Wajah mereka terlihat garang, dengan mata melotot dan tanpa senyuman. Bersenjatakan pedang dan tombak, mereka bergerak melompat, maju-mundur, dan mengayunkan senjata dengan sigap. Menyerupai prajurit yang tengah bertempur melawan musuh, aksi para penari Barong Bali ini tak jarang mengundang decak kagum dan teriakan “Arotei, okela” dari para penonton, yang berarti “Aduh, bukan main, astaga.”
Itulah kabasaran, tarian tradisional masyarakat Minahasa, Sulawesi Utara. Dahulu, tari kabasaran dibawakan oleh para penari laki-laki yang umumnya berprofesi sebagai petani atau penjaga keamanan desa-desa di Minahasa. Jika sewaktu-waktu wilayah mereka terancam atau diserang musuh, mereka akan meninggalkan pekerjaan dan berubah menjadi waranei atau prajurit perang.
Sesuai adat, penari kabasaran haruslah berasal dari keturunan leluhur para penari kabasaran terdahulu. Mereka pun mewarisi senjata pusaka yang telah diwariskan turun-temurun. Senjata pusaka inilah yang mereka gunakan saat menari.
Tarian kabasaran lahir dari situasi peperangan dan ancaman suku lain.
Kemunculan tarian kabasaran tidak dapat dipisahkan dari situasi peperangan berkepanjangan dan ancaman dari suku-suku lain di sekitarnya. Untuk mempertahankan diri, leluhur orang Minahasa berusaha memperkuat diri dengan merekrut orang-orang kuat dan berbadan besar yang dilatih berperang menggunakan pedang (santi) dan tombak (wengko).
Menurut Vivi Nansy Tumuju dalam Simbol Verbal dan Nonverbal Tarian Kabasaran dalam Budaya Minahasa di Jurnal Duta Budaya, No. 78-01 Tahun ke-48, Juni/Juli 2014, para ksatria yang tuama (bersifat maskulin dan berani) inilah yang menjadi militer pertama di Minahasa. Mereka bertugas sebagai penjaga desa (walak) dan harus selalu siap siaga menghadapi ancaman.
“Gerakan-gerakan para prajurit ketika mempersiapkan diri untuk berperang, seperti melompat, melompat maju menyerang, mundur atau menyamping untuk menghindari dan menangkis serangan musuh, disertai jeritan yang menakutkan, itulah yang disebut cakalele atau sakalele dalam Minahasa tua,” ungkap Vivi.
Tari kabasaran merupakan hasil penyederhanaan dari tari cakalele, yang pada mulanya merupakan tari perang dan pemujaan leluhur.
Tari kabasaran lahir dari tari cakalele. Menurut Sutisno Kutoyo dalam bukunya Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Sulawesi Utara, tari kabasaran merupakan hasil penyederhanaan dan penghalusan dari tari cakalele, yang pada mulanya merupakan tari perang dan pemujaan leluhur. Tari cakalele sendiri dianggap kurang ramah untuk menyambut tamu-tamu Belanda karena gerakannya yang kasar dan liar.
“Dengan menggunakan gerakan-gerakan quadrille yang diperkenalkan Spanyol, maka diciptakanlah tari kabasaran sebagai tarian untuk menyambut tamu-tamu Belanda,” catat Sutisno Kutoyo.
Istilah kabasaran sendiri merupakan perubahan dari kawasaran. Kawasaran berasal dari kata wasar yang artinya ayam jantan aduan yang sengaja dipotong jenggernya (sarang) agar lebih galak saat diadu. “Jadi, kabasaran berarti penari yang menari seperti gaya gerak dua ekor ayam yang sedang menyabung, atau identik dengan ayam aduan,” ungkap Jessy Wenas dalam Sejarah dan Kebudayaan Minahasa.
Dulu, setiap kampung memiliki beberapa penari kabasaran.
Dulu, setiap kampung memiliki beberapa penari kabasaran. Organisasi kabasaran ditangani oleh para “hukum tua” atau kepala kampung. Mereka mendapat tunjangan garam, beras, gula putih, kain, dan tembakau setiap bulan.
“Mereka bertugas melakukan penjemputan adat para tamu agung, upacara adat pemakaman pemimpin masyarakat, dan sebagai “polisi am” untuk menjaga keamanan kampung dan menangkap penjahat,” tambah Wenas.
Gerakan tari kabasaran yang energik dan dinamis melambangkan semangat juang para prajurit perang. Gerakan ini mengikuti irama alat musik pukul seperti gong, tambur, atau kolintang, dan dipimpin oleh seorang tombolu yang dipilih berdasarkan kesepakatan para sesepuh adat.
Gerakan tari kabasaran yang energik dan dinamis menggambarkan semangat juang prajurit.
“Penari yang terluka biasanya karena kesalahan sendiri, yang dalam hal ini si penari kurang menguasai sembilan jurus memotong dengan pedang dan sembilan jurus tusukan tombak,” ujar Wenas.
Tari kabasaran terbagi menjadi tiga babak, yang masing-masing terinspirasi dari tiga tarian dalam upacara adat berbeda. Babak pertama, cakalele, berasal dari tarian yang dilakukan sebelum dan setelah berperang. Babak kedua, kumoyak, terinspirasi dari tarian dalam upacara korban kepala manusia. Dan babak ketiga, lalaya’an, merupakan adaptasi dari tarian untuk menghilangkan panas jimat-jimat yang melekat di badan.
Masing-masing babak pada tari kabasaran memiliki gerakan yang khas dan berbeda. Babak pertama, “cakalele,” berasal dari kata “caka” yang berarti “bertarung” dan “lele” yang berarti “mengejar.” Pada babak ini, gerakan para penari melambangkan pertempuran sengit, di mana mereka berpura-pura saling menebas dengan pedang dan menusuk dengan tombak. Gerakan ini diiringi langkah kaki dengan irama 4/4 yang dinamis, sesuai dengan bunyi tambur.
Masing-masing babak pada tari kabasaran memiliki gerakan yang khas dan berbeda.
Kedua, kemoyak, berasal dari kata “koyak” yang berarti mengayunkan senjata. Kata “koyak” juga dapat diartikan membujuk roh musuh yang terbunuh dalam pertempuran agar tenang. Pada babak ini, para penari benar-benar memainkan senjata dengan gerakan mendorong maju. Tarian ini juga diiringi puisi yang dilantunkan seorang pemimpin tari dan disambut sorakan para prajurit.
Menurut Wenas, tari kabasaran pada mulanya merupakan tarian yang membawa kepala manusia sebagai simbol keberanian dan kegagahan para prajurit Minahasa. Dalam tarian ini, para penari kabasaran membentuk lingkaran dan menari mengelilingi kepala manusia yang diletakkan di tengah lingkaran sambil menyanyikan lagu Koyak e Waranei, sebuah lagu patriotik keprajuritan tradisional Minahasa.
Ketiga, ada tarian lalaya’an di mana penari meletakkan senjata tajam sambil menari lionda dengan penuh senyuman. Lionda, menurut Wenas, berarti meletakkan tangan di pinggang dan berdiri dengan satu kaki terangkat. Berbeda dengan babak-babak sebelumnya, pada tarian ini para penari menanggalkan ekspresi serius dan tampang sangar. Mereka dapat menari sambil tersenyum, sebagai simbol pembebasan rasa amarah setelah selesai berperang.
Kostumnya terbuat dari kain tenun khas Minahasa, yang didominasi warna merah.
Kostum para penari kabasaran tak kalah menarik. Kostumnya terbuat dari kain tenun khas Minahasa, yang didominasi warna merah. Para penari juga memakai topi bulu ayam atau bulu burung cenderawasih, kalung, gelang, dan aksesori lainnya.
“Dahulu, pakaian penari sama dengan penari cakalele, tapi sekarang pakaian bebas asalkan berwarna merah,” catat Sutisno Kutoyo.
Tari kabasaran lestari hingga saat ini. Beberapa kelompok tari yang masih merawat kesenian tradisional ini terdapat di sejumlah wilayah di Minahasa seperti Tombulu (Desa Kali, Desa Warembungan, Kota Tomohon), Tonsea (Desa Sawangan), Kota Tondano, dan Tontembuan (Desa Tareran).
Tari kabasaran juga kerap ditampilkan dalam acara penyambutan tamu, kenaikan pangkat pejabat di wilayah Sulawesi Utara, upacara adat pernikahan, dan kegiatan sosial lainnya. Bahkan, tarian ini juga pernah ikut membuka pesta olahraga Asian Games 2018 di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta.