Cari dengan kata kunci

makam_tebing_ie_1290

Menyusuri Bukit Batu Lemo, Kuburan Alam Suku Toraja

Bagi masyarakat Toraja, kematian tidak hanya tentang perginya seseorang. Perlu adanya upacara kepergian yang sakral.

Tradisi

Tebing batu itu terasa lain. Ia seolah memancarkan aura seram yang sulit dijelaskan. Tingginya bisa mencapai puluhan meter, dengan warna gelap yang pekat dan kokoh menjulang di daerah perbukitan. Di sekitarnya terlihat hamparan sawah, yang pada musim tertentu menampakkan keasriannya. Amat kontras dengan tebing hitam di atasnya.

Jika dilihat dari kejauhan, tebing granit hitam itu memiliki lubang-lubang yang menutupi seluruh bagian tebing. Ukurannya juga beragam. Untuk menjangkaunya, para pengunjung harus turun melewati tangga dari puncak tebing. Di sepanjang jalan turun, berdiri kios-kios suvenir yang menjajakan pernak-pernik khas daerah setempat.

Tebing itu bukan tebing granit biasa. Tempat itu adalah kuburan batu Toraja. Dan lubang-lubang di dalam tebing diisi oleh jenazah manusia. Tradisi pemakaman ini merupakan bagian dari adat istiadat masyarakat Toraja.

Suku Toraja percaya bahwa kematian adalah sebuah proses bertahap menuju dunia arwah.

“Suku Toraja percaya bahwa kematian bukanlah sesuatu yang datang dengan tiba-tiba, tetapi sebuah proses bertahap menuju Puya (dunia arwah atau akhirat),” tulis Fajar Nugroho dalam Kebudayaan Masyarakat Toraja.

Untuk itulah masyarakat Toraja menggelar upacara pemakaman yang dikenal dengan istilah rambu solo. Upacara ini dilandasi kepercayaan dan keyakinan kepada leluhur atau disebut Aluk Todolo. Tujuannya untuk menghormati dan menghantarkan arwah orang yang meninggal dunia ke alam roh. Keluarga yang ditinggal mati akan membuat pesta sebagai penghormatan terakhir kepada mendiang.

Upacara Rambu Solo bertujuan untuk menghantarkan arwah orang yang meninggal dunia ke alam roh.

Menurut Roni Ismail dalam Ritual Kematian dalam Agama Asli Toraja ‘Aluk To Dolo’: Studi atas Upacara Kematian Rambu Solo, jurnal Religi Vol. 15 No. 1, 2019, masyarakat Toraja percaya bahwa orang yang sudah meninggal dunia akan tetap ada di dunia manusia hidup jika tidak dilepas dengan upacara rambu solo.

“Apabila upacara kematian belum dilaksanakan, maka orang yang meninggal tersebut hanya dianggap sebagai orang sakit atau lemah, dan jasadnya pun tetap diperlakukan seperti halnya orang hidup seperti dibaringkan di tempat tidur, diberi hidangan makanan dan minuman, dan bahkan selalu diajak berbicara oleh anggota keluarga,” tulis Roni.

Upacara ini sering diadakan beberapa bulan bahkan sampai bertahun-tahun setelah meninggalnya seseorang.

Upacara pemakaman bisa menelan banyak biaya dan dilangsungkan selama berhari-hari. Tak heran jika upacara ini seringkali diadakan beberapa bulan bahkan sampai bertahun-tahun setelah meninggalnya seseorang sampai keluarga siap dan punya cukup dana.

Setelah upacara rambu solo, jenazah akan diarak dan diantar ke lakkian (kompleks pemakaman) yang terletak di dinding tebing. Tak hanya pihak keluarga, seluruh masyarakat akan turut berjalan mengantarkan jenazah sampai ke lakkian.

Di seluruh provinsi Sulawesi Selatan tersebar tempat-tempat pemakaman tebing leluhur masyarakat Toraja. Salah satunya adalah Bukit Batu Lemo di Kelurahan Lemo, Kecamatan Makale Utara, Kabupaten Tana Toraja, Provinsi Sulawesi Selatan. Dinamakan lemo karena liang batu ini menyerupai buah limau berbintik-bintik.

Lemo memiliki 75 liang batu kuno yang merupakan kuburan satu keluarga.

Lemo memiliki 75 liang batu kuno atau dalam bahasa setempat disebut liang paa’, dan tiap-tiap liang merupakan kuburan satu keluarga. Dari luar, kuburan-kuburan ini terlihat lubangnya saja, ditutupi papan kayu. Ukuran lubang cukup besar, sekitar 3 meter kali 5 meter. Sementara tingginya mencapai belasan meter dari permukaan tanah.

Jenazah dimasukkan ke dalam liang dengan menggunakan tangga atau ditarik dengan tali. Proses pembuatan liang termasuk lama dan sulit karena bukit batu itu harus dipahat dengan tangan. Pembuatan satu lubang bisa memakan biaya yang mahal, dengan lama pengerjaan enam bulan sampai satu tahun. Tidak heran jika pemakaman di Toraja bisa tertunda selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun sejak kematian yang bersangkutan.

Kuburan batu Toraja dihias dengan tau-tau, yang merupakan patung personifikasi dari orang yang telah meninggal.

Kuburan batu Toraja dihias dengan deretan tau-tau (patung) sebagai personifikasi orang yang telah meninggal sekaligus lambang prestise dan status sosial yang bersangkutan. Syarat untuk membuat tau-tau adalah harus menyembelih kerbau sebanyak 24 ekor. Badan patung terbuat dari bambu atau kayu nangka, matanya dari tulang dan tanduk kerbau.

Menurut Hendrik van Der Veen dalam The Sa’dan Toradja Chant for The Deceased, tau-tau atau tatau bisa dibuat dari tiang bambu yang diikat jadi satu dan dibalut dengan kain–penggunaan kayu nangka diduga berasal dari masa kemudian. Mukanya juga terbuat dari kain. Tau-tau dikenakan pakaian yang indah dan dihiasi dengan ornamen. Ia diletakkan di atas lumbung padi dan ketika jenazah dibawa ke tempat pesta, tau-tau ikut dengannya.

Setelah jenazah dikuburkan di kuburan batu, ornamennya dilucuti dan tau-tau ditempatkan di ceruk dekat pagar pelindung di depannya. “Ketika ritual untuk almarhum telah selesai dan ketika jiwanya telah pergi ke Tanah Jiwa, rohnya dimanifestasikan dalam tau-tau,” sebut van Der Veen.

Selama pembuatan patung, pemahat akan tidur di dekat rumah Almarhum terbaring.

Sementara Hetty Nooy-Palm dalam The Sa’dan-Toraja: A Study of Their Social Life and Religion menyebut tau-tau dibuat sebelum tahap kedua dalam ritual pemakaman dimulai. Selama pembuatan patung, pemahat akan tidur di dekat (atau bahkan di bawah) rumah Almarhum terbaring. Pengerjaan patung juga dilakukan di sekitar rumah, bahkan mungkin di lantai tiang pagar di seberang tongkonan (rumah adat orang Toraja).

Setelah selesai dibuat, tau-tau ditempatkan di samping orang yang meninggal. Sama seperti Almarhum, tau-tau diberi makanan (sesaji). Ia tetap berada di sekitar jenazah saat pemotongan kerbau. Ia kemudian ditempatkan di depan kuburan (atau di atasnya) untuk tetap menghidupkan ingatan leluhur “masa lalu.”

“Setiap beberapa tahun sekali, pakaiannya diganti, biasanya sebelum penguburan orang baru terjadi,” jelas Hetty Nooy-Palm.

Lama penyimpanan jenazah di dalam bukit beragam. Ada yang hanya beberapa bulan, ada pula yang sampai puluhan tahun. Kondisi itu disesuaikan dengan kemampuan ekonomi setiap keluarga.

Lama penyimpanan jenazah di dalam bukit beragam, bisa beberapa bulan hingga puluhan tahun.

Kuburan Batu Lemo merupakan kuburan tertua nomor dua di Toraja setelah Songgi Patalo. Kuburan ini dibuat sekitar abad ke-16. Untuk mencapai tempat ini, pegunjung bisa melalui Rantepao, Toraja Utara, sejauh 12 kilometer ke arah selatan. Atau bisa juga melalui Makale sejauh enam kilometer ke utara. Di pinggir jalan utama penghubung Makale-Rantepao akan ditemukan papan petunjuk menuju Tebing Lemo.

Informasi Selengkapnya
  • Indonesia Kaya

  • Tim Indonesia Exploride

  • Fajar Nugraha. Kebudayaan Masyarakat Toraja. Surabaya: JP Books. 2015.
    Hendrik van Der Veen. The Sa’dan Toradja Chant for The Deceased. ‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1966.
    Hetty Nooy-Palm. The Sa’dan-Toraja: A Study of Their Social Life and Religion. Leiden: Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde, 1979.
    Roni Ismail. “Ritual Kematian dalam Agama Asli Toraja ‘Aluk To Dolo’ (Studi Atas Upacara Kematian Rambu Solok), jurnal Religi Vol. 15 No. 1, 2019.

This will close in 10 seconds