Banyak cerita rakyat yang melegenda dari Kalimantan Selatan, yang terus diwariskan dari generasi ke generasi. Salah satu yang menjadi identitas budaya Kalimantan Selatan adalah legenda tentang Putri Junjung Buih. Tak hanya mengisahkan asal-usul Kesultanan Banjar dan Kota Banjarmasin, cerita ini juga memperkuat kebanggaan masyarakat terhadap leluhur mereka.
Meski terdapat banyak versi dengan narasi yang berbeda-beda, cerita Putri Junjung Buih tetap berpusat pada premis yang sama, yaitu kemunculan mendadak dari seorang bayi perempuan yang kelak menjadi seorang putri kerajaan.
Keberagaman versi cerita ini juga melatarbelakangi berbagai tradisi dan ritual yang sering dilakukan di Kalimantan Selatan. Hal ini terjadi karena kemunculan Putri Junjung Buih sering dikaitkan dengan hal mistis, mengingat ia sudah fasih berbicara ketika ditemukan saat masih bayi.
Sebagai bentuk penghormatan kepada Putri Junjung Buih, namanya pun diabadikan di beberapa lokasi di Kalimantan Selatan. Contohnya adalah Junjung Buih Plaza, sebuah pusat perbelanjaan terkenal pada tahun 1990-an, dan Taman Putri Junjung Buih. Nama-nama jalan, perkantoran, dan hotel pun menggunakan nama sejumlah tokoh dalam dongeng ini, seperti Patmaraga, Sukmaraga, dan Kuripan.
Sebagai bentuk penghormatan kepada Putri Junjung Buih, namanya pun diabadikan di beberapa lokasi di Kalimantan Selatan.
Mari kita telusuri kisah menarik dari Putri Junjung Buih.
Anugerah Tak Terduga
Alkisah di tanah Kalimantan Selatan, berdirilah Kerajaan Amuntai yang dipimpin oleh dua raja sekaligus, yaitu sepasang kakak beradik Raja Patmaraga dan Raja Sukmaraga. Meskipun kepemimpinan ganda seperti ini tidak lazim pada masa itu, rakyat Amuntai hidup sejahtera berkat kepemimpinan yang adil dan bijaksana kedua rajanya.
Namun, ada satu hal yang belum lengkap dari pemerintahan tersebut. Baik Raja Patmaraga maupun Raja Sukmaraga, belum memiliki keturunan. Padahal, kedua raja ini sudah menikah untuk waktu yang cukup lama. Raja Patmaraga dan Raja Sukmaraga pun senantiasa berdoa untuk memohon keturunan.
Raja Patmaraga dan Raja Sukmaraga pun senantiasa berdoa untuk memohon keturunan.
Setelah memanjatkan doa setiap malam, akhirnya keinginan Raja Sukmaraga dan permaisurinya terkabul. Saat mengandung, sang raja acapkali mengelus perut istrinya sambil berharap ia akan mendapatkan putra kembar yang selalu didambakannya.
Sembilan bulan kemudian, terjadilah hal yang tak terduga. Impiannya menjadi kenyataan. Permaisuri Raja Sukmaraga melahirkan sepasang bayi kembar laki-laki. Ia pun segera mengumumkan berita bahagia itu kepada seluruh rakyat, termasuk sang kakak, Raja Patmaraga.
Raja Patmaraga Diberkahi Bayi Ajaib
Meskipun menyambut kabar tersebut dengan gembira, Raja Patmaraga tak luput dari rasa iri. Sama seperti sang adik, ia pun sangat mendambakan seorang keturunan. Dalam doanya, ia tak hanya memohon anak laki-laki yang biasanya didaulat sebagai penerus takhta. Mendapatkan anak perempuan pun bukanlah masalah bagi Raja Patmaraga.
Malam harinya, Raja Patmaraga kembali memanjatkan doa untuk diberi petunjuk. Ketika tidur, ia bermimpi melihat sosoknya tengah bertapa di Candi Agung yang terletak di luar Kerajaan Amuntai. Ia terbangun dan merasa mimpinya sangat nyata.
Tanpa menunda waktu, Raja Patmaraga benar-benar pergi ke Candi Agung untuk bertapa keesokan harinya. Ia tidak sendirian, tetapi bersama pengawal istana yang dipercayainya, Datuk Pujung.
Setibanya di sana, Raja Patmaraga mulai bertapa dengan sungguh-sungguh. Setelah beberapa hari lamanya, sang raja belum juga mendapatkan petunjuk. Karena merasa putus asa, ia pun keluar dari pertapaannya dan bermaksud kembali ke Kerajaan Amuntai bersama Datuk Pujung.
Dalam perjalanan pulang, Raja Patmaraga dan Datuk Pujung berhenti di pinggir sebuah sungai untuk beristirahat sebentar. Ketika sedang merendamkan kaki, sayup-sayup ia mendengar isak tangis seorang bayi. Ia bergegas berenang ke tengah sungai dan menghampiri sumber suara tersebut. Betapa terkejutnya Raja Patmaraga saat mendapati seorang bayi perempuan yang terapung-apung di atas segumpal buih.
Betapa terkejutnya Raja Patmaraga saat mendapati seorang bayi perempuan yang terapung-apung di atas segumpal buih.
Ia semakin terperanjat saat sang bayi dapat berbicara. Kepada Raja Patmaraga, bayi itu meminta sehelai selimut yang ditenun, serta 40 dayang wanita untuk menjemputnya. Semuanya itu harus diselesaikan dalam waktu setengah hari.
Raja Patmaraga segera memanggil Datuk Pujung untuk mengabulkan permintaan sang bayi. Raja pun menamakan bayi itu Putri Junjung Buih seperti kondisinya ketika ditemukan.
Sayembara Bagi Masyarakat Amuntai
Sesampainya di istana, Raja Patmaraga langsung menghadap Raja Sukmaraga untuk memberitahukan apa yang terjadi. Setelah berdiskusi, kedua raja kemudian menyebar sayembara untuk masyarakat Amuntai.
Sesuai permintaan Putri Junjung Buih, rakyat diminta untuk menenun selembar kain menjadi sebuah selimut dalam waktu setengah hari saja. Siapa pun yang berhasil melakukannya, akan diangkat menjadi pengasuh sang putri.
Sesuai permintaan Putri Junjung Buih, rakyat diminta untuk menenun selembar kain menjadi sebuah selimut dalam waktu setengah hari saja.
Selain itu, Datuk Pujung juga meminta rakyat untuk mencari 40 dayang perempuan untuk Putri Junjung Buih. Para wanita Amuntai segera berlomba-lomba untuk mendapatkan benang terbaik di seluruh penjuru kerajaan, meski mereka pun tidak yakin akan ada yang berhasil memenangkan sayembara tersebut.
Setengah hari hampir berlalu, namun belum ada yang berhasil menyelesaikan hasil tenun menjadi satu helai selimut. Raja Patmaraga dan Datuk Pujung dilanda keputusasaan.
Pengasuh Putri Junjung Buih
Mendekati tenggat waktu, seorang wanita menghampiri keduanya. Ia membawa selembar selimut yang dilipat rapi. Raja Patmaraga dan Datuk Pujung membuka selimut itu dan terperanjat saat melihat betapa sempurnanya hasil tenunan tersebut.
Motif tenun itu kemudian dinamakan langgundi. Dan seiring berjalannya waktu, berubah nama menjadi kain pamintan, yang berarti “permintaan”. Perempuan tersebut memperkenalkan diri sebagai Ratu Kuripan. Tepat saat kain tenun itu dipersembahkan oleh Ratu Kuripan, datanglah 40 wanita cantik yang didaulat sebagai dayang Putri Junjung Buih.
Motif tenun itu kemudian dinamakan langgundi.
Raja Patmaraga, Datuk Pujung, Ratu Kuripan, dan 40 dayang tersebut, bergegas kembali ke sungai tempat ditemukannya sang putri. Sesampainya di sana, mereka membalut tubuh Putri Junjung Buih dengan selimut yang telah ditenun.
Melihat semua itu, Putri Junjung Buih pun tersenyum lebar. Akhirnya, ia dibawa ke Kerajaan Amuntai untuk hidup sebagai salah satu pewaris takhta Raja Patmaraga. Kebahagiaan rakyat Amuntai pun lengkap bersama dua raja dan putra-putri mereka.
Moral Cerita
Kisah Putri Junjung Buih menunjukkan bahwa iri hati hanya akan mendatangkan kesedihan dan kekecewaan. Sebaliknya, keyakinan dan usaha yang teguh dapat mengantarkan kita pada pencapaian yang diinginkan. Kita pun terinspirasi untuk menebar kebaikan dan saling membantu, seperti Raja Patmaraga yang dengan penuh kasih sayang merawat Putri Junjung Buih.