993, saat Pemerintah Indonesia menganugerahkan kepadanya “Hadiah Seni”. Sejak itu, penghargaan demi penghargaan ia terima, termasuk nominasi SEA Write Awards dari pemerintah Thailand yang diserahkan langsung oleh Putra Mahkota Maha Vajiralongkorn.

Romansa Tak Lekang Waktu

Turun dari kamar tidurnya di lantai dua, ia biasanya akan mengambil air putih, kemudian duduk sebentar di kursi jati Jepara dekat dispenser sebelum sarapan. Setelah itu, ia akan membaca surat kabar. ‘Singgasana’ favoritnya di sanggar Cempaka Raya, yang juga menjadi tempat tinggalnya, adalah di dekat taman kecil di area samping perpustakaan tempatnya melahirkan naskah-naskah luar biasa itu.

Ketegasan Pak Nano saat marah membuat semua orang segan. Namun, di balik itu, terpancar sosok yang sederhana, berkarisma, dan penyayang. Kasih sayangnya kepada Bu Ratna Riantiarno membuat para anggota sanggar sering kali membayangkan memiliki pasangan yang ideal seperti beliau.

Pasangan ideal yang membangun bahtera rumah tangga untuk sebuah tujuan hidup yang sama. Mereka mencurahkan segenap jiwa raga untuk membangun keluarga yang kuat dan membuktikan bahwa cinta dan kerja keras adalah fondasi yang tak tergoyahkan, bahkan sepanjang zaman. Dari Pak Nano, Bu Ratna belajar bahwa dengan mengamati segala sesuatu, kita dapat banyak belajar.

“Nano itu sangat perhatian dan telaten sekali dalam memperlakukan saya sebagai pasangannya. Aku jatuh cinta karena ia tidak banyak berkata-kata, pendiam, tapi mengamati segala-galanya,” kenang Bu Ratna ketika bercerita tentang kesannya terhadap Pak Nano sebagai pasangan hidup.

Aku jatuh cinta karena ia tidak banyak berkata-kata, pendiam, tapi mengamati segala-galanya.

Selain menjabat sebagai Pimpinan Produksi dalam setiap pementasan, Bu Ratna juga sangat memperhatikan kebersihan lingkungan di sanggar, sehingga beliau sering disebut sebagai ‘Menteri Kebersihan’. Beliau adalah figur ibu yang tulus mengayomi dan peduli terhadap kesehatan seluruh anggota sanggar. Jarang sekali melihat beliau berdiam diri di sanggar. Beliau lebih sering terlihat aktif di dapur atau area makan untuk merapikan segala sesuatu dan memastikan ketersediaan makanan bagi para anggota yang sedang berlatih.

Pernikahan Pak Nano dengan seorang penari andalan Lembaga Kesenian Bali Saraswati pada masanya ini dilangsungkan pada 28 Juli 1978 di Gereja Effatha Melawai. Upacara sakral tersebut diiringi oleh gending Kebo Giro. Pernikahan ini seolah menjadi simbol perpaduan dua dunia teater, yaitu Teater Kecil dan Teater Populer, terlebih lagi dengan kehadiran Teguh Karya dan Rima Melati sebagai saksi.

Setelah menikah, mereka tinggal di Jalan Setiabudi Barat Nomor 4, rumah milik ayah Bu Ratna yang kerap disapa Eyang Madjid. Rumah itu tak pernah sepi karena Eyang Madjid merelakannya menjadi sanggar Teater Koma. Beliau bahkan mengizinkan beberapa anggota ‘perantau’ yang masih bujangan untuk tinggal di sana, seperti Syaeful Anwar, Jim Barry Aditya, Idries Pulungan, dan Budi Ros. Namun, pada tahun 1994, sanggar Teater Koma kemudian berpindah ke Bintaro.

Kini, meski Pak Nano telah berpulang, Bu Ratna selalu ditemani ketiga putranya; Satrya Rangga Bhuana (1979), Ra Sapta Candrika (1984), dan Gagah Tridarma Prastya (1989), juga para menantu dan cucunya, Kifa, yang sejak kecil sering diajak duduk di sebelah Pak Nano kala melatih sebuah lakon di sanggar. “Karya terbaik saya? Yang sedang saya tulis sekarang ini,” kata-kata Pak Nano yang cukup membekas di benak Rangga, putra tertua yang kini meneruskan peran ayahnya sebagai sutradara di sanggar. 

Karya terbaik saya? Yang sedang saya tulis sekarang ini.

Bagi Rangga, Pak Nano bukan hanya seorang ayah, melainkan juga seorang mentor. Beliau selalu memberikan wejangan bijak tentang kehidupan, mendukung penuh setiap keputusan Rangga, dan melibatkan seluruh anggota keluarga dalam mengambil keputusan penting. Selain itu, Pak Nano juga merupakan seorang kakek yang menyenangkan. Beliau sangat menikmati saat-saat menonton anime Dr. Stone bersama Rangga dan kagum dengan tingkat keilmiahan yang disajikan dalam serial tersebut.

Sementara itu, Dika banyak belajar tentang rumah tangga dari orang tuanya. Di matanya, sulit menemukan pasangan lain yang seideal Pak Nano dan Bu Ratna. Mereka begitu saling mencintai dan setia hingga akhir hayat. Hingga kini, Bu Ratna masih menyimpan surat-surat cinta yang kerap dituliskan oleh sang suami sejak mereka berpacaran

“Ia dulu pernah menulis puisi R di D, artinya Buat Ratna di Djakarta. Sewaktu kita sudah setengah perkawinan, ia sudah tidak pernah menulis surat lagi untuk saya, dan saya tanyakan pada saat itu mengapa ia tidak pernah menuliskan surat lagi untuk saya, kata beliau karena ia sudah sibuk menulis pementasan. Ia juga bilang saya juga tidak pernah menulis lagi untuk dia, tapi ia mengakui bahwa saya memang monoton jika membalas surat-suratnya,” kata Bu Ratna sambil tertawa dan mengingat-ingat kilasan memori romantis tentang suaminya itu. 

Sama seperti Bu Ratna yang kehilangan momen menonton maraton di bioskop dan hobi Pak Nano dalam melewatkan waktu luangnya, seluruh anggota Teater Koma juga masih berjuang mengatasi kedukaan. Rasa kehilangan itu kerap menyelinap di sela-sela angin sejuk di sanggar, di balik tirai-tirai panggung Graha Bhakti Budaya, dan di mana saja mereka berada.

Namun, kini api itu masih menyala. Para anggota teater senior seperti Idrus Madani, duo Sari Madjid dan Tinton Prianggoro, Budi Ros, Logo Situmorang, Subarkah, Rima Ananda, Rita Matu Mona, Dorias Pribadi, Daisy Lantang, Ratna Ully, Salim Bungsu, Taufan S. Chandranegara, dan seluruh anggota Teater Koma, terus berjibaku untuk menjaga agar api itu tidak padam. 

“Perjalanan ini sangat menakjubkan. Aku punya rumah dan punya segalanya. Sesungguhnya, siapa aku? Ke mana aku pulang? Dan bagaimana dengan waktu?” cuplikan dialog dalam lakon Pulangmonolog terakhir yang dimainkan Pak Nano berlatar taman kecil, sudut favoritnya di sanggar. 

Ya, waktulah yang akan menjadi saksi berkobarnya nyala api Teater Koma, sebuah teater yang tak pernah selesai, masih koma dan tak akan pernah menjadi titik. Selalu menjadi koma di hati.  

Informasi Selengkapnya
  • N. Riantiarno. 2017. Membaca Teater Koma. Yayasan Ko-Madjid (Koma) Foundation. Jakarta N. Riantiarno. 2005. Dari Rumah Kertas ke Pentas Dunia. FFTV IKJ Press. Jakarta Buku Nano & Ratna Berdua Melintasi Masa. Herry Gendut Janrto. 2003. Teater Koma Potret Tragedi dan Komedi Manusia. Rasindo (Gramedia Widiasarana Indonesia). Jakarta Pandu Raka Pangestu. 2017. Aktivisme Transnasional Teater Koma dalam Advokasi Kebebasan Berekspresi di Indonesia Pada Era Orde Baru. Skripsi. Program S1 Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. wawancara: Ratna Riantiarno, Budi Ros, Rangga Riantiarno, dan Dika Riantiarno. N. Riantiarno. 2017. Membaca Teater Koma. Yayasan Ko-Madjid (Koma) Foundation. Jakarta N. Riantiarno. 2005. Dari Rumah Kertas ke Pentas Dunia. FFTV IKJ Press. Jakarta Buku Nano & Ratna Berdua Melintasi Masa. Herry Gendut Janrto. 2003. Teater Koma Potret Tragedi dan Komedi Manusia. Rasindo (Gramedia Widiasarana Indonesia). Jakarta Pandu Raka Pangestu. 2017. Aktivisme Transnasional Teater Koma dalam Advokasi Kebebasan Berekspresi di Indonesia Pada Era Orde Baru. Skripsi. Program S1 Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. wawancara: Ratna Riantiarno, Budi Ros, Rangga Riantiarno, dan Dika Riantiarno.