Aminah Cendrakasih: Mak Nyak Satu-Satunya - Indonesia Kaya

Cari dengan kata kunci

Aminah Cendrakasih: Mak Nyak Satu-Satunya

Aminah cendrakasih

Aminah Cendrakasih: Mak Nyak Satu-Satunya

Sebelum jadi Mak Nyak ibu dari Si Doel, Aminah Cendrakasih pernah berkelana mencicipi banyak jenis peran. Termasuk peran antagonis yang membuatnya dicaci orang.

Mini Biografi

Pagi itu, keseharian keluarga Sabeni tidak berjalan seperti biasanya. Morris Minor Traveller, oplet biru sumber nafkah keluarga, ditemukan tergantung di bawah pohon jambu. Seisi rumah geger dan berhamburan keluar.

Sebelum Babe selesai menginterogasi orang-orang, tiba-tiba pekik suara Nyak menyambar dari arah beranda rumah. Ibu dari Doel dan Atun itu marah besar mendapati suaminya punya niat berselingkuh. Oplet tua pun jadi korbannya.

“Gue yang gembosin itu ban. Gue juga yang iket tu oplet ke pohon jambu.”

“Kenape? Mareh?”

“Aye kurang sabar apa, sih, bang?”

“Semut aje kalo diinjek ngegigit!”

Lela nyerocos panjang lebar, sambil menunjuk-nunjuk wajah Sabeni hingga pucat pasi. Sementara itu, kedua anak mereka, serta Mandra dan Karyo, menikmati pertengkaran itu dari kejauhan seolah sedang menonton lenong. Momen langka Nyak marah itu menutup episode 12 serial Si Doel Anak Sekolahan musim ke-2.

Momen langka Nyak marah itu menutup episode 12 serial Si Doel Anak Sekolahan musim ke-2.

Sebuah artikel Tirto.id mencatat adegan ‘oplet digantung’ sebagai salah satu adegan paling monumental di sinetron Si Doel Anak Sekolahan. Bersanding dengan ‘Atun kejepit tanjidor’ dan ‘Sabeni berteriak-teriak tukang insinyur’. Adegan itu disebut-sebut sebagai salah satu bukti kematangan akting pemeran Nyak, Aminah Cendrakasih, yang berpulang pada 21 Desember 2022, pada usia 84 tahun.

Siti Aminah, atau yang lebih dikenal dengan nama Aminah Cendrakasih dan yang belakangan beken dengan julukan “Mak Nyak”, lahir di Magelang, Jawa Tengah, pada 29 Januari 1938. Google Doodle kemudian menggunakan ilustrasi wajah Aminah untuk memperingati hari jadi usianya yang ke-86 pada tahun 2024.

Sebelum Jadi Mak Nyak

Sulit rasanya memisahkan sosok Aminah Cendrakasih dengan tokoh Mpok Lela alias Mak Nyak dari serial Si Doel Anak Sekolahan. Karakter ibu bijak dan jarang mengomel yang dimainkan oleh Aminah sejak tahun 1994 itu sangat membekas di benak banyak orang. 

Sulit rasanya memisahkan sosok Aminah Cendrakasih dengan tokoh Mpok Lela alias Mak Nyak dari serial Si Doel Anak Sekolahan.

Episode hidup Nyak kurang lebih sama dengan versi novel Si Doel Anak Betawi yang terbit tahun 1932. Nyak yang kemudian terpaksa mengambil alih kemudi kepemimpinan keluarga sepeninggal suaminya, Sabeni, mesti mengayomi anak-anaknya seorang diri. Bedanya, ia kini lebih dekat dengan kehidupan sederhana penonton, lewat kegiatan berjualan di warung dan mengelola uang setoran oplet.

Aminah sendiri mendulang banyak pengakuan atas peranannya itu hingga berhasil bertahan selama tujuh musim penayangan. Bahkan, ketika terbaring sakit akibat glaukoma dan kelumpuhan di usia senja, Aminah tetap tampil sambil berbaring mengisi peran yang sama dalam trilogi Si Doel the Movie (2018, 2019, 2020).

Sebelum jadi Mak Nyak, Aminah sebenarnya punya rentang akting yang cukup luas. Bermula dari panggung sandiwara, ia melompat ke perfilman. Selama lebih dari 60 tahun karier filmnya, ibu dari tujuh orang anak ini sudah pernah melahap berbagai jenis peran, termasuk peran antagonis.

Selama lebih dari 60 tahun karier filmnya, ibu dari tujuh orang anak ini sudah pernah melahap berbagai jenis peran, termasuk peran antagonis.

Berkat pengabdian yang begitu lama di dunia film, Aminah Cendrakasih mendapat Penghargaan Kesetiaan Profesi Keartisan dari Dewan Film Nasional pada tahun 1992. Disusul penghargaan khusus Lifetime Achievement dari Festival Film Bandung 2012 dan Indonesian Movie Awards (IMA) 2013.

Tidak bisa dipungkiri, memiliki orang tua berlatar belakang seni, secara tidak langsung memuluskan jalan Aminah ke dunia pertunjukan. Ibunya, Wolly Sutinah alias Mak Wok, aktif bermain sandiwara dan film sejak tahun 1930-an. Sementara itu, ayahnya bernama Husin Nagib, seorang pria keturunan Arab yang berprofesi sebagai seniman panggung. Aminah merupakan anak ketiga sekaligus satu-satunya yang hidup hingga dewasa dari kelima anak Sutinah dan Husin.

Aminah pertama kali mengenal dunia akting pada usia remaja. Ketika duduk di bangku Sekolah Kepandaian Putri (setingkat SMP) di Pasar Baru, keberanian untuk naik-turun panggung tiba-tiba muncul. Bermula dari mengikuti pentas di Gedung Kesenian Jakarta, Aminah konsisten menjalani berbagai jenis peran yang melampaui usianya.

“Aminah Tjendrakasih ini sudah dikatakan lumayan. Kalau mengingat keharuan dan kekanak-kanakannya yang masih belum dapat dihilangkan.” Demikian majalah Minggu Pagi (22/1/1956) mengkritisi permainannya sebagai janda muda nakal dalam sandiwara berjudul Di Langit Ada Bintang karangan Utuy Tatang Sontani yang dipertunjukkan oleh Association of Indonesian Dramatic Arts tahun 1955. Waktu itu, Aminah masih berusia 17 tahun.

Aminah menjalani kegiatannya di dunia teater sambil sesekali mengisi peran-peran kecil untuk film-film ibunya. Namanya baru dikenal luas setelah dipercaya memainkan peran pembantu dalam film Gadis Tiga Zaman pada tahun 1955. Disusul dua film lain berjudul Ibu dan Putri dan Gambang Semarang yang diarahkan oleh Tan Sing Hwat alias Tandu Honggonegoro. Pada saat yang sama, Aminah mulai memakai ‘Tjendrakasih’ di belakang namanya.

Majalah Film Varia (Januari 1956) menyebut bahwa ‘Tjendrakasih’ sebenarnya merupakan nama pemberian sutradara Tan Sing Hwat. Aminah sendiri baru menganggap film sebagai suatu hal yang serius setelah dibujuk oleh Tan. Lewat rumah produksi Garuda Film, Aminah mengorbit sebagai bintang film remaja.

Nama Aminah Tjendrakasih kemudian sampai ke telinga sutradara sekaligus direktur Perfini, Usmar Ismail. Tokoh pelopor perfilman Indonesia modern itu tertarik melibatkan Aminah ke dalam film terbarunya, Asrama Dara, yang berkisah tentang persoalan hidup dan percintaan gadis-gadis muda di sebuah asrama putri yang dipimpin Bu Siti (Fifi Young).

Nama Aminah Tjendrakasih kemudian sampai ke telinga sutradara sekaligus direktur Perfini, Usmar Ismail.

​​Aminah diminta berperan sebagai Tari, mahasiswi genit yang getol mengejar cinta seorang pria paruh baya. Saking dibutakan oleh cinta, Tari tidak sadar akan anggapan orang-orang di sekitarnya. Alih-alih mendekat ke pujaan hati, perilakunya itu justru menarik kecurigaan Bu Siti dan teman-teman asramanya.

Asrama Dara agaknya menguji permainan ekspresi wajah Aminah. Ada kalanya ia menangis tersedu-sedu karena merasa tidak punya teman. Pada lain waktu, ia mampu memainkan wajah malu-malu dan wajah kesal secara bersamaan dalam adegan musikal Trem dan Bis Kota yang vokalnya diisi oleh penyanyi istana negara, Elly Sri Kudus.

Pada tahun 1958, Aminah muncul di tiga film produksi Perfini sekaligus. Setelah Asrama Dara, ia kembali kebagian peran penting di film Pak Prawiro dan Tjambuk Api. Kali ini bukan sebagai perempuan kota yang suka ngedumel, melainkan gadis desa berperangai lembut. Di Tjambuk Api, Aminah beradu akting dalam satu frame bersama ibunya, Wolly Sutinah, memerankan peran ibu dan anak.

Aminah Cendrakasih sempat menghilang dari dunia perfilman selama periode 1960-an, karena kesibukan dalam urusan rumah tangga yang banyak menyita energi dan pikirannya. Bersama suaminya, Idris Permana Sidik, Aminah dikaruniai tujuh anak, yang terdiri dari empat laki-laki dan tiga perempuan.

Aminah kembali ke dunia akting pada tahun 1969. Televisi jadi tempat kemunculan pertamanya setelah vakum selama kurang lebih 10 tahun. Bersama aktor kawakan Soekarno M. Noor, Aminah membintangi sebuah sandiwara berjudul Bapak yang tayang pada 9 November di TVRI.

Sepanjang tahun 1970-an dan 1980-an, Aminah sering terlihat mondar-mandir di layar lebar. Film pertamanya setelah lama menghilang berjudul Bertjinta dalam Gelap (1971) yang disutradarai oleh aktris Chitra Dewi, kawan sekamarnya di Asrama Dara. Dilanjutkan peran-peran kecil lain yang diperkirakan mencapai lebih dari 100 judul film.

Aminah pertama kali dipertemukan dengan Benyamin Suaeb lewat film Hostes Anita (1971) dan Intan Berduri (1972). Di film yang disebutkan terakhir, Aminah kembali menjajal kemampuan aktingnya dengan memerankan karakter antagonis.

Aminah pertama kali dipertemukan dengan Benyamin Suaeb lewat film Hostes Anita (1971) dan Intan Berduri (1972).

Bukan sekali atau dua kali saja Aminah harus berperangai ketus dan galak kepada karakter-karakter yang dimainkan Benyamin S. Dalam Benyamin Raja Lenong (1975), mereka malah harus bertengkar di bagian pembuka film. Perseturuan keduanya bermula ketika Aminah sebagai Mpok Mimin melabrak Benyamin yang sedang latihan lenong di sebelah rumahnya.

Saking sering memainkan peran perempuan judes, Aminah mengaku pernah dicaci orang. Situasi tidak mengenakkan itu terjadi selama preview film Intan Berduri. Munah, karakter yang dimainkan Aminah, dianggap terlalu jahat karena membiarkan pasangan suami-istri miskin (Benyamin S. dan Rima Melati) menderita kelaparan bersama anak mereka. Aminah sendiri tidak pernah mengerti kenapa selalu kebagian peran-peran semacam itu.

“Saya heran, loh. Apakah muka saya ini tampang orang judes, kok, terus kebagian peran yang begitu. Padahal, saya termasuk orang yang baik. Coba saja tanya anak-anak saya, mereka tak pernah saya marahi,” kata Aminah dengan penuh keyakinan, seperti dilansir surat kabar Bernas(15/10/1980).

Anak Tunggal yang Mandiri

Ada yang menarik dari cara media massa menggambarkan sosok Aminah muda pada tahun 1950-an. Gadis remaja berperawakan semampai itu seolah-olah mampu memikat hati siapa pun. Ia disebutkan suka makan cokelat, punya tutur kata yang lembut, dan selalu memanggil dirinya sendiri dengan nama kecil: Mimin.

Entah disengaja atau tidak, peran-peran yang sering dimainkan Aminah pada awal kariernya selalu bertolak belakang dengan sifat aslinya. Dalam film Gadis Tiga Zaman (1955), Aminah berperan sebagai gadis manja yang bawel dan sombong. Peran serupa kembali dibawakan secara singkat lewat karakter Poppy dalam film Gadis Sesat (1955).

Keberanian Aminah untuk menekuk wajah sambil mencibirkan bibir di depan kamera justru menjadi daya tarik yang tidak dimiliki aktris muda lainnya pada zaman itu. Akibatnya, Aminah selalu kebagian peran-peran antagonis. Pada lain waktu, ia dituntut untuk bisa memahami isi kepala putri kesayangan seorang hartawan, seperti yang ditunjukkan dalam film Habis Gelap Terbitlah Terang (1959). Semua hal yang tidak pernah dia miliki sewaktu kecil.

Sejak kecil, Aminah menyukai sandiwara dan film sebagaimana ia mengagumi pekerjaan ibunya. Dalam sebuah kesempatan pada tahun 1956, penggemar aktor Rock Hudson ini mengaku selalu menyukai film-film Mak Wok. Sayangnya, bakat seorang bintang dalam dirinya sempat tidak mendapat restu sang ibu.

Ade Purbasari, salah satu anak Aminah Cendrakasih, menuturkan bahwa Mak Wok sendiri yang melarang putrinya itu untuk mendekati dunia film dan sandiwara. Alasannya, kehidupan seniman pada zaman itu sangat keras dan penuh pengorbanan, terutama bagi seorang ibu.

“Kesulitan hidupnya nyata banget. Mak Wok harus sering ninggalin ibu saya untuk syuting. Bayarannya nggak seberapa dan nggak ada kontraknya,” kata anak keempat dari tujuh bersaudara itu.

Berdasarkan penuturan Ade, Aminah bahkan pernah sampai ditinggal ibunya bekerja ke Filipina. Selama beberapa tahun, ibu dan anak itu tidak saling bertemu. Meski sempat dititipkan kepada sanak saudara, Aminah tetap harus menghidupi dirinya sendiri dengan berjualan buah-buahan potong. “Mak Wok lama-lama nggak tega juga, lalu buru-buru pulang,” imbuhnya.

Perang Revolusi (1945-1949) adalah masa terberat bagi Aminah dan ibunya. Husin Nagib, sosok pelindung keluarga satu-satunya meninggal dunia pada tahun 1946. Cobaan semakin berat ketika rumah mereka di Jakarta lenyap diserobot orang.

Dengan berat hati, Mak Wok mengajak Aminah tinggal di sebuah kamar petak berbahan triplek yang didirikan untuk pemain-pemain sandiwara Lokasari di Tangkiwood. Di tempat itu, Aminah hidup dalam kondisi serba kekurangan selama beberapa waktu.

“Kamar itu tanpa perabot sama sekali, kecuali sehelai tikar untuk tidur.” Demikian Mak Wok menjelaskan kondisi tempat tinggalnya di Tangkiwood dalam sebuah wawancara majalah Femina(8/11/1977).

Alwi Shahab dalam bukunya Robinhood Betawi: Kisah Betawi Tempo Doeloe (2002) mencatat adanya lonjakan jumlah keluarga seniman yang menghuni Tangkiwood tahun 1950-an sampai 1960-an. Anak-anak dari keluarga ini umumnya tumbuh mengikuti jejak orang tuanya. Aminah sendiri tidak hanya menghabiskan sebagian masa kecilnya di kampung artis itu, tetapi juga belajar akting.

Di mata anak-anaknya, Aminah Cendrakasih sebenarnya bukan orang yang suka menjadi pusat perhatian. Tumbuh dewasa tanpa saudara atau sosok ayah membuat dia menjadi pribadi yang tertutup dan tidak suka basa-basi. Ade membenarkan bahwa ibunya paling tidak suka keluyuran, bahkan ketika sudah menjadi bintang film.

“Ibu orangnya tegas, kadang keras kepala, tapi hatinya lembut. Ibu nggak pernah ikut-ikut pawai atau geng artis. Lebih suka di rumah.” Demikian Ade mendeskripsikan tingkah laku introver sang ibu. Meski tidak pandai bergaul, Aminah bisa berlaku layaknya sahabat kepada anak-anaknya.

Kepribadian asli Aminah yang berbanding terbalik dengan peran-perannya di film tentu tidak disangka-sangka. Ade mengaku sering tertawa geli saat melihat ibunya berubah jadi orang yang sangat berbeda di atas panggung. Terlebih jika peran itu mengharuskannya berlagak seperti nyonya besar, seperti terlihat pada film Betty Bencong Slebor (1978) yang dibintangi Benyamin S. dan Bokir.

Menurut penuturan Ade, Aminah paling senewen jika harus berperan sebagai orang kaya. Peran-peran semacam itu jelas tidak sesuai dengan prinsip hidupnya. Alih-alih memperkaya diri, Aminah lebih suka menggunakan honor dari pekerjaannya sebagai aktris untuk beramal. Cita-cita membantu sebanyak-banyaknya orang itu terwujud lewat pendirian sebuah Yayasan Pendidikan Islam Mak Nyak.

Sepanjang tahun 1990-an, Aminah tidak muncul sama sekali di film layar lebar. Peran-peran antagonis pun dia jauhi dengan harapan bisa dikenang sebagai orang baik. Di waktu senggangnya itu, Aminah bersama anak-anaknya mendirikan butik pakaian muslim bernama Aminah Cendrakasih Collections di sekitar Senen.

Sepanjang tahun 1990-an, Aminah tidak muncul sama sekali di film layar lebar.

Pemain Sandiwara Keluarga

Jauh sebelum duet ayah-anak Roy dan Gading Marten mengudara lewat peran keluarga dalam film Sampai Ujung Dunia (2012), Wolly Sutinah dan Aminah Cendrakasih sudah melakukannya lebih dulu. Keduanya sering kedapatan main film bersama sejak tahun 1955 sampai sebelum Wolly wafat pada tahun 1987. Penulis sekaligus sejarawan, Fandy Hutari, mempertegas temuan tersebut dalam perbincangannya dengan redaksi Indonesia Kaya.

“Kalau spesifik orang tua dan anak di film tahun 1950-an, saya belum menemukannya selain Mak Wok dan Aminah. Namun, cukup banyak aktor atau aktris yang menikah sesama dunia mereka,” terangnya.

Meski begitu, Fandy tidak setuju akan anggapan bahwa kesuksesan Aminah di dunia film semata-mata terjadi berkat campur tangan ibunya. Menurutnya, Aminah punya bakat dan kemauan belajar yang tinggi.

“Aminah pernah direkomendasikan sutradara Usmar Ismail dan Djaduk Djajakusuma untuk ikut kursus akting di Salemba. Terlepas nepo baby atau tidak, tetapi Aminah punya potensi,” imbuh jurnalis yang sering meriset sejarah film dan teater itu.

Puncak kematangan akting dan chemistry antara Aminah dengan ibunya terlihat dalam sandiwara Keluarga Pak Is yang tayang setiap dua bulan sekali di TVRI tahun 1980-an. Bersama aktor Ishaq Iskandar, Aminah ambil bagian sebagai pemain tetap di sana. Sedangkan Mak Wok hanya beberapa kali ikut meramaikan. Menariknya, anak-anak Aminah juga turut mengisi peran-peran kecil dalam sandiwara tersebut.

Pada 1984, Aminah kembali membintangi serial Rumah Masa Depan bersama ibunya. Aminah berperan sebagai istri Pak Sukri, sementara Mak Wok sebagai neneknya. Sinetron karya Ali Shahab tentang kehidupan sehari-hari masyarakat Desa Cibeureum dengan segala permasalahan sosialnya itu tamat dalam waktu kurang dari dua tahun atau 26 episode.

Bagi Aminah, keluarga adalah segalanya. Oleh sebab itu, dia tidak berpikir dua kali ketika ditawari peran ibu Si Doel. Sepengetahuan Ade Purbasari, posisi itu awalnya akan diberikan kepada Ade Irawan, istri dari aktor Bambang Irawan sekaligus ibunda Ria Irawan. Namun, pada akhirnya tetap Aminah yang terpilih.

Bagi Aminah, keluarga adalah segalanya. Oleh sebab itu, dia tidak berpikir dua kali ketika ditawari peran ibu Si Doel.

“Itu rezekinya ibu, dan dia juga senang karena pernah tinggal di kampung Betawi,” kenang sang anak.

Sejak pertama kali mengudara pada bulan Ramadhan tahun 1994, serial Si Doel Anak Sekolahandengan cepat menjelma menjadi ikon pertelevisian Indonesia. Diperkirakan tujuh dari sepuluh penonton televisi di Jakarta menyaksikan tayangan ini setiap jumat malam. Cerita kehidupan biasa dari keluarga Betawi yang juga biasa ternyata tidak menghalangi popularitasnya. Sebuah potret langka di tengah tren sinetron berisi pameran gaya hidup kelas atas yang melimpah kala itu.

Melalui Si Doel Anak Sekolahan, Aminah unjuk pengalamannya bermain drama keluarga. Dengan piawai ia memainkan sosok istri yang setia kepada Babe Sabeni, ibu yang lembut bagi Doel dan Atun, kakak perempuan rewel bagi Mandra, serta tuan tanah yang baik bagi Karyo. Semuanya berhasil dibawakan dengan sangat meyakinkan oleh Aminah, bahkan tidak jarang orang-orang mengira dirinya sebagai orang Betawi betulan.

Berdasarkan penuturan Mandra, wujud kematangan akting Aminah bisa dilihat lewat kemampuannya membangun suasana keluarga yang sebenarnya. “Dari cara dia main bisa bikin suasana seolah gue adeknya beneran. Dan gue juga menganggap bahwa dia itu bukan mpok-mpokan,” terangnya dalam program yang mengudara di kanal Youtube Baba Mandra. Mandra mengaku bahwa Aminah sudah dia anggap kakak sendiri.

Berdasarkan penuturan Mandra, wujud kematangan akting Aminah bisa dilihat lewat kemampuannya membangun suasana keluarga yang sebenarnya.

Tidak hanya Mandra, hubungan Aminah bersama pemain lain pun terjalin layaknya keluarga. Sisi kekeluargaan yang kental semacam itu tidak jarang berhasil mengecoh penonton. Hal ini seturut dengan penuturan Ade yang menyaksikan sendiri bagaimana penikmat sinetron Si Doel menyapa ibunya seolah sedang berbicara kepada seorang saudara dekat.

“Sering banget orang-orang lewat di depan toko kami di Senen sambil bilang seolah-olah Doel itu beneran anak ibu,” kata Ade mengingat-ingat kejadian lucu itu.

Saat ditanya apakah ada orang lain yang bisa memerankan Mak Nyak sebaik Aminah Cendrakasih, Ade menjawab “tentu saja ada”. Namun, menurut Ade, tanpa Aminah, Si Doel Anak Sekolahan belum tentu bisa jadi seperti yang kita kenal sekarang. “Ibu nyaman banget di sana, Si Doel sudah seperti keluarga kedua buat dia,” imbuhnya.

Selayaknya sosok ibu dalam keluarga, posisi Aminah Cendrakasih dalam Si Doel Anak Sekolahan tidak tergantikan. Dialah Mak Nyak satu-satunya. Selaras dengan pernyataan yang berulang kali diucapkan oleh Rano Karno dalam berbagai kesempatan. “Karakter beliau sebagai Mak Nyak, ibunya Si Doel, tidak akan pernah bisa digantikan.”