“Muke gile… Suara lu kayak kaleng rombeng! Mau jadi penyanyi?” Kata-kata pedas itu meluncur dari mulut Emak. Jari telunjuknya berlumuran sirih, menunjuk lawan bicaranya.
Emak benar-benar tidak habis pikir. Anaknya, Mirja, yang sehari-harinya punya hobi nonton televisi di kelurahan itu tiba-tiba bermimpi menjadi penyanyi terkenal dan rekaman bersama Hetty Koes Endang. Adu mulut di antara keduanya berlanjut dalam bentuk dialog jenaka berlogat Betawi.

Sketsa hubungan ibu dan anak di atas merupakan penggalan adegan film drama komedi Memble tapi Kece. Dibintangi Jaja Miharja sebagai Mirja, film rilisan tahun 1986 ini bertabur lagu-lagu dangdut dari banyak penyanyi kondang. Sementara itu, tokoh Emak yang judes dan ceplas-ceplos dimainkan secara apik oleh Wolly Sutinah.
Nama Wolly Sutinah atau yang populer dengan julukan “Mak Wok” sangat lekat dengan film Indonesia era 1970-an dan 1980-an. Wajahnya terpampang di berbagai judul film, terutama genre drama komedi yang sangat populer kala itu. Aktor-pelawak sekaliber Bing Slamet, Benyamin Suaeb, S. Bagyo, Ateng, dan Warkop DKI, berurutan pernah beradu akting dengan Sutinah.
Nama Wolly Sutinah atau yang populer dengan julukan “Mak Wok” sangat lekat dengan film Indonesia era 1970-an dan 1980-an.
Rekor film Sutinah tergolong banyak. Penulis sekaligus sejarawan Fandy Hutari memperkirakan jumlahnya ada sekitar 118 judul. Sebagian filmnya telah hilang karena berasal dari era sebelum kemerdekaan Indonesia. Meski begitu, Sutinah tetap dikenal sebagai seorang pemain peran yang sangat aktif sepanjang hidupnya.
Pada tahun 1977, Sutinah tampil di tiga film sekaligus: Badai Pasti Berlalu, Operasi Tinombala, dan Kembalilah Mama. Sayangnya, tidak pernah sekalipun dia kebagian peran utama. Dalam sebuah wawancara majalah Femina (8/11/1977), Sutinah dengan rendah hati menyebut kemunculannya di berbagai film “hanya ikut ngeramein saja”.
Fandy berpendapat, Sutinah bukan tidak mau membintangi sebuah film. Namun, tuntutan dan kebutuhan film pada waktu itu tidak memungkinkan bagi Sutinah untuk tampil sebagai bintang utama. Sutinah dianggap sudah terlalu tua, sehingga tidak ada karakter yang cocok baginya selain karakter ibu atau nenek.
“Wolly yang notabene sudah tak muda lagi, berperan kebanyakan sebagai sosok ibu, yang menjadi pemeran pembantu,” jelas Fandy saat ditemui oleh Indonesia Kaya.
Lebih jauh, penulis buku Para Penghibur: Riwayat 17 Artis Masa Hindia Belanda (2017) itu menunjuk keunikan dalam diri Wolly Sutinah. Menurutnya, belum ada aktris Indonesia pada masanya yang mampu meraih ketenaran hanya dengan memainkan peran-peran kecil.
Sutinah dinilai bisa menaklukkan berbagai jenis peran perempuan paruh baya—dari ibu-ibu cerewet, kocak, sampai peran sedih sekalipun. Lengkap dengan kostum kebaya, selendang, dan rambut disanggul, aktris yang hobi membaca komik dan minum jamu ini konsisten melakoni peran yang sama sejak tahun 1950-an.
Sutinah dinilai bisa menaklukkan berbagai jenis peran perempuan paruh baya—dari ibu-ibu cerewet, kocak, sampai peran sedih sekalipun.
“Mak Wok adalah salah satu contoh seniman otodidak dengan bakat alam yang konsisten,” tandas penulis yang banyak meneliti sepak terjang seniman tempo dulu itu.
Selaras dengan penuturan Fandy, Sutinah memang tidak pernah ikut sekolah akting. Sebagai pemeran yang datang dari era Hindia Belanda, Sutinah mengasah kemampuannya langsung di atas panggung sandiwara. Asam garam dunia pertunjukan Stambul dan Tonil telah ia cicipi sebelum akhirnya terjun ke dunia film untuk pertama kalinya pada era 1930-an.
Pemeran Serba Bisa
Sutinah terlahir pada tanggal 17 Juli 1915 sebagai anak semata wayang dari sepasang orang tua yang berprofesi sebagai seniman panggung. Keluarganya memanggil dia Tinah, karena nama Wolly belum ditemukan pada waktu itu. Sejak kecil, Sutinah tinggal menetap di kota kelahirannya, Magelang, sementara ayah dan ibunya merantau ke Jakarta untuk bekerja.
Ketika masih duduk di bangku sekolah dasar, Sutinah dibawa neneknya menyusul ke Ibu Kota. Sebuah wawancara majalah Intisari edisi Oktober 1975 mengungkap kegemaran baru Sutinah setiba di Jakarta. Dia sangat suka membuntuti Marlis, ayahnya, yang bekerja sebagai pemain biola pengiring sandiwara dan film-film bisu di bioskop sekitar Jalan Hayam Wuruk. Dari situlah, pintu menuju dunia pertunjukan mulai terbuka bagi Sutinah.
Berkat pergaulan ayah dan ibunya, Sutinah tidak kesulitan memasuki dunia panggung. Bangku sekolah terpaksa dia tinggalkan demi bisa diterima ke dalam kelompok sandiwara Miss Riboet. Di sela-sela jadwal pentas, Sutinah dibantu mengejar pelajaran sekolah oleh seorang penata rias bernama Mak Non Christien.
Berkat pergaulan ayah dan ibunya, Sutinah tidak kesulitan memasuki dunia panggung.
Meski baru memulai karier, Sutinah sudah dipaksa jadi pemeran serba bisa. Awalnya, Sutinah memerankan karakter penari atau peri dalam kisah-kisah Stambul yang penuh keajaiban. Lama-kelamaan, perannya semakin penting dan lebih dramatis. Sutinah terpilih memerankan Nancy, anak Dasima, dalam sebuah lakon yang diangkat dari film trilogi Njai Dasima produksi Tan’s Film pada tahun 1929 dan 1930.
Pada 1933, Sutinah berkesempatan menjajal film. Tidak main-main, tawaran itu datang langsung dari The Teng Chun, pengusaha Tionghoa sekaligus pemilik Java Industrial Film. Pada zamannya, perusahaan yang mulanya bernama Cino Motion Pictures ini sangat konsisten memproduksi film-film yang diangkat dari cerita klasik Mandarin.
Kesempatan besar ini pun dimanfaatkan Sutinah dengan sebaik-baiknya. Dalam kurun waktu dua tahun, ia bermain dalam tiga judul film. Film pertamanya berjudul Pat Kiam Hiap (Delapan Jago Pedang). Disusul sekuelnya yang berjudul Tjit Kiam Pat Hiap, serta film lain dengan judul Ouw Peh Tjoa (Dua Siluman Ular Putih dan Hitam). Sutinah berperan sebagai jago silat, bahkan sempat berlatih bersama guru silat betulan.
Berdasarkan catatan yang dipaparkan Fandy dalam bukunya, Java Industrial Film memang kerap “membajak” banyak pemain sandiwara untuk diboyong ke perfilman. Terdapat nama-nama pemain sandiwara terkenal seperti Ferry Kock, Dewi Mada, Astaman, Ratna Asmara, dan Tan Tjeng Bok. Semuanya menyeberang ke perfilman pada era yang sama dengan Sutinah.
Sayangnya, Sutinah tidak berlama-lama tampil di depan kamera. Sekitar pertengahan 1930-an, sang ayah memanggilnya kembali ke atas panggung. Kelompok sandiwara Miss Wolly Opera kepunyaan orang tuanya baru saja terbentuk dan Sutinah diminta jadi bintangnya.
Wolly Opera lantas mempertemukan Sutinah dengan suami pertamanya, Husin Nagib. Pasangan pemain sandiwara ini menikah pada tahun 1935 dan dikaruniai lima orang anak. Nahas, empat di antaranya meninggal dunia sebelum tumbuh dewasa.
Satu-satunya keturunan Wolly Sutinah yang masih hidup diberi nama Siti Aminah. Anak ketiga dari lima saudara ini lahir satu bulan setelah perilisan film Terang Boelan (1937), ketika sang ibu tampil sebagai kameo. Kelak, Aminah yang juga turut menjajaki dunia sandiwara dan film, tenar lewat peran “Mak Nyak” dalam serial Si Doel Anak Sekolahan.
Di Balik Nama Mak Wok
Sekilas, nama Wolly Sutinah terdengar seperti perpaduan nama Belanda dan Jawa. Tidak pernah terpikir di benak Sutinah, kelak orang-orang akan lebih mengenalnya sebagai Wolly. Terlebih lagi, julukan Mak Wok ternyata jauh lebih terkenal daripada nama aslinya.
Sebagai anak satu-satunya, Sutinah menerima kasih sayang yang amat besar dari kedua orang tuanya. Sang ayah biasa memangilnya “Wuk”, yang merupakan panggilan sayang untuk anak perempuan di Jawa. Wuk Tinah, demikian Sutinah dipanggil oleh orang-orang dekatnya hingga ia beranjak dewasa.
“Sampai gadis remaja, masih saja dipanggil demikian,” aku Sutinah dalam wawancara majalah Femina (8/11/1977).
Ketika terjun ke perfilman, panggilan sayang itu masih lekat. Akibatnya, seorang sutradara berkebangsaan Filipina mengalami kesulitan saat harus menyebut “Wuk”. Pria yang biasa dipanggil Mr. Gary itu kemudian memberi sentuhan baru supaya cocok di lidahnya. Wuk Tinah lantas berubah menjadi Wolly Sutinah. Nama itu menginspirasi pembentukan Miss Wolly Opera.
Di bawah Miss Wolly Opera, permainan watak Wolly Sutinah semakin matang. Kemampuannya di atas panggung tidak berhenti pada bidang akting saja. Di berbagai kesempatan, Sutinah juga tampil sebagai penyanyi, penari, pelawak, bahkan bertindak sebagai pemain pria. Namun, kelompok ini bubar setelah empat tahun berkegiatan.
Sutinah dan suaminya kemudian pindah ke grup sandiwara Pagoda Opera milik aktris Fifi Young. Mereka berdua sempat pentas keliling Jawa dan Sumatra, sebelum akhirnya memutuskan pulang dan kembali ke film. Setibanya di Jakarta, Sutinah langsung dapat tawaran bermain di film Aladin dengan Lampoe Wasiat, Poesaka Terpendam, dan Kuda Sembrani yang diproduksi studio Tan’s Films.
Ketika geger masa pendudukan Jepang, Sutinah tidak berhenti main film. Alih-alih sepi pekerjaan, Sutinah justru melahap beberapa film propaganda buatan perusahaan film Jepang, Nippon Eigasha. Beberapa di antaranya berjudul Keseberang dan Jatuh Berkait. Keduanya menampilkan bintang utama Roekiah, aktris paling bersinar pada masa itu.
Ketika geger masa pendudukan Jepang, Sutinah tidak berhenti main film.
Hubungan Sutinah dan Roekiah terjalin layaknya kakak dan adik. Usut punya usut, suami Sutinah ternyata bersaudara angkat dengan Roekiah. Selama periode 1937 hingga 1945, Sutinah kerap mendampingi aktris yang lebih muda dua tahun darinya itu membintangi sejumlah film. Beberapa di antaranya berjudul Fatima, Roekihati, dan Terang Boelan.
Sutinah dan Roekiah tidak hanya dekat secara pribadi, tetapi juga kekeluargaan. Anak-anak Roekiah, antara lain Rachmat Kartolo, memanggil Sutinah dengan “Mak”. Begitu juga sebaliknya dengan Aminah yang sudah menganggap Roekiah seperti ibu kandung. Kesalahpahaman pun sering terjadi antar dua keluarga ini ketika anak-anak mereka memanggil orang tua masing-masing.
Rupanya, untuk menghilangkan kekeliruan itu, panggilan Mak untuk Sutinah ditambahkan “Wuk”. Seiring waktu, panggilannya berubah menjadi Mak Wok agar lebih mudah diucapkan cucu dan cicitnya. Surat kabar Berita Nasional (20/9/1983) meriwayatkan bahwa panggilan itu telah menjadi bagian tak terpisahkan dari jati diri Wolly Sutinah.
“Semua memang memanggil Mak Wok, mulai anak, cucu, sampai buyut. Panggil saja saya Mak Wok,” kata Sutinah yang pada waktu itu sudah menimang tujuh orang cucu dan dua orang cicit.
Ikon Emak-Emak Rewel
Sebagai seorang “anak wayang”, kehidupan Wolly Sutinah sangat jauh dari kesan mewah. Hidupnya yang sempat mapan, tiba-tiba terbalik di era Perang Revolusi. Kondisinya semakin parah sejak sang suami, Husin Nagib, meninggal dunia pada tahun 1946. Sutinah sempat menikah lagi dengan adik kandung Husin, tetapi memutuskan berpisah secara damai.
Selepas perang, Sutinah menata hidup bersama putrinya di sebuah rumah sederhana yang terletak di kampung artis Tangkiwood, Jakarta Barat. Pergaulannya yang konsisten bersama seniman-seniman film kemudian mendatangkan kontrak dari perusahaan film Golden Arrow. Sepanjang dekade 1950-an, Sutinah muncul di hampir setiap judul film yang diproduksi di sana. Beberapa di antaranya berjudul Kasih Ibu (1955), Arriany (1958), dan Gadis Manis di Pinggir Djalan (1960).
Di samping bermain peran, Sutinah juga bertindak sebagai pengisi suara bagi film-film produksi Golden Arrow. Pekerjaan sebagai dubbing artist sempat membawanya terbang dan menetap di Filipina selama beberapa waktu pada awal periode 1950-an. Di Negeri Lumbung Padi itu, Sutinah mengasah keahliannya berdansa.
Dari Golden Arrow, Sutinah mengenal aktor Hamid Arief. Atas ajakan Hamid, Sutinah bergabung ke program Komedia Jakarta yang tayang di TVRI dan konsisten mengisi acara bulanan yang diselenggarakan BPKB (Badan Pembina Kesatuan Bangsa). Saking dekat hubungan keduanya, banyak orang mengira mereka berpasangan.
Setelah puas melahap cerita-cerita serius, Sutinah menyeberang ke komedi. Penampilannya sebagai ibu mertua galak di film Benyamin Biang Kerok (1972) melambungkan namanya sebagai pelawak. Satu tahun kemudian, Sutinah muncul sekilas di film Bing Slamet Sibuk (1973), memerankan perempuan paruh baya bernama Mak Wok.
Mak Wok dengan cepat berubah menjadi semacam alter ego bagi Sutinah. Dia terkenal dengan celoteh dan tingkahnya yang lucu serta suka melemparkan umpatan berlogat Betawi. Watak khas Mak Wok ini beririsan dengan tokoh-tokoh yang sering dimainkan oleh Hamid Arief. Tidak heran jika para pembuat film kemudian sering memasangkan mereka berdua ke dalam peranan suami-istri paruh baya.
Dia terkenal dengan celoteh dan tingkahnya yang lucu serta suka melemparkan umpatan berlogat Betawi.
Apabila Hamid adalah “musuh bebuyutan” bagi Benyamin S., maka Mak Wok adalah “ibu yang rewel” bagi pelantun lagu Kompor Meleduk itu. Dimulai dari film Samson Betawi (1975), Zorro Kemayoran (1976), dan Duyung Ajaib (1978), Sutinah memantapkan posisinya sebagai ibu dari tokoh-tokoh konyol yang dimainkan Benyamin S.
Sutinah agaknya menikmati perannya sebagai pelawak. Saat film-film Warkop DKI merajai bioskop Indonesia pada era 1980-an, Sutinah turut ambil bagian. Permainannya dalam film Manusia 6 Juta Dollar (1981), IQ Jongkok (1982), dan Atas Boleh Bawah Boleh (1986), cenderung singkat tetapi sulit dilupakan. Persona Mak Wok yang kuat bisa dengan mudah membuat orang tertawa, meski Sutinah sendiri bukan orang yang suka melucu.
“Muka Mak Wok tidak lucu tapi orang pada ketawa kalau melihatnya,” kata Aminah mengomentari sang ibu, seperti dilansir surat kabar Berita Nasional (20/9/1983).
Di samping memainkan film komedi, Sutinah juga mondar-mandir di layar televisi. Permainannya sebagai nenek yang manis di serial Rumah Masa Depan menarik pujian banyak orang. Sinetron TVRI karya Ali Shahab itu mengharuskan Sutinah beradu akting bersama anaknya, Aminah Cendrakasih, dan pasangan abadinya di layar perak, Hamid Arief.
Wolly Sutinah meninggal dunia pada tanggal 14 September 1987 pada usia 72 tahun akibat serangan jantung. Kepergiannya yang tiba-tiba seolah diiringi pertanda. Dua hari sebelum ajalnya, Sutinah masih tampil membawakan peran seorang nenek yang sedang sakit dalam sandiwara serial Keluarga Pak Is di TVRI. Dua pekan kemudian, film terakhirnya, Lupus: Tangkaplah Daku, Kau Kujitak (1987), premier di bioskop.
Hingga akhir hayatnya, Wolly Sutinah membuktikan bahwa produktivitas tidak sepantasnya terhalang usia. Lewat konsistensi dan disiplin tinggi, Sutinah menorehkan jejaknya sebagai salah satu aktris dan seniman panggung legendaris Indonesia. Yang ironis, orang sering lupa akan kehadirannya sebagai “peramai.” Padahal, menonton film komedi era 80-an tanpa Mak Wok bisa dipastikan rasanya bagai makan sayur tanpa garam.