Pandeglang, yang merupakan ibu kota dari Kabupaten Pandeglang, Banten, adalah pusat pemerintahan dan perekonomian Kabupaten Pandeglang yang kini masuk ke dalam Provinsi Banten. Wilayahnya berbatasan langsung dengan Kabupaten Serang di utara, Kabupaten Lebak di timur, serta Samudra Hindia di barat dan selatan.
Pandeglang juga dikenal sebagai kota santri karena banyaknya pondok pesantren yang ada di wilayah itu. Julukan kota sejuta santri dan seribu ulama juga disematkan pada kota yang telah melahirkan banyak ulama terkenal ini.
Pandeglang juga dikenal sebagai kota santri karena banyaknya pondok pesantren yang ada di wilayah itu.
Konon, nama Pandeglang berasal dari kata “pandai gelang,” yang merupakan sebutan bagi ahli pembuat gelang. Ya, dulu, di wilayah ini terdapat seorang pandai gelang atau ahli penempa gelang yang memiliki kisah legendaris.
Namanya adalah Sae Bagus Lana—seorang pangeran tampan yang berguru kesaktian bersama kawannya Cunihin (dalam Bahasa Sunda sehari-hari kata “cunihin” berarti suka menggoda), yang juga seorang pangeran. Keduanya sama-sama terpikat oleh pesona seorang putri bernama Arum.
Tapi, karena keserakahannya, pangeran Cunihin berlaku curang dan membuat pangeran Sae Bagus Lana kehilangan kekuatannya. Persaingan hingga adu kesaktian ini terus membekas di sebuah pantai yang kini dikenal dengan nama Pantai Karang Bolong. Inilah yang menjadi latar cerita rakyat Banten: asal-usul nama kota Pandeglang.
Kecantikan Putri yang Memikat Dua Pangeran Sekaligus
Di tanah Banten, hiduplah seorang putri rupawan. Tak hanya berparas cantik, putri yang bernama Arum ini juga baik hati, sehingga banyak orang yang terpesona padanya.
Bertambah dewasa, pesona Putri Arum makin memikat hati siapapun yang melihatnya. Banyak pria yang ingin meminang putri Arum, tak terkecuali dua orang pangeran rupawan yang bernama Sae Bagus Lana dan Cunihin.
Banyak pria yang ingin meminang putri Arum, tak terkecuali dua orang pangeran rupawan yang bernama Sae Bagus Lana dan Cunihin.
Kedua pangeran itu berkawan dan berasal dari perguruan yang sama. Di perguruan itu, Sae Bagus Lana dan Cunihin sama-sama menimba ilmu kesaktian. Meski memiliki banyak kesamaan, namun sifat dan watak keduanya sangat amat berbeda.
Pangeran Sae Bagus Lana memiliki sifat yang baik hati, persis seperti arti namanya dalam Bahasa Sunda. Sementara itu, Pangeran Cunihin kerap menggoda lawan jenis dan berlaku kurang sopan, persis pula seperti arti namanya dalam Bahasa Sunda. Keduanya juga sama-sama tahu bahwa mereka saling berupaya memikat hati Putri Arum dan hendak meminangnya. Namun, Putri Arum ternyata lebih tertarik dengan Pangeran Sae Bagus Lana.
Pangeran Cunihin tak terima dengan kenyataan bahwa Putri Arum lebih memilih Pangeran Sae Bagus Lana ketimbang dirinya. Namun, Pangeran Cunihin tak mau menyerah. Ia terus berusaha memiliki sang putri, meski harus melakukan hal yang tidak baik.
Ia berniat memanfaatkan ilmu kesaktiannya untuk menjatuhkan Pangeran Sae Bagus Lana, dengan cara mengundang Pangeran Sae Bagus Lana untuk datang ke rumahnya.
Ia berniat memanfaatkan ilmu kesaktiannya untuk menjatuhkan Pangeran Sae Bagus Lana, dengan cara mengundang Pangeran Sae Bagus Lana untuk datang ke rumahnya.
Pangeran Sae Bagus Lana yang sudah menganggap Pangeran Cunihin sebagai saudara, tentu tak menaruh curiga pada Pangeran Cunihin. Setibanya di rumahnya, Pangeran Cunihin langsung memanfaatkan kesempatan itu untuk menguasai dan mengambil kesaktian Pangeran Sae Bagus Lana. Tak hanya menjadi lemah, dalam sekejap, Pangeran Sae Bagus Lana juga menjadi sosok yang tua renta tanpa kesaktian.
Ki Pande Gelang Bertemu Putri Arum di Bukit Manggis
Karena kesaktiannya lenyap, Pangeran Sae Bagus Lana langsung menghadap ke gurunya. Ia bertanya, apa yang harus ia lakukan agar dirinya bisa kembali seperti sedia kala. Sang guru pun mengatakan bahwa sang pangeran harus membuat sebuah gelang untuk dilangkahi oleh Pangeran Cunihin. Setelah berhasil, kesaktiannya dan sosoknya akan kembali.
“Membuat gelang yang bisa dilewati manusia? Harus sebesar apa gelang itu dibuat?” Saat itu pula, Sae Bagus Lana disarankan untuk pergi mengasingkan diri ke sebuah desa dan berlatih menempa gelang.
Patuh pada perkataan sang guru, Pangeran Sae Bagus Lana segera menyendiri di sebuah desa bernama Bukit Manggis. Di bukit inilah, ia berlatih menempa gelang hingga terkenal sebagai sosok pandai gelang yang dipanggil dengan nama “Ki Pande Gelang.”
Di bukit inilah, ia berlatih menempa gelang hingga terkenal sebagai sosok pandai gelang yang dipanggil dengan nama “Ki Pande Gelang.”
Waktu berlalu, Ki Pande Gelang hidup dengan tenang di Bukit Manggis. Oleh seluruh penduduk desa di situ, ia juga dikenal sebagai orang yang baik hati.
Suatu hari di atas Bukit Manggis, Ki Pande Gelang melihat sebuah sosok yang tak asing lagi di matanya. Ia adalah Putri Arum, yang terlihat sedang merenung dan murung di tengah hari yang cerah. Ki Pande Gelang yang sedang melintas, dengan spontan bertanya apa yang sedang tuan putri lakukan di sana.
Putri Arum lalu menanyakan siapa sosok yang sedang bertanya kepadanya. Tak ingin membuat Putri Arum semakin sedih, Ki Pande menahan diri untuk mengungkap jati diri sebenarnya. Ia mengaku sebagai seorang pandai gelang yang biasa dipanggil Ki Pande oleh masyarakat setempat, dan berkata bahwa saat sedang melintas, ia melihat tuan putri sedang bersedih dan menawarkan diri untuk membantu.
Dalam hati Putri Arum, buat apa ia bercerita dengan kakek-kakek ini, apalagi ia tidak mengenalinya. Namun, Putri Arum sudah hampir putus asa dengan keresahan yang sedang ia alami. Waktu terus berlalu, sementara hari pernikahannya dengan Pangeran Cunihin sudah di depan mata.
Putri Arum lalu mengatakan bahwa tujuannya datang ke Bukit Manggis adalah atas saran seorang guru. Ia mengungkapkan bahwa ia adalah seorang putri yang akan dipinang oleh seorang pangeran dalam waktu tiga hari lagi dan ia masih ragu menerima pinangan tersebut.
Sang pangeran, meski rupawan, gagah, serta berani, memiliki watak yang serakah, kasar, dan tega terhadap orang lemah. Putri Arum tak ingin menghabiskan hidupnya bersama orang seperti itu. Karena itulah, guru sang putri menyarankannya untuk pergi ke Bukit Manggis dan mencari pertolongan.
Mendengar cerita itu, Ki Pande langsung menjadi geram. Tapi, ia tetap menjaga emosinya agar keadaan tidak menjadi semakin kacau. Ia menerka, mungkin saja pertolongan yang dimaksud sang guru itu adalah dirinya. Ia pun memberanikan diri untuk memberi nasihat kepada tuan putri agar menerima pinangan tersebut dengan sebuah syarat.
Syaratnya, Pangeran Cunihin harus melubangi sebuah batu keramat yang amat besar. Sebelum dilubangi, batu itu harus diletakkan di pinggir pantai dan dilewati oleh manusia.
Syaratnya, Pangeran Cunihin harus melubangi sebuah batu keramat yang amat besar.
Putri Arum merasa hal itu akan mudah dilakukan, lantaran Pangeran Cunihin sangatlah sakti. Namun, Ki Pande mengingatkan sang putri, “Pangeran Cunihin tentu bisa melakukannya, tapi belum tentu ia mau melakukannya. Melubangi batu kramat sebesar itu dapat menghilangkan setengah kesaktiannya.” Karena itu, Ki Pande pun berjanji akan membantu tuan putri.
Hari sudah hampir senja. Melihat sang putri tampak kelelahan, Ki Pande berbaik hati mengajaknya istirahat sejenak ke rumahnya. Namun, di perjalanan menuju kediaman Ki Pande, Putri Arum terjatuh di dekat sebuah batu cadas. Tubuhnya lunglai tak sadarkan diri, hingga Ki Pande bergegas mencari pertolongan. Putri Arum pun segera diselamatkan oleh beberapa penduduk desa dan dibawa ke rumah penduduk terdekat untuk dirawat.
Untuk menyadarkan dirinya, seorang tetua meminta warga untuk segera memberi sang putri minuman yang berasal dari mata air. Ajaibnya, batu cadas tempat sang putri terjatuh tadi memancarkan air gunung, sehingga Putri Arum langsung diberi minum dari air batu cadas tersebut. Tak butuh waktu lama, sang putri kembali pulih. Dan sejak saat itu, Putri Arum dipanggil Putri Cadasari.
Putri Cadasari Menerima Pinangan Pangeran Cunihin
Putri Cadasari kembali ke kerajaannya. Ia bertemu dengan Pangeran Cunihin dan segera menjalankan rencana yang dibicarakannya dengan Ki Pande Gelang.
Membicarakan hari pernikahan yang sudah di depan mata, Pangeran Cunihin menagih jawaban dari Putri Arum. Sang putri pun mengiyakan dan menyampaikan syaratnya. Meski sedikit heran dan ragu, Pangeran Cunihin lantas menyanggupinya. Sifatnya yang sombong dan penuh emosi semakin mendorongnya untuk membuktikan kesaktiannya.
Keesokan harinya, Pangeran Cunihin menepati janjinya. Dengan segera, ia membawa sebuah batu keramat yang amat besar ke sebuah pantai dan mengerahkan kesaktiannya untuk melubangi batu yang amat besar itu. Ia pun berhasil menunaikan permintaan Putri Arum. Tak sabar memamerkan kehebatannya, Pangeran Cunihin segera ke istana untuk menjemput Putri Arum.
Rupanya, selama Pangeran Cunihin melaksanakan permintaan Putri Arum, Ki Pande Gelang mengamatinya dari balik semak-semak. Melihat kepergian Pangeran Cunihin, Ki Pande tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk memasang gelang raksasa yang sudah dia buat di tengah-tengah lubang batu tersebut.
Namun, setelah berhasil memasangkan gelang ke lubang batu keramat, keberadaan Ki Pande tertangkap mata oleh Pangeran Cunihin yang baru saja menjemput Putri Arum. Pangeran Cunihin meneriaki Ki Pande saat itu juga, hingga membuat Putri Arum kebingungan mengapa keduanya seperti saling mengenal. Ki Pande pun menjawab bahwa ia datang untuk mengambil kesaktiannya dan tuan putri.
Namun, setelah berhasil memasangkan gelang ke lubang batu keramat, keberadaan Ki Pande tertangkap mata oleh Pangeran Cunihin yang baru saja menjemput Putri Arum.
Dengan sombong, Pangeran Cunihin menjawab sambil tertawa dan mengatakan bahwa tuan putri sudah menjadi miliknya, karena ia telah membuat lubang sesuai permintaan Putri Arum.
Namun, Putri Arum mengatakan bahwa ia tidak dapat melihat lubang yang sudah dibuat Pangeran Cunihin pada batu tersebut dan memintanya untuk melewati lubang tersebut untuk membuktikannya.
Dengan cepat, Pangeran Cunihin berlari dan melewati lubang yang ada pada batu keramat itu. Baru beberapa langkah melalui lubang itu, Pangeran Cunihin merasakan kesakitan yang luar biasa. Sambil berteriak kesakitan, ia tersungkur lemah dan perlahan-lahan berubah menjadi orang yang tua renta. Pada saat bersamaan, Ki Pande Gelang justru menerima kekuatan yang luar biasa di dalam tubuhnya. Wajahnya perlahan berubah menjadi pria muda yang rupawan.
Putri Arum yang menyaksikan peristiwa itu menangis haru. Ia lantas teringat pada sosok Pangeran Sae Bagus Lana yang dulu berhasil memikat hatinya. Ia juga akhirnya mengerti bahwa wangsit (berarti pesan atau amanat gaib) yang dimaksud sang guru waktu itu adalah Pangeran Sae Bagus Lana, sehingga ia amat berterima kasih kepada sang guru yang telah menyelamatkan nasibnya.
Nama-Nama Wilayah di Banten
Kisah ini memunculkan beberapa nama daerah di Provinsi Banten. Tempat Pangeran Cunihin menemukan batu keramat itu kini bernama Kramatwatu. Sementara itu, batu keramat yang berlubang itu dinamakan Karang Bolong. Pantai Karang Bolong sendiri merupakan bagian dari salah satu pantai di kawasan Anyer, Serang, Banten, dengan pemandangan batuan karang yang sangat mengagumkan.
Kisah ini memunculkan beberapa nama daerah di Provinsi Banten.
Tempat mengambil batu keramat tersebut kemudian dikenal dengan Kampung Kramatwu—sebuah kecamatan di Kabupaten Serang, Provinsi Banten. Sedangkan tempat sang putri melaksanakan wangsit di Bukit Manggis, kini dikenal dengan Kampung Pasir Manggu. Sedangkan tempat putri disembuhkan dari penyakitnya diberi nama Cadasari.
Moral Cerita
Cerita rakyat Banten: asal-usul nama kota Pandeglang mengajarkan bahwa setiap manusia pasti memiliki kekuatan dan kehebatan. Walau sangat hebat dan kuat, manusia juga bisa jatuh karena sifat sombong, tidak sabar, dan serakah. Sementara itu, jika sedang lemah, manusia harus tetap berusaha, belajar, dan tidak menyerah. Karena, keberhasilan tidak akan pernah mengkhianati usaha.