Cari dengan kata kunci

wayang_kulit_1200.jpg

Menelusuri Proses Rumit Pembuatan Wayang Kulit

Dari memilih bahan hingga proses ukir dan pewarnaan yang sesuai pakem, wayang kulit dibuat melalui proses panjang.

Kesenian

Seni pertunjukan boneka bukan monopoli Indonesia. Sejumlah negara lain juga memiliki kesenian tersebut. Namun, wayang kulit sebagai seni pertunjukan boneka memiliki ciri khas yang berbeda dengan seni pertunjukan boneka lainnya. Ciri khas pembeda tersebut terletak pada gaya tutur dan kisah dalam pertunjukan wayang kulit yang dirasakan lebih menarik.

Wayang kulit, cikal bakal berbagai jenis wayang yang ada saat ini, mungkin sudah dikenal masyarakat luas. Namun, masih banyak yang belum mengetahui proses pembuatannya yang rumit dan penuh ketelitian.

Banyak hal yang perlu diperhatikan dalam pembuatan wayang kulit, mulai dari pemilihan bahan, proses pembuatan yang detail, hingga penyelesaian akhir yang harus sesuai dengan pakem yang telah ditetapkan.

Untuk menghasilkan wayang kulit berkualitas baik diperlukan kulit kerbau yang bagus. “Untuk menghasilkan wayang kulit berkualitas bagus dibutuhkan waktu sekitar satu bulan,” kata Saimono, dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta yang juga seorang pengrajin wayang kulit saat ditemui di hajatan Festival Keraton Sedunia 2013 di Jakarta.

Pembuatan wayang kulit berkualitas memerlukan waktu sekitar satu bulan.

Dia menjelaskan bahwa pertama-tama kulit kerbau dikerok untuk menghilangkan bulu dan kotorannya. Pada kulit yang sudah diolah ini kemudian digambar pola (corek). Pola itu menjadi acuan dalam tahap menatah. Selanjutnya, barulah proses tatah atau mengukir kulit bisa dilakukan.

Menurut Lilyk Eka Suranny dalam jurnal Seni Tatah Sungging Desa Kepuhsari sebagai Warisan Budaya di Kabupaten Wonogiri yang diterbitkan dalam Jurnal Penelitian Arkeologi Papua pada November 2017, proses tatah menentukan baik-buruknya kualitas wayang. Wayang yang bagus memiliki tatahan yang halus dan paduan motif tatahan yang serasi antara satu dengan yang lainnya.

Wayang yang bagus memiliki tatahan halus dan motif yang serasi.

“Karena itu, para pengrajin wayang harus memiliki jiwa kesabaran dan ketelitian yang tinggi untuk mendapatkan hasil yang baik,” jelas Lilik.

Wayang yang telah ditatah kemudian diamplas agar kulitnya rata dan halus. Setelah wayang kulit terbentuk dan bagian-bagiannya disatukan, dilakukan pewarnaan. Dalam bahasa Jawa, proses ini disebut sungging. Asal katanya berasal dari bahasa Jawa Kuno yang berarti “meninggikan” atau “meningkatkan” dari bentuk yang masih sederhana diperindah menjadi yang paling indah.

Pewarnaan diawali dengan pemberian warna dasar. Selanjutnya, diaplikasikan gradasi warna dari muda ke tua. Untuk hasil warna yang lebih baik dan awet, proses pengecatan dapat dilakukan beberapa kali.

“Sunggingan wayang ini memiliki nilai kejiwaan tersendiri yang menjadi ciri pada setiap sosok tokoh wayang yang dibuat,” jelas Lilik.

Terakhir adalah pemasangan cempurit atau gagang pada wayang. Gagang ini terbuat dari tanduk kerbau. Gagang dibentuk sedemikian rupa agar wayang kulit bisa digerakkan dengan mudah oleh dalang.

Pembuatan wayang kulit harus mengikuti pakem pewayangan yang mengatur bentuk dan detailnya.

Selain itu, ada pedoman yang mesti diikuti ketika membuat wayang kulit. Bentuk dan detailnya sudah diatur oleh pakem pewayangan. Dony Satriyo Wibowo, pengajar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, dalam Seni Rupa Wayang Kulit dan Perkembangannya di jurnal Dimensi Februari 2012 menjelaskan bahwa wayang kulit Jawa memakai standar yang sudah ditetapkan keraton sebagai pusat kebudayaan Jawa.

“Mulai dari pemilihan bahan kulit kerbau, dilanjutkan pada penggambaran pola, pengukiran menggunakan pahat, dan pemberian warna untuk detail lukisannya,” katanya.

Setiap tokoh, mulai dari ksatria, putri, dewa-dewi, raksasa, kera (wanara), dan hewan lainnya, hingga gunungan dan penggambaran senjata, semuanya diatur rinci sesuai ciri fisik dan perwatakannya.

Setiap tokoh diatur rinci sesuai ciri fisik dan perwatakannya.

“Bentuk mata, hidung, mulut, mahkota atau tutup kepala, tata rambut, perhiasan yang melekat di tubuh, posisi kaki berdiri, posisi bentuk tubuh (tegak atau menunduk), senjata pusaka yang dipakai, dan lain-lain bentuk detail, kesemuanya sesuai penokohannya,” jelas Dony.

Soal penokohan dalam wayang kulit, terdapat istilah yang disebut dengan “wanda”. Penggambaran wanda wayang berkaitan dengan perasaan yang ditunjukkan tokoh, seperti marah, senang, atau netral.

Namun, ada pula beberapa wayang kulit yang tidak diberi warna. Wayang-wayang ini dibiarkan polos dan tetap berwarna kulit kerbau aslinya. Wayang kulit semacam ini biasanya diperuntukkan sebagai pusaka keramat atau tokoh tertentu yang sengaja dibuat demikian.

“Dengan begitu, secara kesenirupaan, dapat dikatakan bahwa seni wayang kulit melibatkan seni gambar (corek), seni pahat (tatah), dan seni lukis (sungging),” tulis Dony.

Pembuatan wayang kulit memerlukan waktu lama, terutama untuk figur Pandawa, dewa, dan raja.

Dengan banyak pertimbangan tersebut, tak heran bila Saimono mengatakan bahwa proses pembuatan wayang kulit membutuhkan waktu lama. Terutama untuk figur Pandawa, para dewa, dan raja. Tokoh-tokoh tersebut memiliki tingkat kerumitan yang lebih tinggi. Mereka selalu digambarkan dengan aksesori yang melimpah.

Lamanya proses pengerjaan juga menjadikan wayang kulit figur raja dan dewa lebih mahal harganya. Berbeda dengan tokoh Punakawan yang minim aksesori, sehingga figurnya lebih mudah dibuat.

Informasi Selengkapnya
  • Indonesia Kaya

  • Indonesia Kaya

  • Lilyk Eka Suranny dalam “Seni Tatah Sungging Desa Kepuhsari sebagai Warisan Budaya di Kabupaten Wonogiri” di Jurnal Penelitian Arkeologi Papua November 2017
    Saimono, dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta yang juga seorang pengrajin wayang kulit saat ditemui di hajatan Festival Keraton Sedunia 2013 di Jakarta.
    Dony Satriyo Wibowo, pengajar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, dalam “Seni Rupa Wayang Kulit dan Perkembangannya” di jurnal Dimensi Februari 2012