RATUSAN orang berkumpul di bawah tebing batu. Segelintir dari mereka memindahkan tangga bambu ke beberapa sisi tebing dan memanjatnya. Di sejumlah dinding tebing, tampak banyak lubang berbagai ukuran dengan bentuk persegi. Tiap lubang tertutup oleh pintu kayu. Orang-orang itu lalu membuka pintu dan mengeluarkan peti mati berisi jenazah berusia puluhan atau ratusan tahun.
Itulah suasana di londa (kuburan batu) Lembang Tonga’ Riu, Toraja Utara, Sulawesi Selatan, pada Agustus 2020. Hari itu upacara ma’nene digelar. Seluruh keluarga almarhum datang. Para wisatawan dan warga sekitar ikut menyaksikan. Inti upacara itu mengganti seluruh pakaian jenazah. Jumlahnya ada lima jenazah.
Lima jenazah itu masih awet. Seluruh tubuhnya terlihat jelas dan tampak mengeras. Sebab, sebelum jenazah dimasukkan ke peti mati dan dikuburkan di londa, keluarga telah memberikan sejumlah bahan pengawet. Setelah itu, mereka menyematkan pakaian kepada jenazah dan menaruh benda-benda atau makanan kesukaan jenazah di kuburannya.
Sebelum tradisi ma’nene digelar, seorang tetua adat membacakan doa untuk meminta berkah dari leluhur agar musim panen berjalan baik. Setelah itu, anggota keluarga membersihkan jenazah dengan kuas, menjemurnya sebentar, lalu mengganti pakaian jenazahnya.
Biasanya ritual ini dilakukan serempak satu keluarga atau bahkan satu desa, sehingga acaranya berlangsung cukup panjang. Setelah pakaian baru terpasang, jenazah dibungkus dan dimasukan kembali ke patane, rumah khusus jenazah di sekitar londa.
Rangkaian prosesi tradisi ma’nene ditutup dengan anggota keluarga berkumpul di rumah adat tongkonan untuk beribadah bersama. Ritual ini biasa dilakukan setelah masa panen, kira-kira akhir Agustus. Pertimbangannya, anggota keluarga yang merantau umumnya pulang kampung, sehingga semua keluarga dapat hadir untuk melakukan prosesi ma’nene.
“Prosesi unik dan menarik. Hanya ada di Toraja Utara,” kata Micha Rainer Pali, fotografer kelahiran Rantepao, Tanah Toraja, yang beberapa kali mengabadikan upacara ma’nene. Menurut Micha, orang-orang di Toraja Selatan memiliki ritual serupa untuk menghormati jenazah leluhurnya. “Tetapi hanya tau-tau atau patung menyerupai leluhur yang dibersihkan dan pakaiannya diganti,” lanjut Micha.
Senada dengan Micha, Sima Batara, seorang pemandu wisata di Tanah Toraja, mengatakan tak semua penduduk Toraja menggelar tradisi ma’nene. “Sudah sangat sedikit yang melakukannya. Tapi upacara ini masih digelar di wilayah utara. Setidaknya tiga tahun sekali,” kata Sima.
Sima menambahkan, tradisi ma’nene merupakan salah satu bagian dari upacara kematian khas Toraja. “Kami menyebutnya rambu solo. Sumbernya dari kepercayaan kuno orang-orang Toraja, yaitu Aluk To Dolo, ” kata Sima.
Aluk to dolo’ kemungkinan berkembang pada masa megalitikum yang berlangsung dari 2500-1500 SM. Masa ini ditandai oleh kemampuan manusia Toraja praaksara membuat bangunan dari batu-batu besar. Kebanyakan bangunan itu untuk upacara pemujaan terhadap roh nenek moyang.
Dalam kepercayaan Aluk to dolo’, arwah para leluhur (tomembali puang) tetap beraktivitas seperti dalam dunia orang-orang hidup. Mereka membutuhkan bekal-bekal untuk mencapai kehidupan yang lebih baik di alamnya, seperti menjadi dewa (deata) dan kembali ke Puang Matua (Tuhan). Bekal itu mirip dalam dunia orang hidup seperti makanan, pakaian, dan hewan.
Karena itulah, para keluarga mendiang menyematkan pakaian, mengorbankan kerbau, dan menaruh makanan di sekitar kubur batu leluhur. Laku ini tak hanya sebagai penghormatan kepada leluhur, tetapi juga menjaga ikatan di antara keturunan-keturunannya.
Mereka pun percaya jika mereka baik terhadap leluhur dengan menyediakan segala kebutuhan para leluhur, hal yang sama akan kembali ke mereka yang masih hidup. “Dengan demikian para leluhur akan mudah pula mencurahkan rezeki dan kesenangan kepada keturunannya,” ungkap Harun Kadir dalam “Aspek Megalitik di Toraja Sulawesi Selatan”, makalah pada Pertemuan Ilmiah Arkeologi di Cibulan, 21-25 Februari 1977.
Dari kepercayaan inilah, mereka yang masih hidup berusaha menjaga jenazah leluhur dalam kondisi terbaiknya. Makanan yang enak, hewan ternak yang gemuk, dan pakaian yang bagus. Untuk makanan dan hewan ternak, biasanya dihadirkan hanya saat upacara pemakaman. Tapi khusus untuk pakaian, diadakan setiap tahun.
Upacara ma’nene mulai berubah seiring masuknya agama Kristen dan Katolik ke Tanah Toraja pada abad ke-17. Orang-orang Toraja yang memeluk agama Kristen dan Katolik mulai meninggalkan upacara ini. Tapi segelintir kecil lainnya masih tetap menggelarnya dengan beberapa perubahan. Ini misalnya dilakukan masyarakat di Baruppu, Toraja Utara.
Orang-orang Baruppu dulu tak mempersoalkan jenis kain pengganti jenazah. Tapi orang Baruppu sekarang memilih jenis kain. “Mereka meyakini bahwa semakin tinggi derajat keluarga yang melakukan ritual ma’nene maka semakin mahal pula jenis kain yang harus mereka gunakan untuk membungkus sang mayat,” catat Yusri dan Bardianto Marumbun dalam “Potret Pergeseran Makna Budaya Ma’nene di Kecamatan Baruppu Kabupaten Toraja Utara Provinsi Sulawesi Selatan”, termuat di Jurnal Sosio Humaniora Vol. 15 No. 3, 2013.
Dalam menghadirkan sesajian selama upacara ma’nene, mereka juga melakukan perubahan. Dulu mereka menghadirkan sesajian itu khusus untuk jenazah. Pantangan bagi orang yang masih hidup untuk memakannya. Sekarang mereka membuat sesajian untuk dimakan bersama.
Dari segi bangunan, mereka menambahkan kapel untuk berdoa menurut agama Katolik di sekitar kubur batu. Dulu bangunan seperti ini tak pernah ada. Kapel kini bersanding dengan patane. Sebuah simbol akulturasi kepercayaan lama dengan kepercayaan baru.
Secara pemaknaan, upacara ma’nene tak lagi bersifat religius, tapi juga punya nilai keduniawian, yaitu promosi wisata Tanah Toraja. Meski begitu, kedalaman makna upacara ma’nene tetap terjaga.
Ritual ma’nene lebih dari sekadar membersihkan jasad dan memakaikannya baju baru. Ritual ini mempunyai makna yang lebih, yakni mencerminkan betapa penting hubungan antar anggota keluarga bagi masyarakat Toraja, terlebih bagi sanak saudara yang terlebih dahulu meninggal dunia. Hubungan keluarga tak terputus walaupun telah dipisahkan oleh kematian. Ritual ini juga digunakan untuk memperkenalkan anggota-anggota keluarga yang muda dengan para leluhurnya.*