Memaknai Kebahagiaan dan Harapan melalui Lampion - Indonesia Kaya

Cari dengan kata kunci

lampion_12001.jpg

Memaknai Kebahagiaan dan Harapan melalui Lampion

Kerap menerangi malam perayaan Imlek, lampion tidak lagi menjadi alat ritual semata.

Tradisi

Sore itu, suasana Klenteng Sam Poo Kong terasa berbeda. Nuansa serba merah mendominasi seluruh bagian kompleks peribadatan agama Buddha tersebut. Warnanya begitu kontras dengan langit jingga Kota Semarang, Jawa Tengah.

Berbagai ornamen khas Imlek menghiasi seluruh bagian salah satu kelenteng tertua dan terbesar di Indonesia tersebut. Tak terkecuali lampion, yang sejauh mata memandang bergelantungan di tali-tali di sepanjang jalan sekitar klenteng. Cahayanya memberikan terang kala malam tiba dan menambah semarak perayaan Tahun Baru Imlek.

Di kelenteng-kelenteng, lampion biasa menyala hingga 15 hari setelah Tahun Baru Imlek.

Di kelenteng-kelenteng, lampion biasanya menyala hingga 15 hari setelah Tahun Baru Imlek. Lampion dari donatur akan diberikan nama berdasarkan yang menyumbang lampion tersebut. Pada lampion tersebut bisa digantungkan harapan dan doa. Namun sebelum digantung, lampion tersebut terlebih dahulu didoakan di kelenteng.

Imlek merupakan perayaan terpenting bagi orang Tionghoa. Perayaan ini dimulai dari hari pertama dan bulan pertama pada penanggalan Tionghoa dan berakhir dengan Cap Go Meh di tanggal ke-15 atau saat bulan purnama.

Keberadaan lampion memang tidak dapat dipisahkan dari tradisi masyarakat Tionghoa. Lampion menjadi semacam atribut budaya yang menandai peralihan tahun dalam penanggalan Tionghoa. Imlek terasa kurang meriah tanpa kehadiran lampion yang menghiasi sudut-sudut jalan, kelenteng, dan rumah-rumah warga Tionghoa. Bagi beberapa orang, lampion juga dimaknai sebagai simbol status sosial. Semakin mewah dan bagus lampion menandakan “si pemilik” berasal dari kalangan atas.

Lampion menjadi semacam atribut budaya yang menandai peralihan tahun dalam penanggalan Tionghoa.

Menurut Yanti Azmah Ulya dalam Makna Lampion Merah dalam Kebudayaan Cina di Jakarta, skripsi pada Program Studi Sastra Cina Universitas Indonesia tahun 2013, kata lampion dalam bahasa Mandarin disebut denglong, yang bermakna “menerangi.” Warna merah pada lampion melambangkan kemakmuran, kesatuan, dan rezeki. Karenanya, masyarakat Tionghoa percaya bahwa lampion memberi jalan dan menerangi rezeki penggunanya.

“Itu sebabnya, lampion selalu ada, terutama pada perayaan-perayaan besar, seperti tahun baru Imlek. Dengan pemasangan lampion ini, bagi orang Cina yang beragama Konghucu berharap selalu mendapat keberhasilan di tahun-tahun mendatang,” tulis Yanti.

Lampion memiliki akar sejarah yang panjang. Diperkirakan tradisi memasang lampion sudah ada di daratan Cina sejak era Dinasti Xi Han, sekitar abad ke-3 Masehi. Munculnya lampion hampir bersamaan dengan dikenalnya teknik pembuatan kertas.

Tradisi memasang lampion diperkirakan sudah ada di daratan Cina sejak abad ke-3 Masehi.

Rachel Deason dalam A Brief History of Chinese Lanterns di laman Culture Trip menyebut lampion awalnya memiliki tujuan sederhana, yaitu sumber cahaya. Orang-orang dari Dinasti Han Timur (25-220 M) membuat rangka lampion dari bambu, kayu, atau jerami gandum. Lalu, mereka meletakkan lilin di tengahnya dan merentangkan sutra atau kertas di atasnya sehingga nyala api takkan tertiup angin.

Di kemudian hari, lampion diadopsi para biksu Buddha sebagai bagian dari ritual ibadah mereka pada hari ke-15 bulan pertama kalender lunar. Atas perintah kaisar, orang-orang bergabung dalam ritual itu lalu menyalakan lampion untuk menghormati Buddha dan membawanya ke istana di Luoyang. Saat Dinasti Tang (618-907), praktik itu berubah menjadi sebuah festival, yang masih dirayakan setiap tahunnya.

Ada sejumlah legenda yang berkaitan dengan lampion. Salah satunya mengenai Li Zicheng, seorang pemimpin pemberontakan petani pada masa akhir Dinasti Ming (1368-1644).

Dikisahkan, Li dan pasukannya menyerang kota Kaifeng tanpa mengganggu rumah-rumah penduduk yang menggantungkan lampion merah di pintu. Para penjaga kota Kaifeng yang kewalahan membuka bendungan untuk menghancurkan pasukan Li. Namun banjir juga melanda rumah-rumah penduduk. Banyak orang naik ke atap rumah dengan membawa lampion merah. Li dan pasukannya menyelamatkan mereka dengan membawa lampion merah sebagai alat penerangan. Untuk memperingati kebaikan hati Li, bangsa Tionghoa selalu menggantung lampion merah pada setiap perayaan penting seperti Tahun Baru Imlek.

Memasang lampion di tiap rumah dipercaya menghindarkan penghuninya dari ancaman kejahatan.

Legenda klasik juga menggambarkan lampion sebagai pengusir kekuatan jahat angkara murka yang disimbolkan dengan raksasa bernama Nian. Memasang lampion di tiap rumah dipercaya menghindarkan penghuninya dari ancaman kejahatan.

Bentuk lampion yang konvensional adalah bulat dengan rangka bambu. Seiring perkembangan zaman, bentuk lampion kian bervariasi. Noviyanti Tjhin dkk dalam Perancangan Buku Ilustrasi Digital Kehidupan Perajin Téng-téngan di Semarang di Jurnal DKV Adiwarna Vol 1 No 12 2018, menyebut lampion tradisional Tiongkok dibagi menjadi tiga jenis, yaitu palace lantern (lampion kerajaan), gauze lantern (lampion kertas), dan shadow-picture lantern (lampion gambar-bayangan). Dari ketiganya, lampion gambar-bayangan kurang dikenal karena lebih sering digunakan sebagai mainan anak-anak ketimbang alat penerangan atau hiasan saat Festival Lampion di Tiongkok.

Lampion kemudian tersebar dan dikenal di berbagai negara, termasuk Indonesia. Secara garis besar, lampion di Indonesia dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu lampion tradisional yang digunakan untuk perayaan Imlek; lampion modern dengan bahan, tampilan, dan warna yang lebih bervariasi; serta lampion hasil akulturasi atau biasa disebut lampion daerah.

Dalam lampion daerah, terdapat banyak bukti akulturasi budaya Jawa dan Cina

“Dari ketiga jenis lampion tersebut, lampion daerah merupakan lampion yang paling jarang dijumpai di Indonesia. Padahal, dalam lampion daerah terdapat banyak bukti akulturasi budaya Jawa dan Cina,” tulis Noviyanti dkk.

Indonesia memiliki beberapa lampion daerah. Ting di Solo, impres (Jepara), dan teng-tengan (Semarang) hanyalah beberapa contoh lampion yang bisa ditemukan di Jawa Tengah. Ketiganya muncul dalam perayaan hari besar umat Islam.

Jenis lampion tidak memiliki batasan bentuk dan berkembang menjadi lebih rumit setiap tahunnya. Ada lampion yang dibuat menggunakan rangka logam dan dapat difungsikan sebagai lampu meja. Ada lampion berbentuk bunga teratai yang kuncup. Dan masih banyak lagi kreasi baru dari lampion yang membuat perayaan Imlek menjadi semarak.

Selain perubahan pada bentuk, fungsi lampion pun tidak lagi sebagai alat ritual semata.

Selain perubahan pada bentuk, fungsi lampion pun tidak lagi sebagai alat ritual semata. Lampion sudah menjadi bagian dari pelengkap sebuah interior yang memberi kesan estetis. Banyak tempat publik seperti hotel, gedung perkantoran, tempat perbelanjaan, hingga kafe memasang lampion untuk menambah keindahan.

Informasi Selengkapnya
  • Indonesia Kaya

  • Indonesia Kaya

  • Noviyanti Thjin dkk. “Perancangan Buku Ilustrasi Digital Kehidupan Perajin ‘Teng-tengan’ di Semarang”, Jurnal DKV Adiwarna Vol 1 No 12, 2018.
    Rachel Deason. “A Brief History of Chinese Lanterns”, dimuat Culture Trip, 25 Januari 2018.
    Yanti Azmah Ulya. “Makna Lampion Merah dalam Kebudayaan Cina di Jakarta”, skripsi pada Program Studi Sastra Cina Universitas Indonesia, 2013.

This will close in 10000 seconds