JIKA gamelan Jawa memiliki nada yang merdu dengan tempo lebih lambat dan gamelan Bali cenderung rancak, gamelan Sunda lebih mendayu-dayu dengan suara suling dan rebab terdengar lebih mendominasi.
Gamelan sudah dikenal masyarakat Sunda sejak lama. Naskah Sewaka Darma, diperkirakan berasal dari tahun 1435, sudah menyebut istilah gangsa yang berarti gamelan. “Naskah ini memberitakan adanya ketrampilan orang Sunda di bidang musik dengan dikenalnya berbagai nama alat gamelan atau alunan suaranya,” kata Undang A. Darsa dalam “Catatan tentang ‘Bubat dan Jawa’ dalam Tradisi Naskah Sunda Kuno”, makalah pada seminar “Pasunda-Bubat: Sejarah yang Paripurna” yang digelar Pemprov Jawa Timur di Surabaya, 6 Maret 2018.
Naskah kuno lain adalah Sanghyang Siksa Kandang Karesian, berangka tahun 1440 Saka atau 1518 Masehi. Naskah ini, sebagaimana diuraikan Ilham Nurwansah dalam Siksa Kandang Karesian: Teks dan Terjemahan, menyebut pemain gamelan yang disebut kumbang gending dan ahli karawitan yang disebut paraguna.
Pada awalnya, gamelan Sunda hanya terdiri atas bonang, saron (cempres), jenglong, dan gong. Seiring waktu, terjadi penambahan waditra (instrumen) sesuai kebutuhan musikal seperti kendang, suling, dan rebab, dan lain-lain.
Di Tanah Sunda terdapat beberapa jenis gamelan, yaitu ajeng, cara balen, degung, gambang kromong, salendro/pelog, goong gede, goong renteng, koromong, monggang, prawa, ringgeng, sekaten, toplek. Namun berdasarkan bentuk, kelengkapan, dan penempatan alat musiknya, gamelan Sunda dikelompokkan menjadi tiga: gamelan salendro atau pelog, gamelan renteng, dan gamelan ketuk tilu.
Menurut Enoch Atmadibrata dkk dalam Khazanah Seni Pertunjukan Jawa Barat, gamelan salendro atau pelog merupakan perangkat musik tradisional yang terdapat hampir di seluruh Tatar Sunda. Ada perbedaan antara gamelan salendro dan gamelan pelog, baik larasnya maupun jumlah penclon (kepala gong yang terletak di tengah-tengah) dan wilahan (bilah) yang digunakan. Gamelan pelog memiliki fungsi yang hampir sama dengan gamelan salendro sehingga kurang berkembang. Dan toh keberadaannya cukup terwakili oleh keberadaan gamelan salendro.
Gamelan salendro atau pelog biasa digunakan untuk mengiringi pertunjukan wayang, tari-tarian, kliningan, bahkan gending karesmen (opera Sunda) dan sendratari. Karena sering digunakan dalam kesenian, gamelan ini menjadi yang poluler di antara jenis gamelan lain.
Baca juga: Wayang Golek adalah Warisan Budaya Jawa Barat
Waditra lengkap dalam gamelan salendro pelog terdiri dari rebab, kendang, gambang, bonang, rincik, kenong, selentem, saron pangbarep, saron pangbarung, demung, peking, ketuk, kempul, dan goong. Sementara yang termasuk kelompok gamelan salendro pelog adalah gamelan salendro, gamelan pelog, gamelan ajeng, dan monggang Cigugur.
Gamelan renteng berkembang di beberapa tempat. Gamelan renteng, atau kadang disebut goong renteng, sudah dikenal setidaknya pada abad ke-16. Secara harfiah, gamelan renteng berarti gamelan (atau goong dalam bahasa Sunda kuna) yang diletakkan atau disusun secara berderet (ngarenteng).
Gamelan renteng memiliki dua macam laras: salendro dan pelog. Peralatannya terdiri dari alat pukul yaitu kongkoang, cempres, goong, serta alat tepuk paneteg. Dalam ensambel, kongkoang dan cempres berfungsi sebagai pembawa melodi, kendang sebagai pembawa irama, dan goong sebagai penutup lagu atau siklus lagu. Termasuk kelompok gamelan renteng adalah goong renteng, sakati, degung, koromong, goong gede, dan monggang/carabalen Ciamis.
Secara fisik, goong renteng mempunyai kemiripan dengan gamelan degung. Namun, dalam hal usia, goong renteng dianggap lebih tua daripada degung sehingga, kata Enoch Atmadibrata dkk, “ada yang menduga bahwa gamelan degung merupakan pengembangan dari goong renteng.”
Gamelan ketuk tilu juga tersebar hampir di seluruh Tatar Sunda. Nama perangkat ini dipinjam dari salah satu waditranya, yaitu ketuk (semacam bonang) yang berjumlah tiga buah. Waditra lainnya adalah satu rebab, satu gong, satu kempul, satu kendang besar, dua kulanter (kendang kecil), dan satu kecrek.
Pada awalnya gamelan ketuk tilu merupakan gending untuk mengiringi tarian yang disebut ibing ketuk tilu. Dalam perkembangan, gamelan ketuk tilu dipakai juga untuk mengiringi ronggeng gunung, ronggeng ketuk, doger, dan topeng banjet.
Dari begitu banyak gamelan di Tanah Sunda, yang populer dan dianggap khas adalah gamelan degung. Sampai-sampai gamelan dalam budaya Sunda disebut juga gamelan degung.
Gamelan degung berkembang akhir abad ke-18 atau awal abad ke-19. Konon, ia merupakan musik kerajaan atau kadaleman. Hal ini bisa dilihat dari istilah “degung” yang berasal dari kata “ngadeg” (berdiri) dan “agung” (megah) atau “pangagung” (menak; bangsawan). Jadi degung berarti kesenian yang digunakan bagi kemegahan (keagungan) martabat bangsawan.
Menurut Enoch Atmadibrata dkk, dahulu gamelan degung hanya ditabuh secara gendingan (instrumental). Raden Adipati Aria Wiranatakusumah, bupati Cianjur (1912-1920) sempat melarang permainan gamelan degung yang disertai dengan nyanyian. Alasannya, suasana menjadi kurang khidmat. Ketika diangkat menjadi bupati Bandung pada 1920, dia membawa seluruh gamelan berikut para pemainnya. Gamelan degung yang bernama Pamagersari ini pun menghiasi pendopo Bandung dengan lagu-lagunya.
Pada satu kesempatan, gamelan itu memukau saudagar Pasar Baru Bandung keturunan Palembang bernama Anang Thayib. Dia memohon izin pada bupati sekaligus sahabatnya itu untuk menggunakannya dalam acara hajatan. Sejak itulah gamelan degung digunakan untuk perhelatan umum.
Gamelan degung mengalami perkembangan pesat hingga tahun 1980-an. Namun, seiring suburnya perkembangan musik modern, gamelan degung meredup.*