Namaku Hiroko, Buku Karya Nh. Dini - Indonesia Kaya

Cari dengan kata kunci

Buku Namaku Hiroko

Namaku Hiroko, Buku Karya Nh. Dini

Satu lagi novel Indonesia klasik persembahan Nh. Dini yang dibalut tema feminis.

Kesenian

Dari deretan novelis senior Indonesia ternama, nama penulis novel Namaku Hiroko, Nh. Dini tampil mencuat pada urutan paling atas. Tak hanya karena gaya penulisan yang apik, tapi juga karena pilihan cerita dan tema yang kuat akan elemen feminis. Ketua Umum Persatuan Penulis Indonesia, Nasir Tamara, bahkan pernah berujar, “Di zaman itu, kita punya penulis hebat, Pramoedya Ananta Toer dan Nh. Dini.”

Tak hanya karena gaya penulisan yang apik, tapi juga karena pilihan cerita dan tema yang kuat akan elemen feminis.

Penulis yang bernama asli Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin ini melejit setelah menerbitkan novel pertamanya, Pada Sebuah Kapal (1972), sebuah roman sederhana yang cukup kontroversial lantaran berkisah tentang perselingkuhan seorang perempuan yang terdorong oleh pernikahannya yang tidak bahagia. Novel tersebut menggebrak tabu dan menciptakan prototipe tentang karakter perempuan modern Indonesia yang berani menuruti perasaannya. 

Label kontroversial kembali melekat dalam novel keduanya yang berlatar di Jepang, Namaku Hiroko. Novel terbitan Gramedia Pustaka Utama di tahun 1977 yang masih beredar sampai sekarang ini, bahkan sempat tidak dianjurkan bagi siswa sekolah menengah untuk membacanya. Lantas, apa yang menjadi isu dalam novel ini?

Hidup Gadis Desa di Kota

Namaku Hiroko berkisah tentang seorang gadis yang berasal dari desa kecil. Ayah dan ibu tirinya bekerja sebagai petani, dan ia memiliki dua adik yang selalu ada maunya. Keluarga Hiroko sangat sederhana. Setiap hari, mereka melakukan rutinitas yang sama. Hiroko sendiri adalah gadis berwajah bulat yang pemalu dan tak memiliki angan-angan tentang apapun.

Namaku Hiroko berkisah tentang seorang gadis yang berasal dari desa kecil.

Sampai akhirnya, suatu hari ia bertemu dengan teman lamanya di sekolah, Tomiko, yang mengajaknya untuk bekerja di kota. Sesuatu yang tak pernah terlintas di benaknya, tapi ia pun penasaran. Setelah dapat restu dari kedua orangtuanya, Hiroko kemudian hijrah ke kota dan bekerja sebagai pembantu rumah tangga di sebuah keluarga pasangan Jepang. 

Pergaulan Hiroko dengan Tomiko dan sesama pembantu lainnya di onsen (kolam air panas), membuatnya kerasan. Mereka tak hanya bergosip tentang apa yang terjadi di rumah tempat mereka bekerja, tapi juga tentang hubungan seksual mereka dengan pria—yang terkadang melibatkan uang. 

Kepolosan Hiroko perlahan pudar setelah ia merasakan kenikmatan seksual. Pertama, dari adik nyonya rumah yang gagah dan rupawan. Kedua, dari tuannya sendiri, yang memang telah menunjukkan ketertarikannya pada Hiroko semenjak ia tiba di rumah itu. Hiroko, yang kini tak lagi malu-malu, lalu memutuskan untuk pindah kerja menjadi pegawai toko baju. Awalnya ia hanya bertugas sebagai pengarah tamu, namun setelahnya ia mendapat promosi menjadi model baju di toko. Tak puas dengan uang yang diterima dari toko, ia pun menyambi menjadi seorang penari telanjang pada malam hari. 

Di luar pekerjaan, Hiroko menambatkan cinta kepada Yoshida, seorang pria yang sudah beristri, dan ia pun tak sungkan untuk menjadi wanita simpanan. Ia bahkan melahirkan dua anak laki-laki dari kisah cinta ini. 

Sexual Awakening

Mengikuti cerita Namaku Hiroko, pembaca akan tak terhindar dari firasat tentang alur cerita yang beralih tragis. Apalagi tokoh utamanya adalah seorang gadis desa polos yang pindah ke kota untuk mengubah peruntungan. Dan kekhawatiran tersebut kian mengusik saat sang tuan rumah, meski istrinya tengah hamil anak kedua, memanfaatkan Hiroko untuk memuaskan kebutuhan seksualnya. 

Namun, terjadilah hal tak terduga. Momen tersebut malah menjadi titik sexual awakening Hiroko. Kendati merana karena menjalin hubungan seksual dengan seorang pria yang tidak ia sukai, tak bisa dimungkiri, Hiroko malah menyukai hubungan seksual tersebut. “Aku terbawa oleh naluri nafsu binatang yang tak dapat kutahan. Seperti kehausan, air keruh pun dapat menggembirakan untuk memuaskan kering tenggorokan,” ucapnya. Sejak saat itu, Hiroko juga tak lagi memandang seks sebagai perwujudan kasih sayang antar pasangan yang saling cinta, melainkan sebagai transaksi. Lantaran tak dapat timbal-balik dari hubungan tersebut, Hiroko akhirnya memutuskan untuk berhenti kerja. 

Sejak saat itu, Hiroko juga tak lagi memandang seks sebagai perwujudan kasih sayang antar pasangan yang saling cinta, melainkan sebagai transaksi.

Menyematkan label wanita nakal kepada Hiroko, yang kini tak lagi polos dan pemalu, memang mudah. Sekarang, ia adalah seorang wanita yang percaya diri, sadar akan apa yang ia mau dari hidup, dan menikmati seks. Lalu, apakah pembaca akan melabelkan hal yang sama apabila Hiroko adalah seorang lelaki?

Bukan hanya mampu memilih kosakata yang gamblang dan peka, N.H. Dini juga mahir menciptakan momen-momen spesifik yang menjadi titik perubahan pada kepribadian Hiroko. Ketika ia menjadi model di gerai make-up, Hiroko terpana akan apa yang ia lihat di cermin, “Yang kudapati dalam kaca semula tidak kukenal. Mungkinkah aku secantik ini? Pengalaman hari itu membuka mataku. Seorang wanita berwajah biasa bisa menarik, asalkan tahu menempatkan tambahan ramuan kecantikan. Sejak aku disuruh menjadi model, aku mengenal corak dan garis wajahku yang harus kusempurnakan, yang selama itu kumasabodohkan.”

Bagi seorang wanita yang berasal dari keluarga miskin, hal ini mungkin menjadi satu-satunya cara untuk mendapatkan penghidupan layak, meski cara itu terbilang instan. Alih-alih memandang diri sebagai korban, perempuan seperti Hiroko justru memilih untuk memegang kendali atas segala tantangan yang ada di dalam hidup, terutama dari pria-pria berengsek dan cabul. Meski N.H. Dini tak menyebut demikian, namun Namaku Hiroko adalah novel yang berlandaskan ide feminis. 

Tak hanya itu, novel ini juga mengedepankan satu lagi tema yang tetap relevan hingga saat ini—betapa hiruk-pikuk kehidupan kota mampu mengorupsi karakter manusia. Tergambar jelas mengenai kesederhanaan Hiroko pada awal cerita, yang kemudian beralih menjadi hamba uang yang senantiasa berburu pekerjaan dengan upah besar. Sentimen itu terungkap pada satu kalimat yang memorable, yaitu “Memandangi gunung di kejauhan yang pertama menyambut kehadirannya di kota kini dihuni oleh bangunan beton dan cerobong-cerobong besi, Hiroko berkata, kota telah mendesak keluar, hingga suatu saat nanti tidak akan bisa ditemukan warna hijau daunan yang segar.”

“Memandangi gunung di kejauhan yang pertama menyambut kehadirannya di kota kini dihuni oleh bangunan beton dan cerobong-cerobong besi, Hiroko berkata, kota telah mendesak keluar, hingga suatu saat nanti tidak akan bisa ditemukan warna hijau daunan yang segar.”

Tokoh Perempuan Kompleks

Sama seperti Pada Sebuah Kapal, unsur autobiografis juga muncul di dalam novel Namaku Hiroko iniTak heran, sang penulis bersama mantan suaminya sempat tinggal di Jepang dan kehidupan tokoh-tokoh di dalam novel diambil dari pengalaman hidupnya di sana. Nama Hiroko sendiri ia pinjam dari nama kepala pelayan di rumah yang ia tinggali.

Namaku Hiroko memang tergolong novel dengan tema dewasa, namun bukan berarti tak memiliki makna mendalam. Sebuah cerita tak melulu mesti memiliki pesan moral—yang di tangan pengarang lain bisa terkesan menggurui. Namun, keunggulan Nh. Dini terbukti melalui novel ini. Ia tak terkesan menggurui apalagi menghakimi, dan memilih untuk lebih fokus pada penciptaan karakter perempuan yang kompleks. 

Pada Namaku Hiroko, Nh. Dini kembali berhasil menciptakan karakter perempuan yang kuat dan tetap simpatik kendati dihadapkan pada pilihan hidup yang tak selaras dengan norma masyarakat yang berbasis patriarki. Di akhir cerita, seorang perempuan mampu menatap tajam lawan bicaranya dengan percaya diri dan memperkenalkan diri, “Namaku Hiroko.” 

Di akhir cerita, seorang perempuan mampu menatap tajam lawan bicaranya dengan percaya diri dan memperkenalkan diri, “Namaku Hiroko.”