Cari dengan kata kunci

Sitti Nurbaya karya Marah Rusli

Sitti Nurbaya, Buku Karya Marah Roesli

Kisah cinta versus adat memang selalu menarik untuk disimak.

Kesenian

Jika terbit di era sekarang, mungkin novel Sitti Nurbaya: Kasih Tak Sampai akan masuk dalam daftar novel Indonesia romantis populer yang dibahas banyak kalangan anak muda di media sosial. Karena novel yang terbit pada tahun 1922 ini, tampaknya memiliki paket komplit. Mulai dari percintaan pria dan wanita, sosok lelaki tua yang jahat perusak kebahagiaan, orang tua yang penuh kasih sayang, serta isu kolonialisme. 

Sitti Nurbaya adalah novel Indonesia karangan Marah Roesli, yang berasal Minangkabau. Ia adalah sastrawan yang juga menekuni karier sebagai dokter hewan. Ia merupakan alumni dari Sekolah Dokter Hewan di Bogor pada tahun 1915. Meski menjadi seorang dokter hewan, Marah tak pernah menghentikan minatnya pada dunia sastra. Novel Sitti Nurbaya meroketkan nama Marah Rusli hingga menjadikan dirinya sebagai salah satu pelopor sastra Indonesia modern, bahkan ia sering disebut sebagai bapak roman Indonesia. Saking populernya, novel ini telah dicetak berulang kali. Hingga tahun 2008, novel Indonesia ini sudah dicetak sebanyak 44 kali. Kepopulerannya tidak hanya di Indonesia tapi juga di negara tetangga, Malaysia. 

Meski menjadi seorang dokter hewan, Marah tak pernah menghentikan minatnya pada dunia sastra.

Sesuai dengan judulnya, novel ini mengangkat kisah Sitti Nurbaya yang merupakan seorang remaja perempuan yang tinggal di Padang. Ia adalah anak pedagang kaya bernama Bagindo Sulaiman. Sejak masih duduk di Sekolah Rakyat (SR), Sitti bersahabat dengan Samsul Bahri yang merupakan anak dari penghulu di Padang yang juga terpandang. Samsul yang memiliki keinginan menjadi seorang dokter, akhirnya meninggalkan Padang untuk bersekolah di Stovia Jakarta dan meninggalkan Siti. 

Sepeninggal Samsul, hidup Bagindo Sulaiman dan Sitti berubah. Harta Bagindo Sulaiman perlahan habis akibat tipu daya seorang tua jahat bernama Datuk Maringgih. Jatuh miskin, Sulaiman tak lagi mampu membayar hutang pada Datuk Maringgih yang mengancam memenjarakan Sulaiman. Jika Sulaiman tak mau dipenjara, ia harus menyerahkan anaknya untuk dikawinkan dengan Maringgih. Sitti tentunya merasa kecewa dan ketakutan karena permintaan Datuk Maringgih. Ia juga teringat pada kekasihnya, Samsul Bahri. Namun karena rasa cintanya pada sang ayah, Sitti rela menikahi Datuk Maringgih.

Samsul yang mendengar kekasihnya menikah dengan pria lain merasa kecewa dan patah hati. Ia kemudian mengunjungi Padang setelah perkawinan Sitti dan Datuk Maringgih. Samsul pun bertemu dengan Sitti, tetapi pertemuan ini diketahui oleh Datuk Maringgih. Karena pertemuan ini jelas bertentangan dengan aturan adat, ayah Samsul merasa malu dan memarahi anaknya serta melarangnya pulang kembali ke Padang. Nasib Sitti sendiri juga sama malangnya. Datuk Maringgih mengusirnya dan kemudian meracuninya hingga meninggal. 

Nasib Sitti sendiri juga sama malangnya. Datuk Maringgih mengusirnya dan kemudian meracuninya hingga meninggal. 

Meskipun dikenal sebagai novel percintaan, tetapi kisah Sitti Nurbaya mengandung banyak nilai yang masih relevan hingga sekarang. Lewat kisah Sitti dan Samsul kita bisa melihat permasalahan budaya yang kerap membelenggu sekaligus dijadikan panduan agar manusia hidup beradab. Sitti dan Samsul telah berusaha melepaskan diri dari aturan adat yang menentang cinta mereka berdua, tapi akhirnya keduanya harus kalah karena kuatnya adat yang telah mengakar jauh dalam kehidupan kita. Selain itu, dalam novel ini juga bisa dilihat masuknya pandangan atau budaya modern, dengan kehadiran penjajah kolonial yang membawa pengaruh modern terhadap kehidupan masyarakat, khususnya di Tanah Minang.  

Namun mungkin nilai yang sangat kentara dalam novel Indonesia ini adalah pertarungan antara kejahatan dan kebaikan, antara Datuk Maringgih dan Samsul Bahri yang memang menjadi puncak konflik dalam Sitti Nurbaya. Bagaimana kepicikan dan kecurangan Datuk Maringgih pada akhirnya harus berhadapan dengan kebaikan dan kekuatan cinta dari Samsul untuk Sitti. Pada akhirnya korban tak dapat dihindarkan. Namun, akhir yang tak selalu bahagia ini sepertinya justru mendongkrak popularitas novel Sitti Nurbaya hingga disamakan layaknya Romeo and Juliet dari Eropa sana.

Adaptasi Modern

Kisah Sitti Nurbaya telah banyak diadaptasi dalam medium seni yang berbeda. Adaptasi pertama yang tercatat adalah sebuah film yang rilis pada masa Hindia Belanda di tahun 1941 berjudul Siti Noerbaja. Disutradarai oleh Lie Tek Swie, film ini dibintangi oleh Asmanah, Momo, dan Soerjono. Film ini masih berformat hitam putih dan kaya dengan budaya asli Minang sesuai dengan kisah aslinya. Sayangnya film asli Siti Noerbaja saat ini tak jelas ada di mana. Meskipun beberapa pihak menyebutkan bahwa ada beberapa rekaman yang masih disimpan dalam arsip Sinematek Indonesia, tapi sampai saat ini film Siti Noerbaja versi Lie Tek Swie ini masih belum ditemukan rekaman aslinya. 

Adaptasi lain juga dibuat pada tahun 1991 dalam bentuk sinetron di TVRI yang dibintangi oleh aktor dan aktris terkenal periode ’90-an yakni Novia Kolopaking sebagai Siti Nurbaya, HIM Damsyik sebagai Datuk Maringgih, dan Gusti Randa sebagai Samsul Bahri. Adaptasi dalam bentuk sinetron lain kemudian dirilis juga pada 2004 dengan sosok Nia Ramadhani sebagai Siti Nurbaya. Uniknya dalam adaptasi versi 2004 ini, diperkenalkan karakter tambahan yang menjadi saingan dari Samsul Bahri. 

Selain dalam bentuk film, Sitti Nurbaya juga diadaptasi dalam bentuk teater oleh Indonesia Kaya bertajuk NURBAYA dan dirilis pada Juli 2021 lalu. Sebelum memulai proses produksi, Indonesia kaya berkolaborasi dengan sutradara Garin Nugroho dan Teater Musikal Nusantara (TEMAN) menyelenggarakan audisi Perjalanan Mencari Siti. Audisi ini sempat ramai di media sosial, terutama karena saat itu masih dalam kondisi pandemi, maka para calon peserta audisi mengunggah klip di akun media sosialnya masing-masing. 

Selain dalam bentuk film, Sitti Nurbaya juga diadaptasi dalam bentuk teater oleh Indonesia Kaya bertajuk NURBAYA dan dirilis pada Juli 2021 lalu.

Akhirnya terpilihlah sosok aktris muda Arawinda Kirana sebagai Siti Nurbaya, Bukie Mansyur sebagai Samsul Bahri, dan Bima Zeno Pooroe yang menjadi Tuan Meringgih. Para aktor dan aktris baru ini kemudian didukung oleh para seniman berbakat seperti Nola B3, Jessica Januar, Galabby, dan penyanyi Minang legendaris, Elly Kasim. 

Dalam format teater musikal modern, NURBAYA memberikan udara segar bagi kisah yang nyaris berusia 1 abad ini. Selingan tarian dan lagu-lagu meremajakan narasi Sitti Nurbaya, tanpa kehilangan jati dirinya yang kaya dengan budaya Minang. Pertunjukan teater ini masih bisa disaksikan di akun Youtube resmi Indonesia kaya sepanjang enam episode. 

Bukan hanya itu, adaptasi dari kisah ini bahkan juga menginsipirasi sebuah lokasi wisata di Kota Padang yakni Taman Sitti Nurbaya yang terletak di puncak bukit Batang Arau yang dikenal sebagai Gunung Padang atau Bukit Sitti Nurbaya. Pada area ini terdapat lima buah makan yang berjejer, dan dipercaya sebagai kuburan dari Bagindo Sulaiman, Sitti Nurbaya, Samsul Bahri, Sitti Maryam (ibunda Samsul Bahri), dan kuburan Sultan Mahmud (ayah Samsul Bahri). Meskipun tidak jelas kebenarannya, situs ini juga memiliki pesona lain, yakni pemandangan Kota Padang dari ketinggian yang indah. 

Informasi Selengkapnya
  • Indonesia Kaya

  • Indonesia Kaya

  • http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Sitti_Nurbaya

    https://www.idntimes.com/life/inspiration/djarum-foundation/pesan-novel-siti-nurbaya-csc/4

This will close in 10 seconds