Cari dengan kata kunci

Mpok Nori: Mengawal Seni Betawi dari Jalanan ke Panggung

MPOK NORI

Mpok Nori: Mengawal Seni Betawi dari Jalanan ke Panggung

Kisah hidup dan warisan seorang seniman Betawi yang serba bisa.

Tokoh

Semakin tua semakin jadi. Tidak ada kalimat lain yang lebih tepat mendeskripsikan seniman Betawi sekaligus komedian Nuri Sarinuri. Lahir di Depok, pada 10 Agustus 1930, ia lebih populer dengan nama Mpok Nori. Ketika usianya sudah tidak muda lagi, perempuan bersuara melengking itu justru semakin tampil menarik di mata generasi muda perkotaan. Selain pandai bersiul dan bermain silat, Mpok Nori juga bisa membawakan teriakan rocker.

Pada 3 April 2015, Mpok Nori tutup usia mewariskan semangat kesenian Betawi yang menemani tiap tarikan napas hidupnya selama 84 tahun. Ia meninggal akibat kelainan paru-paru dan penurunan kesadaran karena usia lanjut. Kabar duka itu dikabarkan sempat menjadi trending topic di Twitter, platform media sosial yang didominasi usia muda.

Kiprah dan kepeloporan Mpok Nori di bidang seni dan budaya Betawi kerap dipertanyakan orang. Namanya selalu tertutup kisah-kisah legendaris seniman Betawi senior lainnya yang kebanyakan adalah laki-laki, seperti Benyamin Sueb atau Haji Bokir. Tidak heran, semakin sedikit orang yang mengetahui riwayat hidup ikon komedi Betawi perempuan itu.

Di samping itu, tak banyak literatur, baik dalam bentuk luring maupun daring, yang mengangkat cerita tentang Mpok Nori. Salah satu sumber yang merekam kisah Mpok Nori dengan cukup baik adalah skripsi berjudul Kiprah Mpok Nori dalam Mengembangkan Kesenian Betawi (1968-1995), karya mahasiswi Universitas Indonesia, Imas Yosita, yang disusun pada tahun 2014. Saat itu, Imas bertemu dan mewawancarai Mpok Nori secara langsung. 

Pada akhirnya, partisipasi Mpok Nori dalam membentuk sejarah dan identitas seni Kota Jakarta pun mulai diperhatikan. Memperingati HUT DKI Jakarta ke-495 pada 22 Juni 2022, Pemprov DKI Jakarta mengabadikan sejumlah tokoh dan seniman Betawi menjadi nama jalan di Ibu Kota. Mpok Nori salah satunya. Jalan Mpok Nori ditetapkan sebagai pengganti Jalan Bambu Apus di Kecamatan Cipayung. Selain Mpok Nori, ada 21 nama tokoh Betawi lainnya yang dianggap berjasa.

Padahal sebagai seniman Betawi, proses berkarya yang dilalui Mpok Nori tidak bisa lepas dari sejarah Jakarta itu sendiri. Ia merupakan satu dari sedikit seniman perempuan Betawi yang berjasa melepaskan lenong dari cap kampungan. Bersanding dengan seniman-seniman lain yang laki-laki, Mpok Nori mengawal seni Betawi dari jalanan melesat ke panggung-panggung besar dan televisi. Mpok Nori memang pelawak, tetapi darah seniman tradisi yang mengalir dalam dirinya jauh lebih kental.

Mpok Nori memang pelawak, tetapi darah seniman tradisi yang mengalir dalam dirinya jauh lebih kental.


Belajar Melawak

Orang Betawi umumnya dikenal memiliki sifat humor yang menonjol. Dalam kesehariannya, mereka sangat spontan, ceplas-ceplos, dan berbicara apa adanya. Tidak pandang tempat dan waktu, mereka bisa bergurau di mana dan kapan saja, bahkan di sebuah acara pemakaman sekalipun. Sifat tersebut yang mengilhami lakon-lakon dalam teater lenong dan seni pertunjukan tradisional Betawi lainnya.

Namun bagi Mpok Nori, melawak ternyata bukan bakat alami. Saat pertama kali berjumpa dengan Mpok Nori di kediamannya di Kawasan Bambu Apus, Jakarta Timur, tahun 2014, Imas Yosita tidak menyangka jika sosok yang diidolakannya itu tidak suka melucu. Sebaliknya ia sangat khidmat dan tidak banyak bicara. Mpok Nori juga tidak suka membesar-besarkan perjuangan hidupnya.

“Beliau itu ramah dan cenderung pendiam, tidak sama dengan saat tampil di panggung yang rame dan heboh,” beber Imas saat ditemui redaksi Indonesia Kaya.

Engkar Karmila Sari, anak bungsu Mpok Nori yang kini mengikuti jejaknya sebagai pegiat kesenian Betawi, membenarkan pengalaman Imas tersebut. Ia menuturkan kepada Indonesia Kaya bahwa sang ibu adalah seniman yang sangat serius. Sehari-hari ia sangat kalem dan tidak suka bercanda. Sifat Mpok Nori yang berputar 180 derajat dibandingkan di atas panggung ini dikabarkan sempat membuat tetangga rumah mereka sangat kaget.

Sehari-hari ia sangat kalem dan tidak suka bercanda. Sifat Mpok Nori yang berputar 180 derajat dibandingkan di atas panggung ini dikabarkan sempat membuat tetangga rumah mereka sangat kaget.

“Kalau prinsipnya Emak, ngapain di rumah pake teriak-teriak kalau enggak ada duitnya,” kata perempuan kelahiran 1967 itu sambil tertawa. Engkar, yang saat ini juga dikenal sebagai pemain sinetron, menceritakan bahwa perjalanan seni ibunya dimulai dengan menjadi Ronggeng Topeng yang jauh dari kesan komedi.

Ronggeng Topeng adalah sebutan bagi penari utama perempuan dalam pertunjukan Tari Topeng Betawi. Biasanya ronggeng menari berpasangan dengan seorang laki-laki berjulukan bodor yang bertugas melawak. Pada perkembangannya, bodor selalu eksklusif dimainkan oleh laki-laki, sementara tugas penari perempuan adalah memberikan nasihat.

Sebagai ronggeng yang konsisten menjadikan Topeng Betawi sebagai guru panggungnya, wajar jika pada akhirnya Mpok Nori tidak terbiasa memunculkan situasi komedi yang alami. Berkomedi adalah ilmu yang baru didapat berkat dorongan kawan lamanya, Haji Bokir.

Sekitar akhir tahun 1960-an, Mpok Nori bergabung ke dalam Grup Topeng Setia Warga yang baru saja didirikan Bokir di daerah Pasar Rebo. Bokir sendiri merupakan putra dari pemilik Grup Topeng Cisalak yang cukup dikenal di wilayah Depok dan Bogor. Selain membawakan Topeng Betawi, kelompok ini juga mempertunjukan lenong.

Di bawah kelompok Setia Warga, Mpok Nori dipaksa untuk benar-benar bisa melucu. Kebetulan pada saat itu, lenong sedang naik daun lewat serangkaian pertunjukan di Taman Ismail Marzuki (TIM). Kelompok Bokir yang kebanjiran jatah manggung lantas meminta Nori dan anggota lainnya mendalami bodoran, yaitu sebuah bagian dalam lenong tradisional yang berisi lawak.

Sejak tahun 1968, lenong tradisional memang mengalami banyak perubahan lewat makin bertambahnya bagian tampil seorang bodor. Lawakan tidak lagi eksklusif milik pemain laki-laki. Perempuan pun dituntut membawakan dialog-dialog jenaka untuk mengimbangi pemain utama.

Sejak tahun 1968, lenong tradisional memang mengalami banyak perubahan lewat makin bertambahnya bagian tampil seorang bodor. Lawakan tidak lagi eksklusif milik pemain laki-laki. Perempuan pun dituntut membawakan dialog-dialog jenaka untuk mengimbangi pemain utama.

Menurut Syaiful Amri dalam bukunya Rekacipta Lenong dalam Komedi Betawi, mereka ditampilkan untuk menarik minat khalayak baru yang sama sekali awam soal lenong. Selain lawakan, lenong juga ditampilkan bersama tarian kreasi dan cerita fiksi yang menarik bagi masyarakat Kota Jakarta kala itu.

“Beberapa grup lenong memiliki penari-penari yang bisa menampilkan tarian Betawi kreasi sendiri. Pada beberapa pertunjukan masuk pula penari yang bisa menggerakkan tubuhnya dengan kocak atau bodoran,” tulis pegiat kebudayaan Betawi yang juga mengajar di Institut Kesenian Jakarta itu.

Berawal dari ketidaktahuan soal komedi, Mpok Nori malah berakhir menjadi ikon komedi Betawi yang mengantongi banyak penghargaan. Pada tahun 2011, Yayasan Komedi Betawi menganugerahi Mpok Nori penghargaan KOMBRED Award. Dua tahun kemudian, ia kembali mendapatkan penghargaan dari Persatuan Seniman Komedi Indonesia (PASKI) atas pengabdiannya kepada dunia komedi Indonesia.


Dari Jalanan ke Akademi Tari

Mpok Nori merupakan anak ketiga dari lima bersaudara. Seperti halnya Bokir, Nori merupakan keturunan orang Betawi Pinggiran yang menyebar dari wilayah Jakarta Selatan hingga Bogor. Sejak zaman Hindia-Belanda, kelompok yang juga dijuluki Betawi Ora ini menjadi etnik Betawi yang paling konsisten memelihara budaya dan kesenian tradisional.

Masyarakat Betawi Pinggiran umumnya bekerja sebagai seniman topeng dan pemain orkes tanjidor. Kedua orang tua Nori yang bernama Baba Kenan dan Mak Kemah pun melakoni pekerjaan tersebut sebagai hasil pewarisan dari orang tua. Darah seni yang turun-temurun itu mengalir pula dalam diri Nori dan saudara-saudaranya.

Menurut penuturan Engkar, saat ibunya lahir, Engkong dan Neneknya sudah memiliki sebuah rombongan Topeng Betawi kecil-kecilan. “Kalau Engkong bisa nge-rebab, bisa nge-gendang. Kalau Nenek bisa nyanyi sambil nari,” tutur Engkar. Sekeluarga mereka kerap pergi mengamen ke kampung-kampung di kawasan Kebon Pala, Jakarta Timur.

“Kalau Engkong bisa nge-rebab, bisa nge-gendang. Kalau Nenek bisa nyanyi sambil nari”

Seiring waktu, rombongan yang dipimpin Kenan semakin berkembang dan mulai dikenal dengan nama Grup Topeng Gang Makyong. Di usia 14 tahun, Nori memutuskan berhenti sekolah demi membantu usaha keluarga yang sudah lebih dahulu digeluti kedua kakak laki-lakinya, Namin dan Nasir. Keduanya di kemudian hari juga dikenal sebagai aktor lenong ternama.

Dalam wawancaranya dengan Imas, Mpok Nori bercerita bahwa ia menghabiskan sebagian besar masa remajanya untuk bekerja. Kemauannya bekerja itu bahkan lebih kuat dari kemauannya sekolah. Pertunjukan Topeng Betawi yang umumnya dilaksanakan semalam suntuk menyita sebagian besar energinya hingga ia terlalu lelah untuk berangkat ke sekolah.

Sepanjang tahun 1940-an, keluarga Nori menjadi kelompok topeng yang cukup sering dilibatkan dalam memeriahkan acara perkawinan, khitanan, kaulan (membayar nazar), Upacara Baritan (Sedekah Bumi), dan Perayaan Tahun Baru Cina. Jika masyarakat tidak ada yang menanggap, Baba Kenan akan membentuk rombongan kecil yang hanya terdiri dari beberapa anggota keluarga untuk melakukan pertunjukan keliling di stasiun kereta atau jalanan kampung.

Nori berlatih menyanyi dan menari dengan mengamati ibunya yang juga seorang ronggeng. Posisi tersebut lantas diwariskan kepadanya. Sambil terus menjadi bintang panggung dalam kelompok Gang Makyong, Nori juga berguru kepada seniman topeng Na’ih bin Dji’un yang merupakan kakak dari Bokir sekaligus ayah dari pelawak Mandra.

Sebagaimana diriwayatkan oleh Mandra melalui channel Youtube-nya, Baba Mandra, Mpok Nori adalah manusia idealis jika sudah berhubungan dengan seni topeng. Di usianya yang masih gadis, Nori tidak takut bepergian jauh seorang diri untuk menjajakan keahliannya. Dia juga terbiasa mengayuh sepeda sejauh puluhan kilo dari Kebon Pala ke Cisalak untuk ikut manggung di acara hajatan kampung. Semua itu dilakukannya sambil ikut memikul alat-alat pertunjukan.

“Padahal dia kembang topengnya, jadi putrinya kalau di lenong, sementara siangnya dia jadi tukang alat, tukang manggul,” tutur Mandra penuh semangat dalam rekaman videonya. “Dia itu orang yang paling nekat, lo bayangin perempuan”.

“Padahal dia kembang topengnya, jadi putrinya kalau di lenong, sementara siangnya dia jadi tukang alat, tukang manggul,” tutur Mandra penuh semangat dalam rekaman videonya. “Dia itu orang yang paling nekat, lo bayangin perempuan”.

Konsistensi Nori di bidang Tari Topeng Betawi itu pula yang menarik ketertarikan Julianti Parani, Ketua Akademi Tari Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ). Budayawan Betawi yang juga menggeluti tari balet itu mengundang Nori untuk mengisi mata kuliah tari topeng di tempatnya bekerja. Selain berkat namanya yang sudah dikenal, Nori dianggap layak mengajar karena mampu membawakan gerakan Topeng Betawi yang masih asli.

Setelah sempat gelisah lantaran tidak pernah tamat sekolah, pada akhirnya Nori menerima tawaran tersebut. Ia menjadi dosen luar biasa pada tahun 1988 dengan mengajar sebanyak tiga kali dalam seminggu. Materi yang diajarkannya meliputi dasar-dasar tari topeng untuk kemudian dikembangkan menjadi tari Betawi kreasi baru.

Sayang, dedikasinya di dunia pendidikan tidak berlangsung lama. Pada 1989, Nori memilih berhenti mengajar tari dan malah mendirikan sanggar seni sendiri. Alasannya berhenti pun tidak jelas. Barangkali kesibukan di atas panggung yang sudah dijalani selama lebih dari separuh hidupnya jauh lebih menarik.


Pemain Peran Serba Bisa

Memasuki akhir periode 1970-an, mengamen di jalanan segera menjadi cerita lama bagi Nori. Pada waktu itu, Gubernur Ali Sadikin sedang tekun mempromosikan pariwisata Jakarta. Ia berharap agar para seniman Betawi juga menggelar pertunjukan di Teater Terbuka, Taman Ismail Marzuki.

Setiap tahun, pertunjukan panggung teater lenong dan festival lenong diadakan dengan mengundang seniman dan selebriti Ibu Kota keturunan Betawi. Lainnya terdiri dari seniman-seniman utama dari berbagai kelompok topeng yang tersebar di Jabotabek. Hajatan besar yang mempersatukan seniman Betawi seluruh Jakarta ini dimaksudkan untuk menghidupkan teater lenong yang sempat mati suri sejak tahun 1950-an.

Pada saat undangan dari TIM tiba, Nori sudah bernaung di bawah kelompok Setia Warga asuhan Haji Bokir. Lenong memang bukan hal asing bagi Nori, mengingat kesamaannya dengan pertunjukan Topeng Betawi. Namun di luar perkiraan Nori, manggung di Teater Terbuka ternyata tidak sama dengan mengamen atau saat ditanggap dalam acara hajatan kampung.

Lenong di TIM pada saat itu dipengaruhi oleh unsur teater modern berkat keterlibatan tokoh-tokoh seperti Sumantri Sastrosuwondo dan Djadoeg Djajakoesoema. Para pemain lenong diharuskan menghafal naskah lakon-lakon lenong yang sudah digubah sedemikian rupa.

Durasi pertunjukan yang mulanya diadakan dari magrib hingga subuh pun dipangkas hanya tinggal 2-3 jam. Nori yang putus sekolah dan kesulitan membaca sampai harus putar akal agar ucapannya tidak melesat dari naskah.

Berkat bantuan Bokir dan kawan-kawannya, Nori mulai terbiasa memainkan lakon sesuai skenario dengan caranya sendiri. Ia banyak memasukan sindiran-sindiran berisi nasihat yang sebenarnya terucap secara spontan. Kebiasaannya itu terus berlanjut bahkan ketika mengudara di radio atau acara televisi untuk sekadar memainkan lawakan tanpa alur cerita.

Engkar membenarkan bahwa ibunya memang agak ortodoks. Untuk memunculkan dialog dan gerakan komedi, Mpok Nori lebih kerap mengandalkan intuisi berdasarkan arahan yang sudah ada. “Emak enggak bisa baca skrip. Kalau ada pertunjukan atau syuting cukup dikasih tahu jalan ceritanya, tapi dia bisa lebih hafal ketimbang baca skrip,” tegasnya.

“Emak enggak bisa baca skrip. Kalau ada pertunjukan atau syuting cukup dikasih tahu jalan ceritanya, tapi dia bisa lebih hafal ketimbang baca skrip”

Daya tarik pemain lenong yang punya corak karikatural dan cenderung seenaknya itu, kemudian mendefinisikan citra Mpok Nori pada awal debutnya di televisi tahun 1990-an. Kebetulan serial komedi situasi yang menceritakan kehidupan sehari-hari masyarakat Betawi sedang digandrungi. Nama Nori ikut melambung lewat serial Pepesan Kosong (1993-1995) yang dibintangi Malih Tong Tong dan Bolot. Di sana dia berperan sebagai nenek tomboi bersuara rocker yang pandai membawakan tari Betawi.

Berkat Pepesan Kosong, persona Mpok Nori sebagai perempuan tua yang gaul, suka bergaya, dan suka mengomel, mulai dikenal masyarakat. Tanpa menghilangkan karakteristik Betawi-nya yang kental, ciri khas tersebut ia bawa ke layar lebar lewat peran kecil dalam film Cinta 24 Karat (2003). Sejak saat itu, Mpok Nori setidaknya pernah tampil di 12 film – sebagian besar film horor komedi – membawakan watak-watak yang hampir serupa.

Saking ikonisnya watak yang dibawakan Mpok Nori, ia lebih sering diminta bermain film menjadi dirinya sendiri. Kostum yang dikenakan hampir selalu sama: kain jarik, kebaya, topi kupluk rajut, dan kadang ditambah dandanan wajah yang menor. Seiring tahun, watak yang ia bawakan pun kian genit. Dalam film Malam Suro di Rumah Darmo (2013), Nori bahkan rela menjadi bahan ledekan karena merasa mirip dengan Nikita Willy – yang lantas menjadi salah satu lawakannya yang paling dikenal.

Saking ikonisnya watak yang dibawakan Mpok Nori, ia lebih sering diminta bermain film menjadi dirinya sendiri.

Di mata sahabat-sahabatnya, Mpok Nori dikenal sebagai pemain peran serba bisa. Berbagai macam peran pernah dimainkannya, dari peran antagonis sampai peran hantu penasaran. Mandra bahkan mengisahkan bahwa perempuan yang sudah dianggap kakak itu, mampu memainkan peranan kuntilanak dengan sangat meyakinkan. Sampai-sampai membuat orang-orang di sekitarnya merasa ketakutan.

“Dari peran yang enak ampe yang paling pahit, yang orang kagak sanggup, dia [Nori] yang ngelakuin,” kata Mandra dalam video kedua tentang Mpok Nori di channel YouTube miliknya.


Warisan Terakhir Si Noray

Setelah sukses mendulang reputasi sebagai seniman Betawi serba bisa lewat tari topeng, komedi Betawi, dan lenong, Mpok Nori lantas menguji pengalamannya dengan mengasuh sebuah sanggar seni. Sanggar bernama Lenong Betawi yang dibentuk pada tahun 1993 awalnya adalah sebuah inisiatif yang tidak disengaja.

“Padahal Emak enggak ada niatan untuk mimpin grup, dadakan lah itu,” terang Engkar, sang anak. Saking mendadaknya, Mpok Nori harus menalangi pembelian alat musik gambang kromong menggunakan uangnya sendiri. Saat dibentuk, rombongan ini hanya beranggotakan sanak keluarga dan orang-orang terdekat Mpok Nori.

Pada tahun 2000, setelah berhasil selamat dari gempuran krisis ekonomi, sanggar milik Mpok Nori kembali menata diri dan beralih nama menjadi Si Noray. Menurut penuturan Engkar, Noray merupakan nama panggilan Ibunya yang diplesetkan oleh Haji Bokir sebagai bahan candaan ketika manggung.

Noray merupakan nama panggilan Ibunya yang diplesetkan oleh Haji Bokir sebagai bahan candaan ketika manggung

Dalam Si Noray, para anggota diajarkan berbagai jenis kesenian Betawi yang sudah dipelajari Nori selama bertahun-tahun. Selain tari topeng, mereka dibekali pengetahuan tentang pakem-pakem teater lenong, gambang kromong, dan lawak yang sesuai etika. Ada kalanya Mpok Nori menuntut anak-anaknya agar tekun melatih kemampuan improvisasi. Maka saat Si Noray manggung, sudah dapat dipastikan tidak ada pemain yang menghafal naskah.

Pada perkembangannya, Si Noray memang benar-benar menjadi cerminan diri Mpok Nori. Ia selalu berpesan pada anaknya untuk menjaga disiplin dan dedikasi tinggi dalam menerima pekerjaan sebagai penghibur. Bahkan ketika sudah mulai sakit-sakitan, tidak sekalipun ia menyepelekan panggilan manggung yang bisa datang sewaktu-waktu.“Sekarang jadi berasa ternyata ini didikannya,” kenang Engkar. “Baru kerasa setelah Emak enggak ada,” imbuhnya mengakhiri pembicaraan.

Informasi Selengkapnya
  • Indonesia Kaya
  • Syaiful Amri. Rekacipta Lenong dalam Komedi Betawi Yogyakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2019. Imas Yosita. Kiprah Mpok Nori dalam Mengembangkan Kesenian Betawi (1968-1995). Skripsi Jakarta: Universitas Indonesia, 2014. Tempo, Antara News, CNN Indonesia, Baba Mandra
  • Andrawan Adhitya Nugraha

This will close in 10 seconds