Sebagai bagian dari kekayaan budaya Sunda, gelung Ciwidey merupakan gaya rambut khas perempuan Sunda yang sarat makna. Berasal dari wilayah Jawa Barat, gelung Ciwidey mencerminkan nilai-nilai luhur masyarakat Sunda yang menjunjung tinggi keindahan alami dan keselarasan dengan alam. Gelung (sanggul) ini sering dipakai dalam berbagai upacara adat atau acara penting, melambangkan keanggunan dan kesederhanaan wanita Sunda serta menjadi simbol kearifan lokal.
Sanggul Ciwidey melambangkan keanggunan dan kesederhanaan wanita Sunda, sekaligus menjadi simbol kearifan lokal yang menjunjung tinggi keindahan alami dan keselarasan dengan alam.
Ciwidey, sebuah kota di selatan Bandung, telah menjadi nama yang identik dengan gaya sanggul tradisional ini. Pada masa kejayaan Kerajaan Sumedang, gelung ini dikenal sebagai sanggul Pasundan atau sanggul Kesundaan, yang populer di kalangan bangsawan maupun rakyat biasa. Meskipun telah berusia ratusan tahun, tradisi mengenakan gelung Ciwidey masih lestari hingga kini, terutama di wilayah Jawa Barat sejak tahun 1947.
Perpaduan Religi dan Budaya
Dilihat dari bentuknya, gelung ini banyak dipengaruhi oleh agama Islam yang dianut mayoritas masyarakat Sunda. Gelung Ciwidey membentuk huruf Arab, yaitu alif dan nun, yang dalam istilah Sunda disebut ‘alif pakait sareng nun’ (alif berkait dengan nun). Huruf alif yang lurus melambangkan ketegasan dan sikap konsekuen. Ketika membaca kitab suci Al-Qur’an, huruf nun mati yang bertemu alif dibaca dengan jelas dan pendek, dengan suara yang tegas, tidak samar, dan tidak mendengung. Dengan demikian, pertemuan antara alif dan nun dalam sanggul Ciwidey tidak hanya sekadar bentuk, tetapi juga menggambarkan sikap yang tegas dan lantang, terutama dalam mengutarakan kebenaran.
Gelung Ciwidey membentuk huruf Arab, yaitu alif dan nun, yang dalam istilah Sunda disebut ‘alif pakait sareng nun’ (alif berkait dengan nun).
Sanggul Ciwidey terletak di bagian belakang kepala dan memiliki bentuk agak bulat, dengan bagian bawahnya tidak menyentuh leher. Di kedua sisi sanggul, digunakan jabing, yang dalam bahasa Jawa disebut sunggar.
Tahapan Pembuatan Gelung Ciwidey
Proses pembuatan gelung Ciwidey dimulai dengan membagi rambut kering menjadi dua bagian, yaitu bagian depan dan belakang. Bagian depan disasak dan dibentuk menjadi jabing yang bulat. Sementara itu, rambut bagian belakang diikat setinggi 5-7 jari dari batas pertumbuhan rambut (hairline) dan ditambahkan cemara rambut sepanjang 90-100 cm, kemudian disatukan dengan rambut asli. Setelah itu, pilin dan sisir hingga tampak rapi.
Letakkan tangan kiri di bawah rambut bagian belakang, kemudian putar rambut menggunakan tangan kanan. Putaran rambut hanya dilakukan pada bagian belakang kepala, mengikuti hairline. Setelah semua rambut terputar, tekan tangan kiri pada pangkal rambut untuk membuat bagian atas sanggul mencuat. Sisi-sisi rambut yang terputar akan secara alami mengikat bagian tengah rambut. Terakhir, selipkan sisa rambut yang belum terikat di belakang sanggul.
Setelah itu, rapikan sanggul dengan menariknya perlahan, sehingga sisi kiri dan kanan rambut terlihat jelas dari depan melalui leher. Atur bagian atas sanggul agar sejajar dengan sunggar atau sasakan bagian atas. Terakhir, tambahkan hiasan cucuk gelung pada sisi kanan dan kiri sanggul bagian tengah untuk memberikan sentuhan akhir yang anggun.
Gelung Ciwidey akan semakin lengkap dengan adanya cucuk gelung atau tusuk konde di bagian sampingnya.
Gelung Ciwidey akan semakin lengkap dengan adanya cucuk gelung atau tusuk konde di bagian sampingnya. Cucuk gelung ini biasanya terbuat dari bahan yang beragam, seperti tanduk binatang, emas, atau perak. Pilihan bahan ini sering kali mencerminkan status sosial pemakainya. Dahulu, golongan ningrat lebih menyukai cucuk gelung berbahan emas, sementara masyarakat biasa lebih memilih bahan yang lebih sederhana seperti tanduk atau imitasi logam.
Perpaduan unik antara nilai-nilai religius dan kearifan lokal dalam gelung Ciwidey membuatnya begitu istimewa. Popularitasnya yang tak lekang oleh waktu membuktikan bahwa tradisi ini masih relevan dan dihargai hingga kini.