Cari dengan kata kunci

Bubur manado

Bubur Manado, dari Ratapan Menjadi Warisan

Kuliner istimewa khas Manado yang berawal dari santapan rakyat jelata.

Kuliner

Sebagai negara dengan rekam jejak penjajahan, Nusantara terkenal akan kreativitas kulinernya yang luar biasa. Teristimewa pada santapan tinutuan. Makanan yang juga sering disebut sebagai bubur Manado ini erat kaitannya dengan simbol perjuangan dan semangat berbagi. Kini, tinutuan kerap dijadikan santapan istimewa dan dianggap sebagai warisan budaya masyarakat Manado, Sulawesi Utara.

Lahir dari Kesulitan Pangan

Sajian bubur merujuk pada campuran bahan padat dan cair dengan proporsi cairan yang lebih banyak. Dalam bidang kuliner, bubur adalah makanan yang dimasak dengan merebus bahan-bahannya hingga menjadi lunak dan berbentuk cair.

Konon, bubur telah ada di Tiongkok sejak zaman Kaisar Xuanyuan Huangdi. Pada 238 SM, dikisahkan bahwa sempat terjadi musim paceklik atau kelangkaan bahan makanan akibat kemarau berkepanjangan. Dalam situasi tersebut, kaisar mencari cara untuk mengolah makanan agar dapat memenuhi kebutuhan banyak orang.

Konon, bubur telah ada di Tiongkok sejak zaman Kaisar Xuanyuan Huangdi.

Kaisar mencoba menuangkan sup panas ke atas nasi hingga mengembang seperti bubur. Setelah itu, kaisar memerintahkan juru masaknya untuk merebus beras hingga menjadi bubur, sehingga rakyatnya mendapatkan makanan yang cukup.

Hal yang dulu dilakukan oleh leluhur, tetap dipertahankan sebagai strategi ketika banyak orang Tionghoa merantau ke berbagai daerah di Nusantara. Secara perlahan, masyarakat di kepulauan Nusantara mengolah bubur sesuai kondisi alam, tradisi, dan kepercayaan lokal.  Karena itulah, bubur di setiap daerah di Nusantara memiliki perbedaan.

Hampir seluruh wilayah di Indonesia memiliki kuliner bubur khasnya tersendiri. Jakarta memiliki bubur ase, Cirebon memiliki bubur ayam, Aceh mempunyai bubur kanji rumbi, Maluku memiliki bubur sagu ubi, sementara Kalimantan memiliki bubur pedas. Tentu saja, tak ketinggalan Sulawesi Utara yang mempunyai bubur Manado.

Santapan Rakyat Jelata

Seperti kebanyakan santapan Nusantara yang berasal dari kreativitas masyarakat dengan strata ekonomi terbelakang, tinutuan juga mempunyai sejarah serupa. Tinutuan lahir dari kreativitas masyarakat Minahasa yang hidup berdampingan dengan alam.

Pada waktu itu, beras adalah sumber karbohidrat yang mewah, karena harus dibeli untuk memilikinya. Beras lantas dicampur dengan bahan-bahan lain seperti ubi, jagung, dan sayur-sayuran yang berasal dari halaman sekitar rumah untuk dijadikan olahan bubur.

Pada waktu itu, beras adalah sumber karbohidrat yang mewah, karena harus dibeli untuk memilikinya.

Menurut Gabriele Weichart, seorang antropolog Jerman, pemilihan sayuran sebagai lauk untuk bubur di wilayah Minahasa merupakan hasil dari pandangan orang-orang di wilayah tersebut terhadap diri dan lingkungannya.

Orang-orang Minahasa menganggap dirinya sebagai bagian yang dekat dan terikat dengan alam, seperti halnya nenek moyang mereka. Mereka terbiasa menggunakan bahan makanan yang diperoleh secara langsung dari alam, seperti sayur-sayuran, jagung, beras, dan umbi-umbian.

Gabriele Weichart mencatat bahwa orang Minahasa meneruskan tradisi kuliner nenek moyangnya sebagai pemburu, pengumpul makanan, dan petani. Mereka juga tinggal di daerah pegunungan, sebagaimana tertulis di dalam jurnal Antropologi Indonesia No. 74 tahun 2004 yang berjudul Identitas Minahasa: Sebuah Praktik Kuliner.

Tinutuan Masuk ke Manado

Seiring pertambahan penduduk di Sulawesi Utara, kota Manado menjadi kian ramai. Orang-orang dari berbagai daerah di Sulawesi Utara datang ke kota ini dengan membawa kebiasaannya masing-masing dari pedalaman. Salah satunya adalah kebiasaan membuat tinutuan, dan inilah asal mula munculnya nama bubur Manado.

Dalam Minahasa di awal Perang Kemerdekaan, sejarawan R.Z. Leirissa menyoroti peran zending atau penyebar agama Kristen yang datang pada awal abad ke-19. Menurutnya, bubur Manado merupakan kreasi dari para zending.

Konon, karena makanan adalah salah satu cara untuk mempererat hubungan, maka para zending berusaha mencari resep makanan yang sesuai untuk disajikan kepada masyarakat setempat. Makanan tersebut tidak boleh melanggar kebiasaan lokal atau bertentangan dengan selera penduduk yang terbiasa dengan rasa pedas dari cabai. Oleh karena itu, para zending menciptakan bubur dengan rebusan sayuran dan cita rasa pedas.

Konon, karena makanan adalah salah satu cara untuk mempererat hubungan, maka para zending berusaha mencari resep makanan yang sesuai untuk disajikan kepada masyarakat setempat.

Tinutuan dibuat dengan cara mencampur beras dengan berbagai bumbu dan sayuran seperti kangkung, bayam, kacang panjang, daun kemangi, ubi merah, jagung pipil, dan daun gedi (berbentuk mirip daun pepaya tapi tidak memiliki rasa pahit) yang hanya dapat ditemukan di Manado.

Tinutuan umum dinikmati dengan hidangan pendamping seperti ikan tongkol atau ikan asin, yang disajikan dengan sambal bakasang atau dabu-dabu. Selain memiliki rasa yang lezat, bubur ini juga mengandung banyak nutrisi dan vitamin lantaran berbagai macam sayuran yang ada di dalamnya. Biasanya, orang Manado menikmati bubur ini selagi masih hangat dengan daun pisang sebagai alas.

Sekarang, bubur Manado dijual di berbagai sudut kota Manado. Jika sempat melancong ke Manado, jangan lupa untuk mencicipi kudapan asli Sulawesi Utara ini, ya. Namun kabar baiknya, membuat bubur Manado ternyata tak sesulit yang dibayangkan. Cek lebih lanjut langkah-langkah dan bahan yang diperlukan untuk menyajikan tinutuan lewat pranala berikut ini. Selamat mencoba!

Informasi Selengkapnya
  • Indonesia Kaya

  • Indonesia Kaya

  • Daftar Pustaka:

    LEIRISSA, R. Z.Minahasa Di Awal Perang Kemerdekaan Indonesia.1997

    Weichart, Gabriele. (2014). Identitas Minahasa: Sebuah Praktik Kuliner. Antropologi Indonesia. 10.7454/ai.v0i74.3510.

This will close in 10 seconds