Cari dengan kata kunci

Salah Asuhan

Salah Asuhan, Buku Karya Abdoel Moeis

Ketika keprihatinan pada kondisi sosial budaya disajikan lewat romansa bagi kaum muda.

Kesenian

Pasca kemunculan novel Sitti Nurbaya pada tahun 1922, banyak novel Indonesia lain yang berupaya mengekor kesuksesan kisah romans tersebut dengan mengulang-ulang narasi seputar cinta terhalang takdir. Namun berbeda dengan novel Indonesia karya sastrawan asal Minang, Abdul Muis. Dalam novelnya yang paling populer, Salah Asuhan, ia justru memberikan kritik pada mentalitas pemuda Minang yang menurutnya kerap silau terhadap budaya barat dan isu modernitas. 

Salah Asuhan memberikan kritik pada mentalitas pemuda Minang yang menurutnya kerap silau terhadap budaya barat dan isu modernitas. 

Diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1928, karya sastra Salah Asuhan menghadirkan perbenturan antara budaya Indonesia khususnya Minang dan budaya barat yang dibawa oleh kaum kolonial. Adalah sosok Hanafi yang menjadi tokoh utama. Hanafi yang merupakan pemuda asal Solok, Sumatera Barat yang dianugerahi kepandaian, sehingga meskipun anak seorang pribumi, Hanafi bisa bersekolah di HBS. Padahal pada masa tersebut, HBS dikhususkan bagi anak-anak bangsa Eropa, Tionghoa, dan pribumi elit. Untuk membayar biaya sekolah saja Hanafi perlu dibantu sang paman, karena ibunya Hanafi harus menghidupi anak semata wayangnya sendirian. 

Selain bersekolah di tengah kaum kolonial, Hanafi juga sengaja dititipkan ke sebuah keluarga Belanda. Di mana ia semakin terjerumus dalam pergaulan kaum Eropa. Hingga akhirnya Hanafi jatuh cinta pada seorang gadis Belanda bernama Corrie du Bursse. Meskipun berbeda budaya keduanya yang saling mencintai ingin menikah, tapi tentunya pada masa itu pernikahan campuran antara pribumi dan kolonial masih dianggap hal yang bertentangan dengan adat. Apalagi Hanafi adalah pemuda Minangkabau yang menurut aturan adat matrilineal haruslah menikah dengan perempuan Minang dengan suku dan keturunan yang baik. Pernikahan keduanya jelas hanya akan membawa keburukan bagi masing-masing pihak.

Ketika keinginan Corrie menikahi Hanafi ditolak oleh ayahnya, Corrie pun pergi ke Jakarta dan memutuskan hubungannya dengan Hanafi. Sepeninggal Corrie, Hanafi menyetujui untuk menikah dengan perempuan Minang pilihan ibunya. Namun hal tersebut rupanya tak merubah prinsip Hanafi yang memang sudah silau dengan budaya barat dan masih menyimpan rasa pada Corrie. Bahkan ketika ada kesempatan untuk pergi ke Jakarta, Hanafi pun berharap untuk bertemu dengan Corrie. 

Ketika keduanya bertemu kembali, Hanafi mencoba memperjuangkan cintanya pada Corrie, hingga akhirnya mereka bisa menikah. Hanafi juga menceraikan istrinya di Minang, kemudian mengganti namanya menjadi Christiaan Han, dan sesuai dengan putusan pengadilan ia kini sederajat dengan Corrie yang merupakan orang Belanda. 

Penyesuaian karakter

Ketika hendak diterbitkan pada masa kolonial, novel ini sempat ditolak oleh Balai Pustaka. Alasannya karena Abdul Muis memasukan penggambaran negatif pada karakter Belanda. Tentunya pada masa novel ini terbit, hal tersebut tidak bisa dibiarkan. Akhirnya Abdul Muis harus melakukan perubahan pada karakter Corrie. Hal ini dituliskan dalam buku Di Balik Tirai Salah Asuhan karya Syafi’i Radjo Batuah. Menurut isi buku tersebut, pada awalnya karakter Corrie digambarkan sebagai gadis pesolek yang bebas. Corrie bahkan menjual dirinya pada pria kaya, hingga kapten kapal. Dalam versi Balai Pustaka kemudian Corrie digambarkan sebagai perempuan baik dan tidak tergoda bujuk rayu pria. Corrie pun , dikisahkan meninggal karena sakit. 

Ketika hendak diterbitkan pada masa kolonial, novel ini sempat ditolak karena Abdul Muis memasukan penggambaran negatif pada karakter Belanda.

Kritik Atas Budaya

Bab pertama buku ini dibuka dengan benturan budaya yang diperbincangkan oleh Hanafi dan Corrie. Bagi Hanafi sendiri tidaklah jelas batas sebuah budaya serta pemaknaan budaya sangatlah berbeda antar bangsa. Hal ini menunjukkan tujuan yang hendak dicapai oleh sang penulis. Bahwa buku ini mengusung kritik atas budaya dan konflik yang bisa terjadi jika dua budaya dibenturkan. 

Hal ini juga didukung lewat pengakuan sang pengarang yang dikutip dari buku Unsur Adat Minangkabau dalam Sastra Indonesia 1922 – 1966 karangan Drs. Lukman Ali, Salah Asuhan merupakan upaya sang pengarang untuk menyoroti mentalitas pemuda Minang yang kaget dengan budaya dan pendidikan Eropa. Menurut Abdul Muis, pemuda-pemuda masa depan Indonesia ini meskipun mengecap pendidikan barat, haruslah tetap dijaga agar bersifat timur (menjaga budaya dan tradisi lokal), karena tindakan kebarat-baratan inilah yang kerap menjadi sumber konflik di antara keluarga mereka yang seringkali masih sangat kolot. 

Salah Asuhan merupakan upaya sang pengarang untuk menyoroti mentalitas pemuda Minang yang kaget dengan budaya dan pendidikan Eropa.

Tentunya kritik ini tak bermaksud memperluas perbedaan antara timur dan barat, atau merendahkan salah satunya. Justru Abdul Muis ingin menegaskan bahwa masing-masing budaya memiliki keagungannya sendiri, dan tidak berbeda derajatnya satu sama lain. Serta yang perlu selalu diingat adalah ‘Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung’. Bahwa seorang pendatang pun harus tetap menghormati budaya dan adat lokal demi hubungan yang harmonis antara kedua kelompok.

Kritik dan tema yang dibawa oleh Salah Asuhan masih sangat relevan hingga saat ini. Apalagi di zaman globalisasi yang memungkinkan budaya asing bisa dengan mudahnya masuk dan bercampur dengan budaya lokal. Berpikiran terbuka terhadap budaya baru perlu dilakukan tetapi jangan terlalu mudah tergiur tanpa selektif memilih. Jangan sampai budaya baru yang diadopsi justru memicu konflik atau menghilangkan identitas kita sebagai sebuah masyarakat. Maka dari itu sangat penting dilakukannya penguatan identitas diri dan budaya, agar dapat menjamin keberlangsungan adat dan budaya sebuah bangsa. 

Lantas mengapa Abdul Muis tampaknya sangat peduli terhadap isu budaya? Mungkin karena selain sebagai sastrawan, ia juga aktif sebagai aktor dalam pergerakan nasional. Abdul Muis yang lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat. Ayahnya bernama Sutan Sulaiman yang menjabat sebagai Demang Sungai Puar yang sangat vokal melawan kebijakan Belanda di tanah kelahirannya. Abdul Muis pindah ke Jakarta untuk melanjutkan sekolah ke STOVIA, tapi ia malah memulai kariernya di tengah pemerintahan bangsa kolonial. Kemudian ia menjadi wartawan di Bandung hingga akhirnya ia bergabung dengan Sarekat Islam. Di sanalah ia mulai aktif dalam pergerakan nasional, termasuk mendirikan Komite Bumiputera bersama Ki Hadjar Dewantara. Tahun 1917, Abdul dikirim ke Belanda sebagai utusan dari Sarekat Islam. Pada lawatan tersebut ia mendorong tokoh-tokoh di Belanda untuk mendirikan Technische Hooge School di Bandung yang kini dikenal sebagai Institut Teknologi Bandung.

Setelah kembali ke Indonesia, Abdul Muis sempat kembali ke Padang. Di sana ia memimpin aksi untuk menentang aturan pajak dari kolonial yang dinilai memberatkan masyarakat Minangkabau. Akibat aksinya, ia dilarang berpolitik, diusir dari Sumatera Barat, dan diasingkan ke Garut. Di kota inilah ia menyelesaikan novel Salah Asuhan. Karena andilnya dalam pergerakan nasional dan perjuangan menyejahterakan masyarakat pribumi membuat Abdul Muis diganjar oleh predikat Pahlawan Nasional pada tahun 1959.

Novel Salah Asuhan sendiri dinilai sebagai novel yang berhasil membawa corak baru dalam sastra modern Indonesia. Karena itu novel ini telah banyak diulas, dan hingga tahun 2008 novel Indonesia ini sudah dicetak ulang sebanyak 36 kali. Salah Asuhan juga telah diterjemahkan dalam Bahasa Inggris dengan judul Never the Twain dan diterbitkan oleh Lontar Foundation. Novel ini juga diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang dan Tiongkok, serta berhasil menjadi salah satu novel terjemahan laris di Cina.

Hingga tahun 2008 novel Indonesia ini sudah dicetak ulang sebanyak 36 kali.

Adaptasi Salah Asuhan 

Salah Asuhan juga sempat diadaptasi dalam bentuk film oleh sutradara Asrul Sani di tahun 1972. Film ini dibintangi oleh aktor Dicky Zulkarnaen sebagai Hanafi, Rima Melati sebagai Rapiah, dan Ruth Pelupessy sebagai Corrie du Busse. Pada film ini latar cerita diubah ke tahun ’70-an. Adaptasi terbaru ada dalam format sinetron yang disutradarai oleh Azhar Kinoi Lubis di tahun 2017. Dibintangi oleh Dimas Aditya, sinetron Salah Asuhan dibuat lebih modern menyesuaikan keadaan, waktu dan tempat, tapi tetap merujuk pada inti kisah mengenai budaya dan romansa.

Informasi Selengkapnya
  • Indonesia Kaya

  • Indonesia Kaya

  • http://103.44.149.34/elib/assets/buku/Salah_Asuhan.pdf
    http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Salah_Asuhan
    https://tirto.id/sinopsis-novel-salah-asuhan-karya-abdoel-moeis-gkzn
    https://www.antaranews.com/berita/1588018/salah-asuhan-karya-sastrawan-yang-kelahirannya-jadi-hari-sastra
    http://civitasbook.com/singo.php?cb=non&_i=wall&id1=aaaaaaaatamu&id2=&id3=aaaaapip1_pahlawan

This will close in 10 seconds