Sagu adalah makanan khas Indonesia timur yang berasal dari tepung dan berasal dari batang pohon Sagu. Makanan karbohidrat ini mempunyai fungsi yang sama dengan nasi atau gandum yang menjadi makanan pokok Indonesia secara umum. Keberadaan sagu begitu penting bagi masyarakat Papua, termasuk suku Asmat yang mendiami wilayah pesisir selatan pulau Papua. Makanan ini seperti sumber kehidupan bagi sebagian besar warga dan sangat dibutuhkan dalam menunjang kehidupan harian mereka. Karena hal inilah, maka masyarakat Asmat pun mempunyai sebuah ritual yang berkaitan dengan keberadaan sagu sebagai makanan pokok mereka.
Para wanita Asmat pun mulai merias wajah mereka dengan cat putih yang mereka buat dari zat kapur cangkang kerang sungai. Mereka mulai membuat lukisan-lukisan unik di wajah dan membiarkannya menutupi hampir seluruh permukaan kulit. Hiasan kepala yang berupa mahkota bulu burung kasuari pun mulai dipakai oleh beberapa orang wanita. Memang sebagian besar mereka masih memakai kaos dan celana pendek modern sebagai pakaian, namun ada beberapa dari mereka yang akhirnya melepaskan bajunya dan bertelanjang dada. Para wanita ini sedang mempersiapkan sebuah ritual yang berkenaan dengan pengucapan syukur Tarian Pesta Ulat Sagu.
Tarian Pesta Ulat Sagu adalah sebuah hasil olah rasa suku Asmat yang bermakna pengucapan syukur atas limpahan berkat Tuhan terhadap hasil panen sagu mereka. Biasanya suku Asmat melakukan tarian ini ketika sebelum dan sesudah masa panen tiba. Hal ini mereka lakukan karena mereka percaya tarian ini dapat menyenangkan hati Tuhan. Kesenian ini merupakan tradisi yang diturunkan antar generasi dan menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat Asmat. Tarian ini adalah tarian wajib yang harus dikenal dan hanya bisa ditarikan oleh para wanita Asmat. Tarian ini harus dilakukan oleh wanita karena bagi masyarakat Asmat yang bekerja menanam dan mencari bahan makanan adalah kaum wanita. Sedangkan, kaum pria umumnya berburu dan membuat ukiran kayu saja.
Para wanita Asmat telah berbaris rapih dan mengambil tempat di pelataran Jew kira-kira 50-60 orang. Kaum pria berada di sekitar mereka dan mengambil bagian dalam permainan tifa untuk mengiringi tarian. Sebagian lagi duduk di sekeliling Jew dan menyaksikan para wanita mulai menari. Awalnya, beberapa tetua suku yang bermain tifa mulai meneriakkan sebuah yel-yel penyemangat yang diikuti tanggapan para wanita penari. Tifa pun mulai dibunyikan membentuk sebuah tempo yang memberikan kesan mistis dalam tarian. Suasana ruangan Jew pun mulai terbentuk senyap dan tarian pun dimulai.
Pinggul para penari mulai digoyangkan ke kanan dan kiri tentu saja dengan lantunan syair lagu mereka yang secara umum berisi ucapan syukur atas berkat Tuhan. Penari terbagi menjadi dua kelompok besar dan saling berhadapan. Mereka mulai bergerak maju sambil setengah jongkok menggoyangkan pinggul mereka. Gerakan ini terus mereka lakukan hingga 2 kelompok besar ini bertukar tempat dan irama tifa mendadak berhenti. Salah satu pemain tifa mulai melantunkan syair pengucapan syukur yang diikuti kembali oleh teriakan para penari. Tarian pun berlanjut lagi seperti dan diulang beberapa kali sampai akhirnya selesai sebanyak 5 pengulangan. Banyaknya pengulangan tergantung pemimpin tarian yang memegang kendali pengucapan syukur. Tarian yang biasa ditampilkan dalam pesta adat Panen Sagu ini benar-benar menunjukkan pesonanya.
Salah satu tarian khas Asmat ini memang memiliki daya tarik magis tersendiri. Berbeda dengan tarian lain yang umumnya bercerita tentang perang atau perkawinan, Tarian Pesta Ulat Sagu adalah sebuah pengucapan syukur atas berkat Tuhan dan suku Asmat membuatnya terasa sangat sakral. Tarian ini tidak saja menjadi sebuah tradisi budaya suku Asmat, melainkan juga merupakan aset kekayaan Bangsa Indonesia khususnya warga Papua di hadapan masyarakat dunia. Tarian ini adalah sebuah kearifan lokal yang perlu untuk dipelajari untuk lebih lagi mengenal nilai-nilai luhur Asmat yang secara positif dapat diterapkan di dalam kehidupan. [@phosphone/IndonesiaKaya]