Cari dengan kata kunci

Sapardi Djoko Damono: Berbuat Baik Lewat Puisi

Sapardi Djoko Damono

Sapardi Djoko Damono: Berbuat Baik Lewat Puisi

Kesederhanaan hidup Sapardi Djoko Damono menitis dalam setiap bait puisinya.

Tokoh

Sapardi Djoko Damono dikenal sebagai satu-satunya penyair angkatan lama yang mampu membaur ke segala kalangan dan usia. Ketika sepuh, Sapardi bahkan sukses memperluas jangkauan pembaca sastra, khususnya puisi, ke tingkat sekolahan.

Reda Gaudiamo, mantan murid Sapardi yang kini merupakan seorang penulis dan penyanyi yang paling sering melagukan puisi Sapardi, mengaku hanya bisa tertawa pasrah menghadapi sorakan penonton yang memintanya menyanyikan Hujan Bulan Juni. Lagu yang digarap berdasarkan puisi populer karangan Sapardi itu selalu dinanti para penikmat pagelaran seni dan sastra.

Meski Sapardi telah wafat pada 19 Juli 2020 silam, Hujan Bulan Juni akan selalu hidup membangkitkan nostalgia masa muda. Ditulis pada 1989, Hujan Bulan Juni menggambarkan pengalaman maestro puisi liris itu melewati bulan Juni sebagai mahasiswa di Yogyakarta dan Surakarta. Sapardi menulis puisinya sekali jadi, berbarengan dengan puisi romantis berjudul Aku Ingin yang juga sudah dilagukan.

Ditulis pada 1989, Hujan Bulan Juni menggambarkan pengalaman maestro puisi liris itu melewati bulan Juni sebagai mahasiswa di Yogyakarta dan Surakarta.

Reda mengaku sudah tidak bisa berhenti melantunkan puisi-puisi Sapardi, yang merupakan dosennya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia dahulu. “Kami enggak berniat menyanyikan puisi terus, tapi kalau enggak dinyanyikan selalu ada yang minta,” ujarnya saat dihubungi melalui telepon. Anggota duo musikal AriReda itu merasa kena karma lantaran pernah merekam puisi Sapardi menjadi album lagu tanpa sepengetahuan empunya.

Sapardi sendiri tidak pernah marah puisinya ‘dicolong’ Reda dan kawan-kawannya sesama mahasiswa sastra. Dengan rendah hati, Guru Besar emeritus ilmu sastra UI ini malah bersyukur puisinya bisa terkenal karena dilagukan.

“Seandainya sajak itu tidak dinyanyikan Reda, Anda tak akan mengenalnya. Siapa yang akan mengingat puisi di sudut koran sore jika tak dilagukan?” kata Sapardi dalam acara Asian Literary Festival 2016.

“Seandainya sajak itu tidak dinyanyikan Reda, Anda tak akan mengenalnya. Siapa yang akan mengingat puisi di sudut koran sore jika tak dilagukan?” kata Sapardi dalam acara Asian Literary Festival 2016.

Musikalisasi puisi Sapardi yang dilakukan AriReda bukan kali pertama. Pada 1987, pernah dilakukan percobaan pertama melagukan puisi karya penyair-penyair terkenal. Waktu itu, Sapardi diminta membantu program apresiasi sastra di kalangan siswa sekolah. Demikian musik dipilih sebagai media pengantar, karena dianggap sesuai perkembangan zaman.

Seingat Reda, ada sekitar enam mahasiswa yang dilibatkan dalam program musikalisasi. Puisi yang dilagukan juga tidak melulu ciptaan Sapardi. Barulah pada 1990, album Hujan Bulan Juni yang seutuhnya berangkat dari puisi Sapardi, tercipta. Garapan sajak Sapardi dengan segera menjadi candu, bahkan ketika semua mahasiswa telah lulus kuliah.

“Puisinya Bapak punya rima, kata-katanya sederhana dan nggak panjang, tanpa dilagukan pun puisinya sudah berlagu,” terangnya. Reda tak asal memuji. Petikan puisi Hujan Bulan Juni berikut ini membuktikan betapa istimewa gaya bahasa sang guru.

Tak ada yang lebih tabah

dari hujan bulan Juni

dirahasiakannya rintik rindunya

kepada pohon berbunga itu

Tak ada yang lebih bijak

dari hujan bulan Juni

dihapusnya jejak-jejak kakinya

yang ragu-ragu di jalan itu

Tak ada yang lebih arif

dari hujan bulan Juni

dibiarkannya yang tak terucapkan

diserap akar pohon bunga itu

Semenjak dimusikalisasi, Hujan Bulan Juni sudah mengalami alih wahana sebanyak tiga kali. Bermula dari puisi ke novel pada 2015, lalu menjadi film pada 2017. Puisi yang lahir dari rasa keheranan Sapardi menyaksikan anomali cuaca di bulan Juni itu pula yang mengilhami sutradara Kamila Andini membuat film berjudul Yuni di tahun 2021. 

Puisi yang lahir dari rasa keheranan Sapardi menyaksikan anomali cuaca di bulan Juni itu pula yang mengilhami sutradara Kamila Andini membuat film berjudul Yuni di tahun 2021. 

Kualitas kepenyairan Sapardi lantas terdengar gaungnya ke semua kalangan. Pujangga angkatan 66 ini tak hanya dianggap berhasil meneruskan tradisi puisi liris warisan Amir Hamzah (1911-1946), tetapi juga mempopulerkannya.

Bahasa puisi Sapardi dinilai orisinal. Estetika bahasanya punya tempat tersendiri meski hanya menggunakan kosakata sederhana. Tak ada bahasa protes yang profan di dalamnya. Ia juga menahan diri untuk tidak masuk terlalu dalam ke ranah puisi eksperimental. Puisi Sapardi sempurna berada di tengah.

Hingga tutup usia, Sapardi telah menulis ribuan puisi dan menerbitkan puluhan buku puisi yang sudah diterjemahkan ke berbagai bahasa. Antologi puisi Duka-Mu Abadi (1969), Hujan Bulan Juni (1994), dan Ayat-Ayat Api (2000), menjadi bukunya yang paling banyak dibuka dan dipelajari. Penyair muda Beni Satryo menganggap bahwa buku-buku puisi karya Sapardi ibarat buku tuntunan untuk menulis sekaligus panduan merenung.

Sapardi memang bukan pujangga biasa. Khazanah kesusastraan yang dikuasai oleh penerima SEA Write Award 1986 dan Kusala Sastra Khatulistiwa 2004 ini meliputi tiga genre, yaitu puisi, cerita, dan esai. Selama 63 tahun menjelajah dunia sastra, Sapardi menorehkan jejaknya sebagai penulis, penyair, penerjemah, pengajar, pengamat, dan kritikus sastra yang buku-bukunya selalu menjadi buku dengan penjualan terbaik.

Sebagai akademisi, Sapardi juga ikut mendirikan sejumlah organisasi sastra. Salah satunya adalah Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia (HISKI) pada 1988. Bersama Goenawan Mohamad, Umar Kayam, Subagio Sastrowardoyo, dan John H. McGlynn, ia merintis Yayasan Lontar demi mempromosikan sastra dan budaya Indonesia ke kancah internasional.

Bersama Goenawan Mohamad, Umar Kayam, Subagio Sastrowardoyo, dan John H. McGlynn, ia merintis Yayasan Lontar demi mempromosikan sastra dan budaya Indonesia ke kancah internasional.

Bangkit dari Imajinasi Kanak-Kanak

Sapardi Djoko Damono lahir pada 20 Maret 1940 di rumah kakeknya di Kampung Baturono, Solo. Saat berusia 5 tahun, Sapardi diboyong orang tuanya ke Ngadijayan. Jaraknya tak sampai setengah kilometer dari rumah masa kecil sastrawan W.S. Rendra dan Bakdi Soemanto di kampung sebelah. Namun, waktu itu mereka belum saling kenal.

Kepada Soemanto, Sapardi banyak menceritakan kehidupan masa kecilnya yang menurutnya cukup aneh. Sapardi merasa seperti hidup di dua alam. Dalam satu hari dia bisa bergaul dengan anak-anak priayi di sekitar Keraton Surakarta dan anak-anak kampung dekat rumah. Jika tidak sedang keluyuran, Sapardi menghabiskan waktu dengan menongkrong di tempat persewaan buku.

Seturut kisah yang ditulis Soemanto dalam biografi Sapardi Djoko Damono: Karya dan Dunianya (2017: 6-10), kehidupan Sapardi yang ‘aneh’ tapi riang itu tiba-tiba terbalik. Sekitar 1957, rumah warisan keluarga di Ngadijayan dijual. Keluarga Sapardi lantas pindah ke Desa Komplang di ujung utara Solo yang gelap dan jauh dari keramaian.

Kesunyian yang terjadi tiba-tiba tak ayal membuat Sapardi gelisah. Dia rindu pada teman-teman sebaya dan tempat persewaan buku favoritnya. Namun, belakangan Sapardi merasa bersyukur. Rasa kesepian justru mempermudah dirinya dalam menyelami sanubarinya sendiri sambil belajar membongkar-pasang kata.

Rasa kesepian justru mempermudah dirinya dalam menyelami sanubarinya sendiri sambil belajar membongkar-pasang kata.

Sapardi berlatih merangkai puisi dengan mengunjungi kembali momen-momen sederhana sepanjang masa kanak-kanaknya. Dalam kumpulan esai Sihir Rendra: Permainan Makna (1999: 259), Sapardi menuliskan, “Ketika mula-mula sekali menulis puisi, sudut-sudut yang luput dari teriak dan siul masa kecil mulai hidup kembali dalam kata-kata.”

Jelang akhir 1950-an, jejak kepenyairan Sapardi mulai muncul dalam peta puisi Indonesia. Salah satu karyanya, Tjerita Burung, dimuat di majalah Merdeka pada April 1958. Menyusul puisi berjudul Ulang Tahun dan Liburan yang berhasil menembus lembar Seni dan Kebudayaan majalah Mimbar Indonesia yang diasuh H.B. Jassin. Sapardi mengaku banyak belajar dari puisi-puisi awal Rendra yang sederhana tapi punya kekuatan cerita secara puitis.

Sebelum belajar menulis puisi, Sapardi muda ternyata pernah menulis cerita. Penggemar drama puisi Murder in the Cathedral karangan T.S. Eliot ini sempat mengirim karyanya ke lembar anak-anak “Taman Putero” milik majalah berbahasa Jawa terkenal, Penjebar Semangat. Sayangnya, cerita buatannya ditolak para redaktur dengan alasan ‘tidak masuk akal.’

Mereka sulit mempercayai fakta bahwa seorang anak berusia 15 tahun dengan lugas menuturkan kisah ketabahan sang ibu melepas anak-anaknya tinggal bersama ayah mereka di rumah ibu tiri. Tidak ada yang menyangka cerita pertama buatan Sapardi bukanlah fiksi, melainkan laporan peristiwa masa kecil yang dikemas menyerupai cerpen.

Tidak ada yang menyangka cerita pertama buatan Sapardi bukanlah fiksi, melainkan laporan peristiwa masa kecil yang dikemas menyerupai cerpen.

Sapardi merasa kecewa sampai-sampai tidak berusaha lagi menulis cerita. Sejak saat itu, tenaganya di genre ini dialihkan kepada penerjemahan novel, cerpen, dan naskah drama asing. Tanpa alasan jelas, Sapardi baru menulis cerita lagi ketika usianya menginjak 60 tahun. Hasilnya adalah buku kumpulan cerita berjudul Pengarang Telah Mati (2001).

Sapardi mengaku ingin tenteram merayakan peristiwa-peristiwa di luar nalar dalam hidupnya yang menurutnya kurang istimewa. Karena itu, ia memilih puisi. Pernyataan terus terang itu ia tumpahkan ke dalam esainya yang berbunyi, “Sudah saya nyatakan bahwa segi yang tak masuk akal dalam hidup saya ternyata bisa masuk akal dalam puisi.”

Menurut Soemanto, imajinasi masa kecil merupakan objek estetis yang tidak pernah habis dalam sajak-sajak Sapardi. Dunia kepenyairan Sapardi juga lekat dengan tema alam, kenabian, dan Tuhan. Semua tidak lepas dari kesukaan Sapardi berkeluyuran mencari hal-hal tidak masuk akal, bahkan sampai ikut kegiatan sekolah minggu di gereja meskipun dirinya seorang muslim.

Melalui esai sastranya (1999: 268), Sapardi menjelaskan proses kreatif kepenyairannya yang unik itu. Dia menulis, “Pada suatu saat saya adalah seorang anak kecil yang asyik bermain kata-kata, di saat lain seorang nabi yang berusaha menyampaikan pesan kepada dunia.” Puisi berjudul Di Tangan Anak-Anak yang terbit dalam antologi puisi Perahu Kertas (1984), secara jelas mengungkapkan perpaduan keduanya.

Di tangan anak-anak, kertas menjelma perahu Sinbad

yang tak takluk pada gelombang, menjelma burung

yang jeritnya membukakan kelopak-kelopak bunga di hutan;

di mulut anak-anak, kata menjelma Kitab Suci.

“Tuan, jangan kau ganggu permainanku ini.”

Penyair Joko Pinurbo menyepakati pembacaan Soemanto terhadap keistimewaan puisi Sapardi. Dalam bincang-bincang bertajuk “Ngobrolin Sapardi” yang mengudara pada 18 Maret 2023 melalui akun Instagram @damonosapardi, penyair yang akrab disapa Jokpin ini mengilustrasikan puisi Sapardi sebagai tempat yang penuh kenangan masa kanak-kanak.

“Itu mungkin yang menyentuh batin para pembaca muda, karena dunia mereka seakan-akan hadir kembali dalam karya Pak Sapardi,” pungkasnya.

Kesederhanaan yang Tidak Sederhana

Sapardi Djoko Damono adalah penyair berdarah Jawa tulen. Hal ini tercermin dari nuansa dalam setiap bait puisinya yang tenang, santun, dan sederhana. Namun, di baliknya terkandung pergolakan batin yang amat dalam. Tidak jarang ia membeberkan kemarahan atau keluhan yang berhasil disembunyikan secara tertib dan rapi. Benar-benar menunjukan kualitasnya sebagai orang Jawa.

Tidak jarang ia membeberkan kemarahan atau keluhan yang berhasil disembunyikan secara tertib dan rapi. Benar-benar menunjukan kualitasnya sebagai orang Jawa.

“Sapardi itu menulis puisi dalam rasa Jawa tetapi dengan kosakata Bahasa Indonesia,” terang Joko Pinurbo dalam bincang-bincang memperingati 1.000 hari berpulangnya Sapardi. “Karya Sapardi tidak sesederhana yang dibayangkan orang,” ia melanjutkan.

Jokpin bukan orang pertama yang menunjukkan ‘rasa’ Jawa dalam puisi Sapardi. Sebelumnya, penyair kontemporer terkemuka Sutardji Calzoum Bachri juga pernah mengatakan hal yang sama. Kritik tersebut langsung dijawab oleh Sapardi dalam sebuah wawancara dengan sastrawan Hasan Aspahani.

“Saya memang berpikir dalam Bahasa Jawa,” ungkap Sapardi, seperti dikutip Tempo (25 Juli 2020).

Sapardi lahir sebagai anak sulung keluarga priayi. Kakeknya dari pihak ayah adalah abdi dalem Keraton Surakarta yang bertugas mendalang dan menatah wayang kulit. Sejak belia, ia dan adiknya, Soetjipto Djoko Sasono, tumbuh dalam kepungan ajaran filosofi dan kosmologi Jawa yang sangat kental.

Berkat kakeknya, Sapardi bisa mengenyam pendidikan di Sekolah Rakyat Kraton “Kasatriyan.” Tempat dia bergaul dengan para putra pangeran Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Sekolah dalam benteng Kraton itu juga membekalinya keahlian bermain gamelan, menari, menembang, dan bermain wayang.

Konon, sejak kecil Sapardi sudah ingin menjadi sastrawan. Cita-citanya itu terhalang restu keluarganya yang sedang ditimpa kesulitan ekonomi. Akibatnya, setelah lulus dari SMA Margoyudan jurusan bahasa, Sapardi disuruh segera bekerja agar tidak bikin susah.

Jika bukan berkat bujukan kepala sekolah, kedua orang tuanya tidak akan mengizinkan Sapardi mempelajari sastra Inggris di Fakultas Sastra dan Kebudayaan, Universitas Gadjah Mada. Pada 1958, dengan kepala tegak meski bebekal pas-pasan, Sapardi merantau ke Yogyakarta.

Dalam sebuah wawancara majalah Balairung, Sapardi mengaku tidak tertarik ikut-ikutan gerakan mahasiswa yang sedang panas di awal 1960-an. Alih-alih berorasi di jalan, penyuka musik jazz ini lebih suka merenung, bermain drama, atau menjadi gitaris band kampus. Kecintaannya pada musik ditunjukkan di kemudian hari dengan mengoleksi piringan hitam The Beatles.

“Saya menjadi semacam pemikir independen,” tutur Sapardi tegas.

Seperti dituturkan Bakdi Soemanto dalam bukunya, pandangan dunia Sapardi itu menuntunnya menjadi penyair yang dapat mengontrol diri dan tidak suka marah. Terbukti dari puisi-puisinya yang terasa sunyi dan dalam, tapi penuh dialog imajiner dengan diri sendiri. Seperti ditunjukkan dalam sepenggal sajak berjudul Penyair yang terbit di majalah Basis (Juli 1966).

Aku telah terbuka perlahan-lahan, seperti sebuah pintu, bagiku

Satu per satu aku terbuka, bagai daun-daun pintu

Hingga akhirnya tak ada apa-apa lagi yang bernama rahasia

Kendati begitu, Sapardi bukan pemuda apatis yang hanya memikirkan diri sendiri, apalagi jika sudah mempertaruhkan marwah bidang kesusastraan. Tekadnya itu dia tunjukkan dengan ikut meneken dan mengampanyekan Manifesto Kebudayaan yang dilarang oleh Presiden Soekarno pada 1964 karena dianggap berhaluan barat.

Kekacauan sosial-politik tahun 1960-an memang sempat membuat Sapardi prihatin. Tahun ketiga menjadi mahasiswa, dia menuangkan kegelisahannya ke dalam puisi berjudul Sajak Orang Gila yang dimuat di majalah Sastra (November 1961). Sepanjang enam bagian sajaknya menyiratkan suara protes terhadap kepemimpinan Soekarno yang kharismatik tapi tak mampu mengelola ekonomi.

Sepanjang enam bagian sajaknya menyiratkan suara protes terhadap kepemimpinan Soekarno yang kharismatik tapi tak mampu mengelola ekonomi.

Komentar sosial serupa kembali ditumpahkan lewat 15 bagian sajak Ayat-Ayat Api. Kali ini, Sapardi mengomentari sifat rakus manusia dalam kekacauan sosial bulan Mei 1998. Cara khas Sapardi menyuarakan kritik kemanusiaan juga tertuang dalam sajak Dongeng Marsinah yang ditulis pada 1993. Menurut Joko Pinurbo, puisi-puisi tersebut jauh lebih rumit dari sekedar kemarahan.

“Puisi Pak Sapardi selalu dikunci dengan ungkapan-ungkapan yang metaforis dan diakhiri dengan renungan liris, sehingga puisi itu bukan sekedar luapan kemarahan tetapi juga menyiratkan sesuatu,” terangnya.

Terlepas dari komentar sosialnya yang terkadang tajam, Sapardi mengaku tidak pernah benar-benar marah. Hal tersebut tidak sesuai dengan prinsipnya sebagai penyair. Bagi Sapardi, puisi bukan tempat untuk melancarkan aktivisme politik, melainkan tempat menyalurkan kegelisahan hidup sehari-hari.

Melalui pewartaan Kompas (21/3/2017), Sapardi mengaku jika ada yang mengusik hatinya, dia akan langsung menulisnya. Suatu ketika ia terusik oleh cara media massa menyampaikan berita. Kumpulan kekesalannya waktu itu lantas menghasilkan sajak-sajak yang termuat dalam buku Ada Berita Apa Hari Ini, Den Sastro? (2017).

Kian Berisi, Kian Merunduk

Bukan rahasia lagi bahwa Sapardi adalah sastrawan rendah hati. Kepada Maman S. Mahayana, sastrawan sekaligus koleganya di UI, Sapardi berujar tidak ambil pusing bagaimana cara masyarakat memperlakukan karyanya. Dia mengaku malu kalau membicarakan karyanya sendiri.

Sapardi memang tidak pernah mencari kepuasan finansial lewat karya-karyanya, sehingga dia tidak peduli puisinya disukai atau tidak. Bahkan, tatkala banyak orang menganggap puisi Aku Ingin sebagai karya Kahlil Gibran, Sapardi justru tertawa.

Tahun 1983, Sapardi mendadak kaya setelah mendapat hadiah sastra 15 ribu ringgit Malaysia atau setara 6,3 juta rupiah dari Gabungan Persatuan Penulis Nasional di Malaysia untuk buku puisi Sihir Hujan. Jumlah yang fantastis pada waktu itu. Kabarnya, uang itu langsung habis digunakan untuk memborong buku dan membiayai penerbitan.

Ketika kuliah di Fakultas Sastra UGM, Sapardi bukanlah orang yang punya banyak uang. Ayahnya hanya membekali uang pondokan, sementara untuk makan, Sapardi disuruh mencari sendiri. Maka agar perut tidak berbunyi, Sapardi bekerja mengasuh kolom puisi untuk majalah kebudayaan Basis. 

Barangkali Sapardi ingin membalas kemiskinan masa lalunya dengan banyak berbagi. Setelah lulus kuliah pada 1964 dan mengajar di IKIP Madiun, Sapardi pernah mentraktir sahabatnya, Darmanto Jatman, makan di kafetaria mahal di Malioboro. Di sela kegiatan makan itu, Sapardi terus celingak-celinguk tak tenang. Ternyata, ia sedang mencari pengemis untuk diberi uang.

Dalam sebuah korespondensi dengan sastrawan Hasan Aspahani, Sapardi bilang “Ingin selalu berbuat baik kepada sesama lewat puisi.” Keinginan berbuat baik kemudian mendorongnya mendirikan penerbitan khusus puisi bernama Puisi Indonesia pada 1974. Tujuannya tak lain adalah untuk membantu penyair-penyair lain yang kesulitan mempublikasikan karyanya.

Sapardi nampaknya belajar dari kesulitannya sendiri dalam menerbitkan puisi. Dia sadar, meski tipis dan murah, buku puisi tetap tak laku, sehingga jarang ada penerbit besar yang mau membantu. Pada 1969, Sapardi bisa menerbitkan buku stensilan Duka-Mu Abadi lantaran bantuan kawan SMA-nya, seorang perupa ekspresionistik terkemuka bernama Jeihan Sukmantoro.

Niat Sapardi membantu sesama baru terlaksana ketika merantau ke Jakarta pada 1973 untuk mengasuh majalah Horison. Sambil bekerja sebagai dosen di Fakultas Sastra UI, Sapardi bertindak sebagai kurator puisi. Hingga 1978, Penerbitan Puisi Indonesia berhasil menerbitkan 19 buku kumpulan puisi dari banyak penyair.

Sapardi mencapai purna tugas dari Universitas Indonesia pada 2005. Sebelumnya, ia meraih gelar doktor dan dikukuhkan menjadi Guru Besar ilmu sastra di tempat yang sama. Setelah pensiun, Sapardi makin rutin membantu penerbitan jurnal-jurnal puisi, bahkan membuat kantor penerbitan sendiri di rumah dengan nama Editum.

Menurut Reda Gaudiamo, Sapardi merupakan guru yang sangat murah ilmu. Meski banyak mendapat permintaan-permintaan aneh dari penyair-penyair muda, Sapardi tetap berusaha membimbing mereka lewat sejumlah kelas menulis yang dibuka untuk publik (bukan untuk pelajar atau mahasiswa). Di lain waktu, ia melakukan kolaborasi seni dan sastra bersama penyair atau seniman muda tanpa memandang latarbelakang.

Alih-alih meredup, pesona Sapardi di hari senja justru menarik perhatian lebih banyak orang. Penyanyi Jason Ranti, misalnya, tak mau ketinggalan memetik inspirasi dari kisah hidup dan karya-karya Sapardi. Hasilnya tertuang ke dalam lagu berjudul Lagunya Begini Nadanya Begitu. Video klip dari lagu yang seutuhnya didedikasikan untuk Sapardi itu menampilkan perjalanan Jason membesuk sang maestro di kediamannya di Ciputat.

Penyanyi Jason Ranti, misalnya, tak mau ketinggalan memetik inspirasi dari kisah hidup dan karya-karya Sapardi. Hasilnya tertuang ke dalam lagu berjudul Lagunya Begini Nadanya Begitu.

Saat menerima Jason Ranti di rumahnya pada pertengahan 2019, Sapardi sudah mulai sakit-sakitan. Ia sempat bolak-balik dirawat di rumah sakit dalam kurun waktu empat bulan akibat penurunan hemoglobin. Satu tahun kemudian, tepatnya pada Juli 2020, Sapardi kembali menerima perawatan intensif akibat penyakit komplikasi.

Menurut penuturan Reda, Sapardi di hari-hari terakhirnya masih berlaku layaknya pujangga sejati. Meski terbaring lemah, sang guru terus mencoba berdialog dengan diri sendiri dan membongkar pasang kata untuk mencari bait-bait puisi yang hilang. Barangkali ini adalah cara Sapardi menggenapi ikrarnya untuk terus berkarya sampai mati.

Meski terbaring lemah, sang guru terus mencoba berdialog dengan diri sendiri dan membongkar pasang kata untuk mencari bait-bait puisi yang hilang. Barangkali ini adalah cara Sapardi menggenapi ikrarnya untuk terus berkarya sampai mati.

Hingga akhir hayat, Sapardi Djoko Damono tidak pernah letih berkarya di tengah arus perubahan zaman. Terkadang ia lugu dan pemalu layaknya anak kecil. Lain waktu, ia adalah guru kebijaksanaan yang suka berbagi ilmu dan kebaikan lewat kata-kata romantis. Keduanya membentuk kepribadiannya yang mirip ilmu padi – kian berisi kian merunduk.