“Hidup memang seru!”
Arifin C Noer mengulang kalimat itu sebanyak empat hingga lima kali. Dalam sebuah esai budaya yang terbit pada tahun 1989, sutradara teater dan film kenamaan Indonesia tersebut memberikan jawaban atas pertanyaan yang sering diajukan kepadanya: mengapa ia begitu konsisten menyutradarai naskah drama dan film karyanya sendiri?

Jawaban Arifin mengungkapkan filosofi hidup yang ia yakini. Dalam esai yang kemudian dimuat dalam antologi Teater Tanpa Masa Silam (2005), ia menyebut bahwa hidup itu penuh keanehan. Banyak hal tak terduga yang dapat terjadi, sementara yang dinantikan bisa saja tak kunjung datang. Ketidakpastian inilah yang menurutnya membuat hidup menjadi menarik dan seru untuk diceritakan.
“Karena saya ingin mengatakan bahwa hidup itu seru, maka saya tulis sandiwara. Karena saya ingin menceritakan bahwa hidup itu seru, maka saya menyutradarai,” tulis dramawan yang memulai debut penyutradaraan layar peraknya melalui film Suci Sang Primadona (1977).
Karena saya ingin mengatakan bahwa hidup itu seru, maka saya tulis sandiwara. Karena saya ingin menceritakan bahwa hidup itu seru, maka saya menyutradarai.
Arifin masih ingat betul rasanya diejek oleh teman sekelasnya, setelah kalah dalam lomba mengarang tingkat SD di Cirebon tahun 1950-an. Kelak, teman yang disebut-sebut pandai itu ternyata menjalani kehidupan yang biasa-biasa saja. Sebaliknya, Arifin yang mengaku sering minder, justru memetik kisah manis. Ia kemudian dikenal sebagai salah satu tokoh penting dalam dunia teater dan film.
Montase kehidupan Arifin C Noer ternyata memiliki keterkaitan dengan kehidupan banyak orang. Hal yang sama terlihat dalam naskah-naskah dramanya yang sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan. Tema-tema humanis yang dalam itu kemudian diselaraskan dengan rasa humor yang tinggi. Demikian cara Arifin mengajak penontonnya untuk merenungkan hidup sambil tertawa.
Arifin Chairin Noer, yang lahir di Cirebon, 10 Maret 1941, adalah fenomena menarik dalam dunia teater Tanah Air. Maestro sastra dan teater sekaliber W.S. Rendra, Putu Wijaya, dan Suyatna Anirun, saja tidak ragu memuji sosoknya sebagai pelopor teater khas Indonesia. Teater Arifin tidak lagi berkiblat pada peta teaternya Ibsen, Shakespeare, atau Arthur Miller.
Arifin memang berbeda dari yang lain. Alih-alih mengikuti arus teater realis yang populer di Indonesia sejak 1960-an, ia dengan percaya diri mengawinkan surealisme dengan khazanah teater tradisional untuk mengungkapkan wajah Indonesia yang sesungguhnya.
Selain menulis dan menyutradarai naskah drama, Arifin juga mendalami seni peran sekaligus mengembangkan ilmu dramaturgi. Berkat pencapaiannya di bidang seni dan sastra, ia menerima sejumlah penghargaan, seperti Anugerah Seni dari Pemerintah Indonesia (1972), Hadiah Sastra dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (1990), serta SEA Write Award dari Kerajaan Thailand (1990).
Di bidang film dan televisi, Arifin merupakan peraih 6 Piala Citra dan 2 Piala Vidia. Kategorinya beragam, termasuk untuk film terbaik, sutradara terbaik, dan penulis skenario terbaik. Filmnya yang paling fenomenal, Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI (1984), pernah menjadi film terlaris di Indonesia hingga tahun 1995.
Manusia Indonesia dalam Benak Arifin
Arifin C Noer adalah sosok manusia yang tidak pernah berhenti berpikir. Hal ini tersirat dari ucapan sang istri, Jajang C Noer, yang menyebut orang terkasihnya itu punya banyak kegelisahan. Kenyataannya, tidak ada yang lebih membuat Arifin resah daripada menyaksikan kesulitan hidup bangsanya sendiri.
Kenyataannya, tidak ada yang lebih membuat Arifin resah daripada menyaksikan kesulitan hidup bangsanya sendiri.
“Dia menulis karena ada yang mengganggu pikirannya, terutama saat melihat nasib orang-orang pinggiran,“ ungkap Jajang saat ditemui di kediamannya di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Dengan aksennya yang khas, aktris peraih Piala Citra 1992 untuk kategori Pemeran Pembantu Terbaik itu berbicara panjang lebar tentang kebaikan hati Arifin. Ia menyebut karya-karya suaminya sebagai cerminan kepedulian terhadap sesama. Baik dalam naskah drama maupun skenario film, Arifin kerap mengangkat berbagai sisi kehidupan manusia Indonesia dengan segala ketidakberesan-nya. Semua itu disajikan dengan jujur, terbuka, dan apa adanya.
Potret ‘telanjang’ manusia Indonesia modern itu dibeberkan Arifin lewat naskah drama Sumur Tanpa Dasar yang ditulis pada tahun 1964. Drama ini menceritakan krisis kemanusiaan dalam diri tokoh Jumena Martawangsa, yang hampir dikalahkan oleh nilai-nilai materi. Dalam esainya, Arifin menulis, “Jumena adalah diri kita semua tanpa kita sadari.”
Naskah drama Sumur Tanpa Dasar kemudian dianggap sebagai salah satu puncak kepengarangan Arifin C Noer. Lakon tersebut semakin abadi berkat banyaknya versi dan tafsiran baru yang telah dipentaskan berulang kali. Teater Gardanalla Yogyakarta menjadi salah satu kelompok yang berhasil mementaskan versi terbaru dari lakon ini pada tahun 2015.
Tema tentang orang-orang pinggiran yang bertahan hidup di tengah dunia yang serba materialistik memang selalu menjadi sorotan utama dalam naskah drama ciptaan Arifin. Pada lakon Kocak-Kacik (1975), ia kembali memunculkan tokoh yang hidupnya terombang-ambing (kocak-kacik) di antara idealisme dan uang. Di benak Arifin, tokoh koruptor, tukang suap, penjudi, dan orang-orang serakah, lahir dari krisis kemanusiaan semacam itu.
Arifin juga sering mengeksplorasi krisis dan penderitaan akibat kebiasaan buruk yang menjerat rakyat jelata. Dalam Kapai-Kapai (1970), misalnya, tokoh Abu digambarkan sebagai buruh yang hidup dalam keadaan fakir akibat kekurangan pemahaman soal religiusitas dan kebodohan sikap. Akibatnya, Abu memilih berjudi agar bisa mencapai kebahagiaan.
Naskah Kapai-Kapai merupakan lakon ciptaan Arifin yang paling banyak diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Versi bahasa Inggrisnya, Moths (1974), pernah dipentaskan di New York, California, dan Hawaii. Selain itu, terjemahan dalam bahasa Cina, Swedia, dan Flanders-nya, secara berturut-turut dipertunjukkan di Singapura, Swedia, Belanda, dan Belgia.
Naskah Kapai-Kapai merupakan lakon ciptaan Arifin yang paling banyak diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa.
Baik Sumur Tanpa Dasar maupun Kapai-Kapai, ia tulis dengan bahasa teater yang simbolis. Arifin memadukan dialog dari adegan yang bersifat nyata dengan dunia imajinasi yang cenderung religius. Kisah realis yang disampaikan dengan gaya surealis ini kemudian menjadi salah satu warisan terpenting Arifin C Noer dalam khazanah teater Indonesia.
Seperti yang dituturkan oleh Jajang, pada hakikatnya, lakon-lakon Arifin dibuat untuk melawan sifat-sifat tidak jujur dalam diri manusia. Akan tetapi, Jajang tidak setuju jika karya-karya Arifin dimasukkan ke dalam golongan satire. Menurut pemeran film Bibir Mer (1992) itu, Arifin tidak sedang menyindir atau menghakimi siapa pun. Sebaliknya, apa yang ditulisnya merupakan sebuah kenyataan sosial. Tidak jarang, kenyataan itu tidak lebih masuk akal daripada dunia dongeng.
“Karya Mas Arifin itu sebenarnya realis,” ungkap Jajang sambil menunjuk relevansi lakon ciptaan Arifin dengan kehidupan nyata. “Tapi, menurut mas Arifin, hidup itu, kan, surealis. Kayak korupsi. Udah dibilang nggak boleh karena ada sanksinya, tetap dilakukan,” pungkasnya.
Tapi, menurut mas Arifin, hidup itu, kan, surealis. Kayak korupsi. Udah dibilang nggak boleh karena ada sanksinya, tetap dilakukan
Di bidang film sekalipun, Arifin masing sering menampilkan gestur penolakan terhadap kehidupan yang materialistik. Film-film hasil arahannya seperti Matahari-Matahari (1985), Biarkan Bulan Itu (1986), dan Taksi (1990), dipenuhi tokoh-tokoh yang kurang bahagia meski harta melimpah. Di samping itu, Arifin juga tidak takut menyoal isu kesenjangan sosial, seperti yang ditunjukkan dalam skenario film Melawan Badai (1974) dan Suci Sang Primadona (1977).
Berkat tema-tema yang berpihak pada rakyat, naskah drama ciptaan Arifin lebih cepat diterima publik perkotaan. Tokoh-tokoh khas kehidupan metropolis dengan profesi buruh, tunasusila, pencopet, dan orang-orang kolong, nyaris selalu muncul. Di atasnya, ada tokoh pejabat, direktur, dan nyonya besar, yang hidup dalam impian golongan pertama tadi.
Kepedulian Arifin terhadap problematika kehidupan rakyat kecil tentu bukan sikap yang diambil dalam waktu semalam. Pengalaman bekerja di bagian personalia kawasan industri Pulogadung, Jakarta Timur, tahun 1970-an, agaknya membuat Arifin semakin mawas diri. Di tempat itu, ia menyaksikan sendiri buruh-buruh yang terlunta-lunta akibat kehilangan haknya dan pemuda putus sekolah yang terpaksa mencopet demi sesuap nasi. Arifin tidak takut mengakui kekacauan semacam itu sebagai bagian dari dunianya.
“Saya hidup di dunia kelam, dekat dengan kejelataan dan musik dangdut,” tulis Arifin dalam antologi Teater Tanpa Masa Silam (2005).
Dia yang Begitu Rendah Hati
Arifin C Noer dan rendah hati adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Tumbuh dewasa dalam kondisi serba kekurangan tidak membuat Arifin gandrung akan kemewahan. Sayangnya, tak lantas semua orang percaya akan gaya hidup sederhana penggemar masakan Cirebon ini. Arifin sempat gelisah lantaran banyak orang menyebutnya sebagai orang kaya.
“Kasihan terhadap diri saya sendiri, orang sering menuding saya orang kaya,” katanya, mengutip majalah Vista tahun 1985.
Arifin enggan mengakui bahwa dirinya pernah menjadi sutradara termahal di Indonesia dekade 1980-an. Padahal, upahnya ketika membuat film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI (1984) saja mengungguli honorarium semua sutradara terkenal kala itu. Dengan bayaran dari film tersebut, Arifin bahkan mampu membeli rumah di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Pada saat yang sama, Arifin dikenal sangat hemat. Laporan majalah Tempo (3/5/1980) menyebut Arifin sebagai satu-satunya sutradara yang bisa membuat film berkualitas dengan biaya minim. Kabarnya, filmnya yang berjudul Yuyun Pasien Rumah Sakit Jiwa (1979) hanya menghabiskan setengah dari anggaran rata-rata film lain yang ikut berkompetisi dalam FFI 1980 di Semarang.
Laporan majalah Tempo (3/5/1980) menyebut Arifin sebagai satu-satunya sutradara yang bisa membuat film berkualitas dengan biaya minim.
“Dalam membuat film, saya dipengaruhi oleh pemikiran dalam kerja teater. Faktor anggaran tidaklah harus membatasi kreativitas,” ujar Arifin penuh perhitungan. Meskipun pada akhirnya film itu tidak menang, Arifin sudah cukup membuktikan bahwa film berkualitas tidak harus mahal.
Tumbuh di lingkungan santri di kampung jagal kambing Kenduruan, Cirebon, agaknya berhasil menanamkan prinsip hidup sederhana dalam diri Arifin. Sebagai anak kedua dari delapan bersaudara, Arifin sangat jarang dimanja. Ayahnya, Muhammad Adnan, adalah seorang mantan tentara yang berprofesi sebagai penjual sate, sementara ibunya adalah ibu rumah tangga yang memiliki pergaulan yang luas.
Arifin kecil adalah anak yang sangat aktif, berani, dan penuh imajinasi. Ketika belum tamat SD, ia sudah berani pergi ke Jakarta dan Bandung dengan menumpang mobil pengangkut bawang. Terkadang, dia berkhayal menjadi seorang petualang dalam film-film sains fiksi. Bila tidak sedang mengaji atau belajar silat, Arifin suka menyendiri sambil mengumpulkan dan menyusun tulang binatang bak seorang peneliti.
Di balik keberaniannya, Arifin menyembunyikan sifat pemalu. Meskipun demikian, kekurangan tersebut tidak menghalanginya untuk mengikuti lomba mengarang tingkat SD. Setelah itu, ia semakin aktif dengan membaca puisi dan membuat duet lawak untuk pentas di panggung sekolah menengah. Minatnya semakin dalam di dunia seni pertunjukan, terutama setelah ia membaca naskah drama Bunga Rumah Makan karya Utuy Tatang Sontani, yang akhirnya membulatkan tekadnya untuk berkecimpung lebih jauh di dunia pentas.
Sekitar awal tahun 1960-an, Arifin pamit merantau ke Solo untuk melanjutkan pendidikan di SMA Jurnalistik. Di Kota Batik itu, ia berkenalan dengan Rendra, yang menawarinya peran antagonis dalam pementasan Paraguay Tercinta karya Fritz Hochwälder. Selama beberapa tahun, keduanya berkarya bersama meski dalam kondisi serba terbatas. Saking sulitnya hidup kala itu, Arifin menamai diri mereka dengan julukan “Pandawa Kacang”.
“Bukan karena kami semuanya kurus pada saat itu, tapi karena untuk beberapa hari, kami hanya makan kacang tanah saja,” kenang Arifin, seperti dikutip surat kabar Harian Masa Kini(23/1/1988).
Sejak muda, Arifin tidak memiliki sifat sombong. Kerendahan hatinya sering kali bersinggungan dengan rasa rendah diri. Pada usia 25 tahun, pria yang mengidolakan sutradara Elia Kazan dan aktor Marlon Brando ini masih sering meragukan kelayakan lakon-lakon ciptaannya sendiri. Padahal, pada waktu itu, Arifin sudah menulis sekitar 17 naskah drama.
Dalam sebuah wawancara dengan majalah Minggu Pagi (4/12/1966), Arifin mengaku sering menjadi bahan ledekan teman-temannya akibat sifat rendah dirinya. Suatu ketika, pada tahun 1962, Arifin yang masih berusia 21 tahun ditertawakan habis-habisan karena mempertanyakan bakatnya sendiri di hadapan Rendra dan kawan-kawannya. Dua tahun kemudian, Arifin menghilang selama lima hari karena merasa tidak percaya diri ketika seorang teman kuliahnya tertarik untuk mementaskan naskah drama berjudul Bulan Pada Suatu Malam ciptaannya.
“Sekalipun, begitu saya tidak pernah yakin akan bakat saya. Lantaran itu, saya harus senantiasa meyakinkan diri saya dengan studi dan latihan-latihan,” tutur Arifin seraya menyemangati diri.
Menariknya, Arifin tidak pernah mengenyam pendidikan di akademi teater ataupun sekolah film. Seluruh pengetahuan tentang dunia pertunjukan ia dapatkan secara otodidak. Di Yogyakarta, sambil menyelesaikan studi Administrasi Negara di Universitas Cokroaminoto, Arifin menimba pengalaman dari dramawan Pedro Sudjono dan Mohammad Diponegoro di bawah kelompok Teater Muslim. Begitu juga dengan bidang sinematografi, yang dipelajarinya dari sutradara Wim Umboh.
Seluruh pengetahuan tentang dunia pertunjukan ia dapatkan secara otodidak.
Ketekunan Arifin membuahkan hasil. Meskipun tidak berlatar belakang akademis, Arifin bersama Satyagraha Hoerip pernah mewakili Indonesia dalam International Writing Program di Universitas Iowa, Amerika Serikat, pada tahun 1972. Dari sana, ia kemudian diminta untuk mengajar teater di University of California, San Jose, selama tiga bulan. Pada sekitar tahun 1980-an, Arifin memboyong keluarga kecilnya ke Hawaii untuk melakukan riset tentang teater modern ASEAN.
Selain itu, Arifin juga dikenal pandai menempatkan diri. Filosofi hidup yang dimilikinya itulah yang kemudian menjadi gagasan di balik penamaan Teater Ketjil, sebuah bengkel teater yang didirikan setelah Arifin merantau ke Jakarta pada tahun 1968. Disebut “kecil” karena mewakili teater rakyat, selain makna lainnya yang mencerminkan semangat “tahu diri”.
“Kelompok ini, kan, mengandalkan pada eksperimentasi. Kami tahu, penontonnya akan terbatas hanya sejumlah kecil saja,” papar Arifin, seperti dilansir Kompas (29/5/1995). Teater Ketjil kemudian dikenal sebagai salah satu teater eksperimental yang paling berhasil meleburkan unsur-unsur lenong, ludruk, wayang, stambul, hingga musik melayu pesisir, ke dalam pentas teater modern.
Akhir dari Keresahan sang Sutradara
Tidak diragukan lagi, Arifin C Noer memang sangat mencintai hidup. Dari istri pertamanya, Arifin dikaruniai dua anak laki-laki. Putra sulungnya diberi nama Vita Ariavita yang dalam bahasa Latin berarti kehidupan, sementara sang adik bernama Veda Amritha yang bermakna keabadian. Pernikahan bersama perempuan Solo bernama Nurul Aini itu berakhir sebelum genap 10 tahun.
Arifin kemudian menikah lagi dengan Lidia Djunita Pamontjak, yang selanjutnya lebih dikenal sebagai Jajang C Noer. Keduanya bertemu di tengah suasana seni dan kekeluargaan Teater Ketjil pada akhir 1970-an. Dari pernikahan kedua ini, mereka dikaruniai dua anak bernama Nitta Nazyra dan Marah Laut.
Seperti yang sudah pernah dikemukakan oleh Jajang, Arifin adalah sosok yang memiliki banyak keresahan. Hal-hal kecil saja bisa membuatnya gelisah. Kalau sudah begini, Jajang harus senantiasa mendampingi sang suami.
“Dia selalu ingin saya ikut ke mana-mana. Bukan karena romantis, tapi karena takut. Dia takut naik pesawat, jadi tangan saya selalu dipegang,” ungkapnya sambil tertawa.
Salah satu sumber keresahan Arifin yang paling sulit ditaklukkan barangkali adalah sisi buruk industri perfilman Indonesia pada masa Orde Baru. Siapa sangka, film dokudrama arahannya, Serangan Fajar (1981) dan Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI (1984), justru menuai banyak polemik. Jajang sempat menggambarkan betapa suaminya terkejut saat mengetahui bahwa film-film tersebut diputar setiap tahun dan wajib ditonton oleh anak-anak sekolah.
“Dia nggak pernah memperkirakan akan sebegitu jauhnya film itu menjadi alat propaganda,” kenang Jajang. Menurutnya, Arifin hanya bermaksud membuat film sejarah yang berguna bagi banyak orang.
“Dia nggak pernah memperkirakan akan sebegitu jauhnya film itu menjadi alat propaganda,” kenang Jajang.
Di samping itu, kebijakan sensor pemerintah juga sedikit banyak meninggalkan rasa frustasi dalam diri Arifin. Hal ini terjadi lantaran film keduanya yang berjudul Petualang-Petualang (1978) pernah babak belur dihabisi Badan Sensor. Kejadian serupa kembali terulang saat pembuatan Djakarta 1966 (1989), yang terkena banyak potongan sensor sehingga merusak jalan ceritanya.
Di tengah kondisi perfilman Tanah Air yang kian memburuk, Arifin sepakat untuk menjajal dunia televisi. Beberapa judul naskah drama ciptaannya sempat mengisi layar kaca sepanjang tahun 1980-an dan awal 1990-an. Salah satunya berjudul Sebuah Dongeng Cinta yang tayang dalam rangka Pekan Sinetron HUT TVRI 1991.
Goresan pena Arifin pun terus menghasilkan tontonan berkualitas hingga detik-detik terakhir dalam hidupnya. Arifin C Noer meninggal dunia pada tanggal 28 Mei 1995 akibat penyakit kanker hati saat tengah mengerjakan skenario sinetron Bukan Perempuan Biasa. Pembuatan serial yang berhasil memboyong nama besar Christine Hakim ke layar televisi untuk pertama kalinya itu, kemudian diestafetkan kepada sang istri.
Sampai akhir hayatnya, Arifin terus mencintai hidup, meski hanya sekelebat ibarat mimpi. Sosoknya mengingatkan pada Eugène Ionesco, penulis drama asal Rumania-Prancis beraliran absurd yang sangat mencintai hidup sampai-sampai takut akan kematian. Namun, Arifin berbeda. Baginya, kelangsungan hidup masyarakat jauh lebih penting daripada apa pun juga.
Hal itu tersurat pada sebaris dialog naskah drama Dalam Bayangan Tuhan yang dipentaskan oleh Teater Ketjil di TIM pada tahun 1984. Arifin menulis, “Sutradara boleh mati, tapi tidak aktor. Kalau aktor mati, teater akan ikut mati. Kalau teater mati, niscaya masyarakat akan kesepian dan segera akan menjadi gila.”
Di pengujung pembicaraan, Jajang mengemukakan hal yang jarang diketahui orang. Dia bilang, huruf C di tengah nama Arifin seharusnya ditulis tanpa tanda titik. Secara simbolis, Arifin berharap agar karya-karyanya tidak akan pernah berakhir, terus hidup dan mengalir seperti halnya kalimat tanpa tanda titik.