Masyarakat Tionghoa telah menjadi bagian tak terpisahkan dari bangsa Indonesia. Kesenian tradisional Tionghoa pun ikut memberi warna dalam budaya Nusantara. Salah satunya seni pertunjukan wayang orang potehi.
Wayang potehi merupakan seni pertunjukan boneka tradisional asal Fujian, Tiongkok Selatan. “Potehi” berasal dari akar kata “pou” (kain), “te” (kantong), dan “hi” (wayang). Secara harfiah bermakna wayang yang berbentuk kantong dari kain –meski beberapa bagiannya terbuat dari kayu.
Di tempat asalnya, akar dari kesenian wayang potehi telah berkembang ribuan tahun lalu. Dari hasil penelitiannya, Dwi Woro Retno Mastuti dalam “Wayang Potehi: Chinese-Peranakan Performing Arts in Indonesia” menyebut kesenian ini dikenal masyarakat Tiongkok pada abad ke-7 sampai abad ke-9 semasa Dinasti Tang.
Menurut cerita tutur, wayang potehi dibuat oleh lima terpidana mati yang sedang menunggu hari eksekusi. Untuk menghilangkan kesedihan, mereka membuat boneka dari potongan kain dan memainkannya dengan musik pengiring dari barang-barang seadanya. Pertunjukan itu ternyata bukan hanya menghibur mereka, tapi tahanan lain dan para sipir penjara. Keberadaan pertunjukan itu sampai ke telinga raja yang kemudian meminta mereka bermain di istana. Mereka pun dibebaskan dari hukuman mati, karena berhasil menghibur raja.
Wayang potehi dibawa imigran asal Tiongkok ke Nusantara sekitar abad ke-16.
Wayang potehi dibawa imigran asal Tiongkok ke Nusantara sekitar abad ke-16 dan menyebar ke beberapa kota di Pulau Jawa. Wayang potehi bukan hanya sarana hiburan tapi juga memiliki fungsi ritual. Pertunjukan wayang potehi menjadi sarana untuk menyampaikan terima kasih, pujian, dan doa kepada para dewa dan leluhur. Tak heran jika kesenian ini berkembang di sekitar kelenteng, terutama di beberapa kota di pantai utara Jawa.
Wayang potehi dimainkan menggunakan kelima jari. Tiga jari tengah mengendalikan kepala, sementara ibu jari dan kelingking mengendalikan tangan wayang. Dalam laporan penelitiannya berjudul “Dari Wayang Potehi ke Wayang Thithi”, Ngesti Lestari menyebut setiap wayang dapat dimainkan untuk berbagai karakter, kecuali Bankong, Udi King, dan Sia Kao Kim yang warna wajahnya tak dapat berubah.
Pementasan dilakukan di sebuah panggung yang disebut pay low dan berwarna merah. Panggung ini berbentuk miniatur rumah yang dibuat permanen atau bongkar-pasang. Untuk memainkan wayang potehi dibutuhkan dua orang, yaitu dalang dan asisten dalang. Dalang bertugas menyampaikan cerita, sedangkan asisten membantu menyiapkan dan menata peralatan pentas seperti wayang, busana, dan senjata serta menampilkan tokoh-tokoh sesuai cerita. Masing-masing dapat memainkan dua wayang. Sebanyak 20-25 wayang bisa digunakan dalam satu kali pementasan.
Musik pengiring dimainkan tiga musisi dengan alat musik seperti gembreng besar (toa loo), rebab (hian na), kayu (piak ko), suling (bien siauw), gembreng kecil (siauw loo), gendang (tong ko), dan selompret (thua jwee). Satu musisi dapat memainkan dua atau tiga alat musik.
Pertunjukan ini menjadi sarana untuk menyampaikan terima kasih, pujian, dan doa kepada para dewa dan leluhur.
Pertunjukan wayang potehi tidak dilakukan semalam suntuk seperti wayang kulit tapi hanya berdurasi 1,5 atau 2 jam. Pertunjukan pun dibawakan secara serial. Bahkan ada kisah yang memerlukan waktu pementasan selama tiga bulan sampai cerita selesai secara keseluruhan.
Beberapa lakon yang biasa dibawakan antara lain Cun Hun Cauw Kok, Hong Kian Cun Ciu, Poe Sie Giok, dan Sie Jin Kwie. Lakon-lakon itu merupakan kisah legenda dan mitos klasik dari daratan Tiongkok dan biasanya dimainkan di kelenteng. Bila wayang potehi pentas di luar kelenteng, diambil cerita-cerita yang populer seperti Sun Go Kong (Kera Sakti)), Sam Pek Eng Tay, Si Jin Kui, atau Pendekar Gunung Liang Siang.
Perkembangan kesenian wayang potehi di Indonesia mengalami pasang surut. Pada 1950-an, wayang potehi cukup populer di tengah masyarakat. Tapi, sejak 1967 seni wayang ini mengalami masa suram akibat larangan pemerintah terhadap tradisi dan budaya Tionghoa, termasuk ekspresi berkesenian di Indonesia. Secara sistematis, wayang potehi bahkan disingkirkan dari bagian dari budaya nasional. Dalam Buku Petunjuk Museum Wayang Jakarta yang diterbitkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1984, wayang potehi tidak disebut. Yang ciri khas ada “wayang golek Canton China” koleksi Marsdya TNI (Purn) H. Boediardjo, ketua umum Yayasan Nawangi. Terdiri dari 35 buah. Pada mulanya milik keluarga Lie Sed dari Semarang, berasal dari Canton, China, dan diwariskan secara turun-temurun lebih dari 300 tahun.
Sejak pelarangan itu, wayang potehi hanya pentas di kelenteng pada perayaan tertentu. Format pertunjukan pun berubah. Menurut Hendra Kurniawan dalam Potehi in New Order’s Restraint di International Journal of Humanity Studies, September 2017, wayang potehi dilakukan secara berseri, biasanya berlangsung selama dua jam pada sore hari dan dua jam pada malam hari dengan permainan berbeda di setiap sesi. Suluk (nyanyian dalang) cenderung hafalan, bahkan kemudian tak lagi dilantunkan dengan bahasa Hokkien karena banyak dalang tak lagi menguasai bahasa Hokkien. Apalagi mulai muncul seniman wayang potehi dari etnis Jawa yang memiliki keahlian sebagai dalang, asisten dalang, maupun musisi.
Akulturasi dengan budaya Jawa tak terhindarkan.
Akulturasi dengan budaya Jawa tak terhindarkan. Selain bahasa dan dialek yang mengadopsi budaya lokal, akulturasi terjadi pada penggunaan alat musik Jawa seperti bonang, saron, kendang, dan gong. Lagu-lagu Jawa juga sering digunakan sebagai selingan tapi dengan irama musik Tiongkok.
Kesenian wayang potehi menggeliat di tengah semangat kebebasan pada era reformasi. Wayang potehi mulai dipentaskan di berbagai tempat, bahkan merambah ke pusat-pusat perbelanjaan, khususnya saat Tahun Baru Imlek.
Wayang potehi telah menjadi bagian dari warisan nasional dan menambah khazanah kebudayaan Indonesia.*