Cari dengan kata kunci

Klappertaart

Mencicipi Akulturasi Belanda-Manado Lewat Klappertaart 

Harmonisasi rasa antara Belanda dan Manado yang tersaji pada kelezatan tar kelapa. Siapa yang mampu menolaknya?

Kuliner

Selain etnis Tionghoa dari daratan Cina, harus diakui bahwa pengaruh daratan Eropa juga punya kontribusi besar dalam membentuk wajah kuliner Indonesia. Hal tersebut memang tak bisa lepas dari jejak kolonialisme bangsa Eropa di Indonesia sejak abad ke-16 hingga paruh pertama abad ke-20.

Meski telah meninggalkan jejak penindasan dan sejarah kelam kemanusiaan di Nusantara, tak bisa dipungkiri, penjajahan juga menyisakan memori lain yang bisa dikenang dan dampak yang bisa dirasakan hingga kini.

Jejak itu juga tersirat pada klappertaart khas Manado. Kue dengan cita rasa manis dan gurih serta bertekstur lembut ini sangat cocok dinikmati dalam keadaan dingin. Ditemani kopi hitam, niscaya klappertaart bisa membuat hari semakin bermakna.

Kue dengan cita rasa manis dan gurih serta bertekstur lembut ini sangat cocok dinikmati dalam keadaan dingin.

Dari Wenang ke Manado

Tak banyak orang tahu bahwa sebelum maju dan berkembang besar seperti sekarang, wilayah Manado merupakan bagian dari Minahasa. Hingga 1947, wilayah tersebut masih menyatu dengan Minahasa. Melansir laman resmi Pemkot Manado, sebelum berubah menjadi Manado, daerah pesisir Sulawesi Utara ini bernama Wenang.

Menurut Prof. Geraldine Manoppo-Watupongoh, pergantian nama Wenang menjadi Manado terjadi pada 1682 oleh Spanyol. Nama “manado” diambil dari Pulau Manado (kini Manado Tua) yang terletak di sebelah Bunaken.

Namun, ada sumber lain yang menyebutkan bahwa pergantian nama Wenang menjadi Manado bukan dilakukan oleh Spanyol, tetapi oleh Belanda. Ketika pergantian nama terjadi pada 1682, wilayah Sulawesi Utara sudah dikuasai oleh VOC Belanda, dan bukan lagi oleh Spanyol. Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Ternate, Dr. Robertus Padtbrugge, mencatat keberadaan sisa-sisa penduduk Kerajaan Bowontehu (kini Manado Tua) termasuk yang ada di Sindulang pada 1677 hingga 31 Agustus 1682.

Nama “manado” mulai dikenal dan digunakan di dalam surat-surat resmi sejak 1623, sehingga Wenang kemudian diganti menjadi Manado untuk mencerminkan nama yang lebih dikenal. Kemudian, untuk mempertahankan nilai sejarah, kata “tua” ditambahkan di belakang kata “manado,” sehingga menjadi “Manado Tua” hingga saat ini.

Hasil Akulturasi dengan Budaya Belanda

Masyarakat Manado telah lama menjadi warga yang inklusif dan terbuka dengan budaya baru dari pendatang. Berdasarkan Laporan Indeks Kota Toleran (IKT) 2020, Manado bahkan berada di peringkat ketiga sebagai kota dengan indeks toleransi antar umat beragama terbaik di Indonesia.

Akulturasi budaya Manado juga terpampang pada salah satu cita rasa kuliner ciri khasnya, yakni klappertaart. Di balik cita rasa lezat klappertaart, tersimpan sejarah menarik. Namanya pun tak lepas dari perpaduan Bahasa Belanda, klapper, yang merujuk kepada kelapa dan taart yang berarti kue. Jadi, klappertaart adalah kue kelapa yang menggugah selera dengan aroma dan kenikmatan yang tiada duanya.

Akulturasi budaya Manado juga terpampang pada salah satu cita rasa kuliner ciri khasnya, yakni klappertaart.

Menurut Journal of Ethnic Foods Universitas Surya yang berjudul Klappertaart: An Indonesian-Dutch Influenced Traditional Food (2018), terkuak cerita menarik bagaimana kelapa yang melimpah di tanah Manado bsa menginspirasi wanita Belanda pada masa lalu. Dengan penuh kreativitas, mereka menciptakan kuliner istimewa berbahan dasar kelapa muda yang dimodifikasi dengan resep tar ala mereka.

Awalnya, klappertaart adalah hidangan eksklusif kalangan menengah atas Belanda yang hanya disajikan pada acara-acara istimewa. Eksklusivitas itu terbentuk lantaran bahan-bahan pembuat klappertaart yang mahal dan sulit didapat pada waktu itu, seperti susu, tepung terigu, raisin (anggur kering), rum, kacang kenari, kuning telur, dan tentu saja, daging kelapa muda yang lembut.

Namun, mencari bahan-bahan tersebut di Manado menjadi tantangan tersendiri pada masa pendudukan Belanda. Beberapa komponen seperti susu dan produk turunannya, harus diimpor dari daerah-daerah seperti Bandung, Malang, Boyolali, Pasuruan, dan Semarang, karena tidak tersedia di wilayah Manado.

Meski begitu, tekad untuk menghidangkan klappertaart tak terbendung, sehingga para wanita Belanda berjuang melampaui batas demi menghadirkan nikmatnya cita rasa klappertaart di tanah Manado yang kaya kelapa.

Dari mulut ke mulut, kelezatan klappertaart menyebar melalui penduduk asli Manado yang bekerja di keluarga-keluarga Belanda kelas menengah atas atau kaum aristokrat yang memiliki hubungan dekat dengan orang-orang Belanda, serta melalui buku-buku resep yang ditulis oleh wanita-wanita Belanda di Manado.

Menyajikan Klapertaart di Rumah

Kudapan mewah ini dapat dimasak dengan dua cara, yaitu dipanggang atau dikukus. Jika menginginkan klappertaart dengan tekstur padat, metode dipanggang bisa menjadi pilihan. Agar mudah dipotong dan dinikmati bersama-sama, klappertaart jenis ini biasa disajikan dalam loyang aluminium foil berukuran besar.

Namun, bagi yang menyukai klappertaart yang lembut, maka metode kukus dapat menjadi opsi yang tepat. Biasanya, klappertaart jenis ini disajikan dalam wadah aluminium foil berukuran kecil, sehingga dapat langsung dinikmati menggunakan sendok.

Tertarik menyajikan kue kelapa yang satu ini di rumah? Cek resep klappertaart yang bisa dibuat di rumah melalui pranala berikut. Selamat mencoba!

Informasi Selengkapnya
  • Indonesia Kaya

  • Indonesia Kaya

  • Cokro Handoyo, Chrisfella, dkk. 2018. Journal of Ethnic Foods
    Volume 5, Issue 2, June 2018, Pages 147-152. Klappertaart: an Indonesian–Dutch influenced traditional food. https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S2352618117301907. Diakses pada 24 Juli 2022, Pkl 14.51 WIB.

    https://manadokota.go.id/site/sejarah, diakses pada 24 Juli 2022. Pkl. 17.30 WIB

This will close in 10 seconds