Pulang, Buku Karya Leila S. Chudori - Indonesia Kaya

Cari dengan kata kunci

Novel Pulang

Pulang, Buku Karya Leila S. Chudori

Sebuah elegi indah tentang kerinduan akan Tanah Air, yang dikisahkan lewat kisah haru para eksil politik 1965.

Kesenian

Dalam berkarya, Leila S. Chudori cenderung mengeksplorasi dua tema sentral. Pertama, sejarah kelam Indonesia dengan pendekatan yang berfokus pada aksi dan dampak aktivisme politik; dan kedua, kuliner sebagai ‘makanan pendamping.

Keduanya memang perpaduan yang janggal, namun campuran itu justru membuat karya Leila terasa lebih enak ‘ditelan’ meski ia tengah mengangkat subjek yang suram. Kedua novel populer Leila, Pulang dan Laut Bercerita, memiliki benang merah moral yang sama: kecintaan kepada kemanusiaan dan kecintaan akan Tanah Air. 

Novel perdana karya mantan jurnalis ini, Pulang, adalah sebuah fiksi sejarah yang mengambil latar belakang era 1960-an, saat ideologi komunisme mulai berkembang di Indonesia. Kisah ini mengikuti jejak Dimas Suryo, seorang wartawan yang tengah bertugas di Cile ketika peristiwa G30S mengguncang Tanah Air.

Pulang, adalah sebuah fiksi sejarah yang mengambil latar belakang era 1960-an, saat ideologi komunisme mulai berkembang di Indonesia.

Alur cerita Pulang kemudian bertolak dari aftermath (dampak) peristiwa kelam tersebut terhadap kehidupan Dimas dan rekan-rekan sesama wartawan/penulis, yang di Indonesia diduga beraliran atau simpatisan komunisme. Kantor berita mereka digerebek dan ditutup. Editor mereka, Hananto, meski sempat melarikan diri dan bekerja di sebuah toko cetak foto, akhirnya ditangkap dan nasibnya tidak diketahui.

Dimas dan kawan-kawannya, Nugroho, Risjaf, dan Tjai, akhirnya menjadi eksil politik—orang-orang yang berada di luar negaranya atau tidak berkewarganegaraan, terutama setelah paspor mereka dicabut sehingga mereka tidak dapat pulang ke tanah kelahiran. Mereka harus membangun kehidupan baru di negara asing dengan melakukan pekerjaan serabutan. Dimas kemudian mengusulkan Prancis sebagai tempat tinggal baru.

Setibanya di Paris, tercetus ide untuk mendirikan sebuah restoran yang khusus menyajikan menu khas Indonesia. Dimas adalah seorang pecinta kuliner yang jago masak. Mereka kemudian sepakat untuk menamai restoran itu Restoran Tanah Air. Sebuah tempat yang pada akhirnya tak hanya memberikan mereka sumber pemasukan, tapi juga tempat yang tetap mengikat mereka ke Indonesia meski beralamat di benua berbeda. 

Porsi cerita kemudian beralih ke Lintang Utara, putri tunggal Dimas dan istrinya yang berkebangsaan Prancis, Vivienne. Lintang menjembatani Dimas dengan Indonesia, sementara Dimas telah tinggal di Paris selama 30 tahun, menjadikannya rumah kedua mereka.

Tumbuh dan besar di Paris, Lintang merasa asing dengan negara asal ayahnya, yang membuatnya sering mengalami krisis identitas. Namun, akhirnya ia terpaksa mengenalinya setelah disarankan oleh seorang dosen untuk membuat dokumenter tentang Indonesia, yang saat itu tengah mengalami krisis moneter dan demonstrasi mahasiswa sebagai subjek tugas akhirnya.

Tak inginkah kamu menjenguk kembali asal mula dirimu? Tak inginkah kau mengetahui apa yang membawa ayahmu dan kawan-kawannya terbang ke sini, ke sebuah negara yang nyaris tak memiliki hubungan historis dengan Indonesia?

Jurnalisme Sastrawi

Leila menulis Pulang dari tahun 2006 dan baru rampung pada 2012. Riwayat karier sebagai jurnalis (untuk majalah Tempo) jelas telah membuatnya cocok untuk menggarap cerita yang mengadopsi gaya jurnalisme sastrawi. Sesuai namanya, jurnalisme sastrawi, membalut topik jurnalistik dengan rangkaian prosa sastra. 

Leila menulis Pulang dari tahun 2006 dan baru rampung pada 2012.

Melalui riset mendalam yang diawali dengan keterlibatannya menulis untuk edisi khusus Tempo tentang Soeharto, Leila tampaknya melihat potensi cerita yang terkandung dalam kesaksian para narasumber yang ia temui. Seperti yang pernah ia utarakan dalam sebuah wawancara, berbagai tokoh dalam novelnya—termasuk Laut Bercerita—merupakan komposit antara kehidupan dan karakter orang-orang yang ia wawancarai. 

Dan, di antara keseriusan cerita, ia menyelipkan kisah persahabatan (antara Dimas dan sesama eksil politik) dan percintaan (Dimas-Vivienne, Lintang-Nara-Alam). Walau begitu, elemen roman yang sebetulnya integral pada cerita kadang cenderung repetitif dan memperlambat pergerakan cerita. Entah merupakan keputusan sadar atau tidak, baik Pulang dan Laut Bercerita, melibatkan tokoh utama foodie (pencinta kuliner) yang kemudian sama-sama bercinta di dapur.

Anehnya, racikan elemen kuliner dalam cerita ini terasa pas dan menyatu. Sang penulis memanfaatkan aspek ini untuk menebarkan aroma Nusantara yang membuat para tokoh utamanya merasa terikat dengan tanah kelahiran. Bahkan, seperti diutarakan Dimas, ada kesamaan antara meramu bumbu-bumbu makanan lezat dengan merangkai kata-kata puisi.

Buat saya, memasak sebuah hidangan sama seriusnya seperti menciptakan sebuah puisi. Setiap huruf berloncatan mencari jodoh membentuk kata. Demikian juga memasak. Ini bisa berjodoh dengan bawang putih, cabai merah, dan terasi. Tapi apakah salmon cocok dengan terasi? Saya ragu. Yang jelas mereka belum saling mengenal dan belum saling berdekatan atau saling bergairah.

Yang pasti, bab “Empat Pilar Tanah Air yang berkisah tentang awal berdirinya Restoran Tanah Air dan segala deskripsi tentang makanan buatan Dimas, bakal mengundang air liur para pecinta kuliner Indonesia. 

Struktur penceritaan Pulang cukup unik dengan sering melompat ke masa lalu untuk menjelaskan latar belakang karakter. Selain itu, novel ini juga menyisipkan bagian-bagian yang berbentuk surat (epistolary) untuk menggambarkan kondisi politik Indonesia pada masa tersebut.

Meskipun sebagian besar bab novel Pulang terpilah berdasarkan nama-nama tokoh dalam cerita: “Hananto Prawiro”, “Surti Anandari”, “Narayana Lafebvre”, “Vivienne Deveraux”, “Bimo Nugroho”, seluruh alur cerita tetap digerakkan oleh Dimas dan Lintang. Keduanya berbeda generasi, namun sama-sama menanggung beban dualitas dalam menjalani hidup. Dimas sebagai eksil yang merindukan pulang ke Indonesia, serta Lintang yang tumbuh-besar di Prancis dan tak mengenali Indonesia sama sekali. 

Indonesia, bagiku, adalah sebuah nama di atas peta. Ia hanya konsep. Pengetahuan yang konon mengalir di dalam tubuhku, berbagi kawasan dengan darah Prancis.

Pulang juga menjadi sebuah pelajaran sejarah yang mungkin tak pernah diajarkan di ruang kelas. Sebagai seorang eksil politik, Dimas tidak hanya diasingkan dan dicurigai oleh negara. Melalui kisah Lintang Utara, kita mengetahui bahwa pasca peristiwa G30S, Departemen Dalam Negeri mengeluarkan label “Bersih Diri” untuk para tahanan politik atau mereka yang diduga komunis, dan label “Bersih Lingkungan” untuk orang-orang yang memiliki hubungan dengan mereka, seperti anggota keluarga. Label-label ini, beserta inisial EP pada kartu identitas, membuat mereka sulit mendapatkan pekerjaan di sektor publik, seperti PNS, militer, atau guru.

Pulang juga menjadi sebuah pelajaran sejarah yang mungkin tak pernah diajarkan di ruang kelas.

Lintang, sebagai anak dari seorang eksil politik, juga terbebani oleh stigma tersebut. Hal inilah yang mendorongnya untuk mengunjungi tanah kelahiran ayahnya dan membuat film dokumenter tentang situasi menjelang lengsernya Soeharto.

Prosa Terbaik

Sebagai novel pertama, Leila Chudori membuktikan kepiawaiannya dalam memadukan elemen jurnalistik dan sastra. Keunggulan yang mungkin bisa menjadi niche bagi sang penulis. Novel lanjutannya, Laut Bercerita, yang bercerita tentang penculikan mahasiswa-mahasiswa yang terlibat demonstrasi ‘98tetap konsisten meracik formula serupa.

Novel Pulang sukses meraih penghargaan Prosa Terbaik Khatulistiwa Award 2013 dan dinyatakan sebagai satu dari 75 Notable Translations of 2016 oleh World Literature Today. Sejak diterbitkan, novel yang dicetak ulang sebanyak 28 kali ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Belanda, Jerman, dan Italia. 

Sastrawan senior, Goenawan Mohamad, memuji novel Pulang dengan mengatakan, “Pada akhirnya novel ini adalah cerita tentang generasi umur 20-an yang aktif untuk mengubah Indonesia ke sebuah masa depan.

Masa depan yang dalam angan sederhana sang tokoh utama Pulang kental dengan aroma cengkih dan melati. Bagi seorang eksil politik yang berpuluh-puluh tahun terasingkan dari tanah kelahiran, itu sudah menjadi alasan yang cukup untuk pulang.

Informasi Selengkapnya
  • Indonesia Kaya

  • Indonesia Kaya