Gadis Pantai, Buku Karya Pramoedya Ananta Toer - Indonesia Kaya

Cari dengan kata kunci

Gadis Pantai, Buku Karya Pramoedya Ananta Toer

Gadis Pantai, Buku Karya Pramoedya Ananta Toer

Kisah kesenjangan sosial antara kaum bangsawan dan rakyat jelata pada masa pemerintahan Hindia Belanda.

Kesenian

Kala ada yang bertanya, siapa sastrawan Indonesia paling tersohor melampaui batas Tanah Air, kemungkinan besar nama Pramoedya Ananta Toer akan langsung tercetus. Pengarang produktif asal Blora ini telah mencetak sejumlah karya fenomenal berlatar masa kelam Indonesia pada masa lalu, terutama Tetralogi BuruBumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca—yang ia tulis semasa menjadi tahanan negara.

Novel Gadis Pantai bisa disebut sebagai karya “minor” Pramoedya, yaitu sebuah cerita perdana dari trilogi yang ia tulis saat dipenjara di Buru. Sayangnya, trilogi tersebut kandas terwujud di era Orde Baru. Manuskrip kedua sekuelnya raib lantaran kontennya yang dianggap menghasut. Untungnya, seorang mahasiswi bernama Savitri P. Scherer, yang memfokuskan tesisnya tentang Pramoedya, berhasil menyelamatkan naskah pertama, sehingga Gadis Pantai bisa lahir pada 1962 (sebagai cerita bersambung).

Sama seperti novel-novel lainnya, Gadis Pantai tetap menjadi medium kritik sang pengarang, yang kini lebih tertuju pada perilaku kaum bangsawan (priyayi) Jawa masa itu. “Dan satu wong cilik yang jadi objek penindasan.”

Sama seperti novel-novel lainnya, Gadis Pantai tetap menjadi medium kritik sang pengarang, yang kini lebih tertuju pada perilaku kaum bangsawan (priyayi) Jawa masa itu.

Orang Kebanyakan

Tokoh utama di dalam novel hanya diberi nama “Gadis Pantai,” seorang “kembang” kampung nelayan di sepenggal pantai keresidenan Jepara, Rembang. Usianya baru 14 tahun, kecil mungil dan bermata jeli. Keseharian hidupnya diisi dengan membantu bapaknya yang bekerja sebagai nelayan dan bermain bersama anak-anak kampung lainnya di pesisir pantai.

Suatu hari, utusan dari seorang priyayi menyampaikan perintah yang tak bisa ia tolak, yaitu disunting oleh sang priyayi yang hanya disebut Bendoro. Kedua orang tuanya, diiming-imingi uang dan kenaikan status keluarga, pun mengantar sang Gadis Pantai ke kota. Anehnya—karena kesibukan sang calon suami yang bekerja di bawah administrasi Hindia Belanda—dalam pernikahannya dengan Gadis Pantai, ia hanya diwakili oleh sebilah keris. 

Gadis Pantai lantas berubah status menyandang gelar Mas Nganten, titel yang melepaskan dia dari segala tuntutan bekerja. Ia diperbolehkan untuk memerintah, terutama ke para bujang (pelayan) yang mesti melayaninya sepanjang hari. Seorang perempuan tua ditugaskan sebagai bujang Gadis Pantai, menjelaskan “Tambah mulia seseorang, Mas Nganten, tambah tak perlu ia kerja. Hanya orang kebanyakan yang kerja.”

Namun, Gadis Pantai tak tahu bahwa “Mas Nganten” adalah sebutan bagi orang kebanyakan yang diperistri oleh Bendoro. “Seorang Bendoro dengan istri orang kebanyakan tidaklah dianggap sudah beristri, sekalipun telah beranak selusin. Perkawinan demikian hanyalah satu latihan buat perkawinan sesungguhnya dengan wanita dari karat kebangsawanan yang setingkat.”

Singkat kata, Gadis Pantai hanya difungsikan sebagai “persiapan” bagi Bendoro sebelum dia menikah dengan wanita yang memiliki derajat setingkat.

Gadis Pantai hanya difungsikan sebagai “persiapan” bagi Bendoro sebelum dia menikah dengan wanita yang memiliki derajat setingkat.

Kesenjangan Kelas

Kisah novel Gadis Pantai bisa dipandang sebagai alegori dari kesucian yang terampas. Di awal cerita, Gadis Pantai adalah seorang anak gadis yang polos dan ketakutan berpisah dengan keluarga serta kampung nelayan tempat kelahirannya. Secara mendadak, ia tercerabut dari kehidupannya yang sederhana tapi riuh. Sebagai gantinya,  ia menjalani kilau hidup mewah ala bangsawan. Beragam jenis sarapan menanti setiap pagi dan ia selalu mandi dengan air yang telah dilarutkan dengan minyak wangi. Tiap hari, wajahnya dipoles hingga ia tak mengenali dirinya sendiri. “Bahkan bertemu wajahnya sendiri, di sini tidak diperkenankan!” ia terpekik dalam hati saat memandang wajahnya di cermin berpigura.

Kenangan akan pemandangan gulungan dan bebunyian yang ditimbulkan ombak senantiasa membuatnya rindu akan kampung halaman. Ironisnya, saat ia pulang untuk mengunjungi orang tuanya, ia tak lagi diperlakukan seperti Gadis Pantai masa lampau. Kini, ia adalah seorang Bendoro Putri, sehingga orang-orang kampung pun menunduk dan bersujud di hadapannya. Bapaknya sendiri bahkan sungkan masuk rumah ketika ia berada di dalam.

Sementara itu, perasaannya kepada Bendoro perlahan berubah menjadi cinta, terlebih setelah ia mengandung anaknya. Cinta yang tergolong buta, karena sang Bendoro selalu bersikap acuh tak acuh.

Yang jelas, Pramoedya adalah seorang penulis yang berani dan peka akan sejarah negaranya. Tak hanya itu, ia juga peduli akan kesenjangan kelas sosial dan ketidaksetaraan gender yang pernah terjadi. Meski naif, Gadis Pantai adalah seseorang yang cerdas dan senantiasa mempertanyakan kekontrasan situasi hidup barunya. Mengobrol dengan para bujang adalah penghangat hatinya ketika hidup di rumah bangsawan yang “dingin” dan mengungkap banyak kenyataan pahit.

“Kewajiban wanita adalah menjaga milik lelaki,” ujar bujang menjawab rentetan pertanyaan Gadis Pantai.”

“Lantas milik perempuan itu sendiri apa?”

“Tidak ada, Mas Nganten. Dia sendiri milik hak lelaki.”

Sama dengan rangkaian cerita yang terangkum dalam Tetralogi Buru, kisah Gadis Pantai dianggap kontroversial karena menyingkap keburukan kelas bangsawan pada masa Hindia Belanda. Di dalam struktur kerajaan Jawa—sama halnya dengan kerajaan-kerajaan lain—selalu terdapat kesenjangan kelas sosial. Dan di bawah pemerintahan Hindia Belanda, hal tersebut tampak kian diperkuat dan dimaklumi.

Gadis Pantai, yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul The Girl from The Coast, menyorot perlakuan tak mulia oleh kaum priyayi kepada orang kebanyakan yang dijelaskan oleh bujang sebagai seseorang yang “Bekerja berat tapi makan pun hampir tidak.”  Pramoedya menggambarkan sosok priyayi yang mendekati Ketuhanan, yang oleh karena itu layak diagungkan. Sang Bendoro selalu memandang rendah mereka yang bermukim di kampung nelayan dan menganggap mereka sebagai orang tak ber-Tuhan. “Saya pernah ke kampung-kampung pantai sepuluh tahun lalu,” ceritanya kepada Gadis Pantai. “Kotor, miskin, orangnya tak pernah beribadah. Kotor itu tercela, tidak dibenarkan oleh orang yang tahu agama. Di mana banyak terdapat kotoran, orang-orang di situ kena murka Tuhan, rezeki mereka tidak lancar, mereka miskin.”

Pramoedya menggambarkan sosok priyayi yang mendekati Ketuhanan, yang oleh karena itu layak diagungkan.

Pramoedya memang tak peduli soal tutur manis kala bercerita tentang kehidupan para priyayi. Karakter Gadis Pantai jadi perwakilan dirinya dan orang kebanyakan yang kerap mempertanyakan dan menuntut, serta menerima dan menolak. Kehidupan sebagai warga kampung nelayan mungkin tidak sempurna, tapi sisi kemanusiaan dan kebersamaan setidaknya tetap dijunjung. Berbeda dengan rumah Bendoro yang hening dan hampa—di mana kedatangan tuan rumah selalu disambut dengan sikap hormat, yang datang bukan dari kebaikan watak tapi lebih karena status. 

Sosok Bendoro pada awalnya merupakan sosok yang asing bak alien di mata Gadis Pantai. Membandingkan penampilannya yang biasa bekerja di bawah sinar mentari terik, ia pun berkomentar “Betapa lunak kulitnya dan selalu tersapu selapis ringan lemak muda.” Ia juga tak paham kenapa ia bisa begitu dijunjung tinggi, karena ia dibesarkan dengan persepsi bahwa “Hanya nelayan gagah perkasa saja yang patut dihormati dan dimuliakan.”

Ah, begitu tragis memang cerita sang Gadis Pantai. Namun, Pramoedya tetap menyalurkan unsur optimismenya dalam bercerita. Di penghujung cerita, Gadis Pantai telah berubah menjadi wanita dewasa—ibu dari seorang bayi perempuan—yang tak lagi pemalu dan berani menyuarakan hati nuraninya. Kita tak pernah tahu apa yang terjadi kepada Gadis Pantai setelah konfrontasi dengan suaminya yang keji. Ia tetap memilih untuk hidup, sembari ditemani oleh bebunyian gulungan ombak. 

Seperti yang diutarakan oleh bapaknya, “Nasib kitalah memang, nak. Nasib kita. Seganas-ganas laut, dia lebih pemurah dari hati priyayi.” 

Informasi Selengkapnya
  • Indonesia Kaya

  • Pramana Widodo Putra

  • Gadis Pantai, Buku Karya Pramoedya Ananta Toer