Mendengar sekilas namanya, mungkin orang akan mengira kudapan yang satu ini adalah rendang. Namun begitu melihat wujudnya, ternyata jauh dari perkiraan. Panganan ini ternyata sama sekali berbeda dengan yang dibayangkan. Alih-alih memiliki rasa seperti rendang, bareh randang ternyata memiliki citarasa manis dan wujudnya pun sama sekali tidak mirip dengan rendang padang.
Secara etimologi, penamaan bareh rendang mengacu pada bahan pokok dan proses pembuatannya. Bareh dalam bahasa Minangkabau memiliki makna beras, sedangkan randang dapat diartikan proses menyangrai. Jadi secara harfiah, bareh randang dapat diartikan sebagai olahan berbahan dasar beras yang disangrai bersamaan dengan rempah dan bumbu.
Secara umum, kudapan yang menjadi oleh-oleh khas kawasan Darek ini merupakan olahan tepung beras yang disangrai hingga kering kemudian dicampurkan dengan cairan gula dan santan yang telah dimasak. Wujud dari hasil percampuran ini adalah gumpalan kalis berwarna putih dengan tekstur lunak tetapi memiliki permukaan kasar dan bercitarasa manis.
Gumpalan ini kemudian diletakkan pada sebuah wadah datar dan dibentuk menjadi bulatan atau persegi empat pipih dengan ketebalan sekitar 1 cm. Setelah itu, bareh randang disajikan dengan cara dipotong melintang dan memanjang.
Meski kini lebih dikenal sebagai oleh-oleh khas Darek (meliputi Payakumbuh, Lima Puluh Kota, Agam, dan Tanah Datar), sebenarnya bareh randang juga memiliki fungsi khusus dalam suatu prosesi adat, terutama pernikahan.
Bareh randang biasa disajikan dalam prosesi adat manjapuik marapulai, yaitu menjemput mempelai laki-laki untuk dibawa ke rumah sang gadis. Bareh randang juga disajikan saat para ninik mamak (sesepuh kaum) berkumpul dalam suatu pertemuan adat.