Nh. Dini: Penulis yang Membuka Jalan bagi Kesetaraan Gender - Indonesia Kaya

Cari dengan kata kunci

Nh. Dini: Penulis yang Membuka Jalan bagi Kesetaraan Gender

Nh. Dini

Nh. Dini: Penulis yang Membuka Jalan bagi Kesetaraan Gender

Melalui tulisannya, Nh. Dini telah menginspirasi banyak perempuan untuk berani bersuara dan memperjuangkan hak-haknya.

Mini Biografi

Jika ada novelis perempuan Indonesia terkemuka yang hanya bisa merayakan hari lahir setiap empat tahun sekali, Nh. Dini barangkali adalah satu-satunya. Lahir di Semarang pada 29 Februari 1936, perempuan bernama asli Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin ini merupakan pelopor dalam penulisan genre sastra feminis.  Ia adalah sosok sentral di antara para novelis perempuan Indonesia, dengan segala kebawelannya yang panjang.

Bukan tanpa alasan sastrawan Putu Wijaya menjuluki Nh. Dini sebagai pengarang yang memiliki ‘kebawelan yang panjang’. Sebagai perempuan, produktivitas Dini dalam berkarya tergolong mumpuni. Sebagian karyanya bahkan lahir saat masih menjadi ibu rumah tangga.

Salah satu titimangsa penting dalam perjalanan karier sastra Nh. Dini adalah terbitnya novel Pada Sebuah Kapal pada tahun 1972. Novel setebal 350 halaman ini diakui sebagai tonggak penting dalam sejarah sastra Indonesia dan bahkan dijadikan rujukan dalam pembelajaran Bahasa Indonesia di sekolah-sekolah.

Salah satu titimangsa penting dalam perjalanan karier sastra Nh. Dini adalah terbitnya novel Pada Sebuah Kapal pada tahun 1972.

Dalam sebuah tulisan penghormatan kepada H.B. Jassin yang diterbitkan di Tempo (30 April 2000), Dini sempat menceritakan proses penerbitan naskahnya yang penuh tantangan. Beberapa sastrawan terkemuka secara bergantian memberi komentar atas akhir cerita asli Pada Sebuah Kapal, yang dianggap terlalu mendadak dan tidak masuk akal.

Tokoh utama, Sri, secara tiba-tiba diceritakan menyaksikan kematiannya sendiri dalam sebuah kecelakaan mobil. Dini awalnya bersikeras ingin menggambarkan sebuah peristiwa di luar kendali manusia seperti itu, namun akhirnya ia mengalah. Para editor memutuskan bahwa konklusi cerita tersebut tidak dapat digunakan.

Takdir memang sering kali menghadirkan keanehan yang menyakitkan. Akhir cerita yang diperjuangkan Dini justru menjadi paralel dengan kenyataan hidupnya. Pada 4 Desember 2018, dalam perjalanan pulang dari pengobatan akupunktur, Dini mengalami kecelakaan di Jalan Tol Km 10 Kota Semarang. Mobil yang ditumpanginya ditabrak truk yang tiba-tiba mundur. Nh. Dini meninggal dunia pada sore hari itu.

Akhir cerita yang diperjuangkan Dini justru menjadi paralel dengan kenyataan hidupnya.

Untuk merayakan dan mengenang Nh. Dini, sahabat-sahabatnya di Semarang berusaha mengadakan pagelaran setiap empat tahun sekali. Selain merayakan hari lahir sang novelis yang jatuh pada tahun kabisat, pagelaran ini juga merupakan upaya untuk membawa kembali semangat dan karya Dini ke Semarang.

Sulis Bambang, sahabat karib Dini selama 30 tahun, mengaku sedih jika mengingat sedikit sekali hal-hal yang tersisa dari Dini di Semarang. Dini sudah tidak punya rumah, tidak meninggalkan pusara, dan barang-barang pribadinya berceceran entah ke mana. Semakin sedikit orang yang tahu atau mengingat sosoknya.

“Harapannya, suatu saat bisa bikin museum atau perpustakaan digital yang mengumpulkan semua jejak dan karya Mbak Dini,” papar Sulis yang juga mengampu sebuah bengkel sastra di rumahnya.

Rangkaian pagelaran Dini, Kita, Nanti yang berlangsung pada 29 Februari hingga 3 Maret 2024 lalu diharapkan menjadi tonggak baru dalam upaya merawat kenangan akan Nh. Dini. Sebelumnya, inisiatif serupa telah diwujudkan melalui beberapa kegiatan seperti peluncuran buku Seribu Sisi Dini (2019), Simfoni untuk Dini: Mengenang Setahun Wafat Dini (2020), dan Dalam Keindahan: Seribu Hari Nh. Dini (2021).

Merawat Kenangan Dini

Dini lahir di Kampung Sekayu, Semarang, dari pasangan orang tua Saljowidjojo dan Kusaminah. Ayahnya adalah pegawai Jawatan Kereta Api yang mencintai sastra dan seni tradisional. Dalam seri Cerita Kenangan yang berjudul Langit dan Bumi Sahabat Kami (1994), Dini menyebut mendiang ayahnya sebagai orang pertama yang memercayai bakat menulisnya.

Dalam seri Cerita Kenangan yang berjudul Langit dan Bumi Sahabat Kami (1994), Dini menyebut mendiang ayahnya sebagai orang pertama yang memercayai bakat menulisnya.

Awalnya, Dini hanya menulis sajak yang dimuat di majalah Gajah Mada dan Basis, serta disiarkan di RRI Semarang dan RRI Jakarta. Namun, seiring waktu, minatnya terhadap sajak mulai meredup. Dini kemudian beralih menulis cerita pendek, mempertimbangkan upah yang lebih layak.

Keinginannya untuk membantu perekonomian ibunya yang sudah menjanda ternyata lebih besar daripada keinginannya melanjutkan sekolah. Setelah lulus SMA, Dini memilih bekerja sebagai pramugari darat di Garuda Indonesia Airways, Kemayoran.

Di tempat kerjanya, Dini mengenal Yves Coffin, diplomat Prancis yang kemudian menjadi suaminya. Pernikahan antar bangsa itu melahirkan dua orang anak: Marie Claire Lintang dan Pierre Louis Padang.

Selama lebih dari 20 tahun, Dini mengembara ke berbagai negara mengikuti pekerjaan suaminya. Tercatat ia pernah tinggal di Jepang, Kamboja, Filipina, Amerika Serikat, dan Prancis. Sambil sesekali kembali ke Indonesia, Dini terus menghasilkan karya baru yang terinspirasi dari pergaulan kosmopolitnya di masing-masing negara.

Pada masa itu, seri Cerita Kenangan menjadi novel yang cukup menonjol selain Pada Sebuah Kapal. Dengan mengadopsi gaya autofiksi, Dini menyajikan kisah yang memadukan elemen autobiografi dan fiksi. Tetralogi pertamanya, yakni Sebuah Lorong di KotakuPadang Ilalang di Belakang RumahLangit dan Bumi Sahabat Kami, serta Sekayu, berhasil menjadi penawar rindu para pembaca akan kampung halaman di Semarang.

Hingga tahun 2015, Dini telah menerbitkan 14 judul dalam seri Cerita Kenangan. Setiap seri mengisahkan salah satu masa kehidupannya: kanak-kanak, remaja, atau dewasa, yang terbagi dalam 4-5 jilid.

Alasan Dini menyusun seri Cerita Kenangan pun terbilang sangat unik. Ibu dua anak ini mengaku risih saat membayangkan orang lain menulis kisah hidupnya. Agar tidak timbul gosip, lebih baik dia menulis sendiri.

”Bukankah lebih baik saya yang ceritakan tentang hidup saya, daripada ditulis orang lain tapi tulisannya ngaco. Daripada ditulis yang nggak-nggak, mending saya menulis yang iya-iya,” ujar Dini dalam sebuah wawancara dengan jurnalis Silvia Galikano.

Bukankah lebih baik saya yang ceritakan tentang hidup saya, daripada ditulis orang lain tapi tulisannya ngaco.

Kemungkinan, Dini mengalami trauma akibat pemberitaan tentang dirinya pada masa lalu. Berdasarkan pengakuan Dini kepada Silvia, awal masa kepengarangannya pada tahun 1950-an ternyata diwarnai oleh cibiran dan kabar bohong, mulai dari soal pertunangan dengan seniman asal Surabaya hingga gosip tentang kedekatannya dengan Rendra.

Dini hanya ingin dikenang lewat Cerita Kenangan miliknya. Oleh karena itu, ia berencana untuk tidak meninggalkan pusara yang dapat diziarahi. Pada tahun 1991, Dini berwasiat agar jasadnya dibakar setelah ia meninggal. Surat wasiatnya diserahkan kepada seorang notaris yang juga sahabat dekatnya, Lenie Hardjanto Lubis. Dini juga menitipkan uang sebesar Rp15 juta kepada Sulis untuk biaya kremasi dan keperluan rumah duka.

Dini hanya ingin dikenang lewat Cerita Kenangan miliknya.

“Aku nggak mau membuat orang repot harus mengurus dan membersihkan makamku,” ungkap Dini kepada Sulis, seperti dikisahkan dalam buklet Dini, Kita, Nanti. “Aku mau dikremasi jika aku sudah mati, dan tolong abuku disebarkan di sekitar Gunung Ungaran,” imbuhnya dengan yakin.

Selama kurang lebih 68 tahun bergelut di dunia sastra, Nh. Dini telah menciptakan puluhan hingga ratusan karya. Selain tema kesetaraan gender, Dini juga aktif menulis puisi, menyusun naskah drama, dan cerita pendek, serta menerjemahkan karya sastra asing dari berbagai genre. Di atas semua itu, masyarakat mengenal Dini sebagai salah satu novelis perempuan yang karyanya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Prancis, dan Jepang.

Atas konsistensi dan kegigihannya di bidang sastra, Dini diganjar Lifetime Achievement Awarddalam acara Ubud Writers & Readers Festival (UWRF) tahun 2017. Sebelumnya, Dini juga sudah sering memborong hadiah lomba cerpen di dalam dan luar negeri, termasuk lomba mengarang cerita pendek dalam bahasa Prancis yang diselenggarakan Le Monde dan Radio France Internationale (1987).

Api Kemarahan Perempuan

Nh. Dini adalah seorang pengarang perempuan yang melesat mendahului zamannya. Di era 1970-an, ketika penulis perempuan lain masih enggan keluar dari persoalan rumah tangga, Dini dengan percaya diri mengutarakan pikiran-pikiran yang berbeda. Ia muncul sebagai sosok pemberontak.

Secara blak-blakan, Dini membahas perselingkuhan, seksualitas yang tersembunyi, hingga isu keperawanan. Dalam novel Namaku Hiroko (1977), peraih SEA Write Award 2003 ini bahkan secara terbuka menghadirkan tokoh perempuan yang rela dipergundik demi meraih cinta.

Secara blak-blakan, Dini membahas perselingkuhan, seksualitas yang tersembunyi, hingga isu keperawanan.

Sikap Dini yang kelewat terus terang itu lantas menimbulkan beberapa masalah. Beberapa karya sastranya sempat masuk dalam daftar bacaan terlarang guru-guru di sekolah karena dianggap mengandung unsur erotis yang tidak sejalan dengan citra kesantunan yang selama ini melekat pada sosoknya. 

Dini menanggapi kekisruhan tersebut dengan sikap santai. Dalam sebuah wawancara dengan majalah Femina pada tahun 1976, pengarang aliran realis ini malah mengatakan bahwa “Free sexboleh saja asal tidak mengganggu orang lain, asal tidak terlalu dipamerkan.” Akibat ucapannya itu, Dini kerap disindir sebagai orang yang tak bermoral.

Novel-novel Nh. Dini umumnya menggambarkan kerasnya kehidupan dan perjuangan perempuan untuk mengatasi berbagai kesulitan. Dari 32 karya tulisnya, hampir setengahnya menceritakan kisah dari perspektif perempuan. Dini pun konsisten membangun karakter perempuan yang mandiri dan tangguh, sementara tokoh laki-laki sering kali digambarkan sebagai penghalang dalam kehidupan mereka.

Apa yang dilakukan Dini sebenarnya tak lebih dari sikap protes terhadap ketimpangan gender yang masih mencekik perempuan Indonesia. Sayangnya, banyak kritikus sastra justru menilainya sebagai pengarang yang cerewet dan judes. Seperti halnya sastrawan Budi Darma yang secara lugas menunjuk ada kemarahan terhadap kaum laki-laki beserta tradisi mereka dalam tulisan-tulisan Nh. Dini.

Apa yang dilakukan Dini sebenarnya tak lebih dari sikap protes terhadap ketimpangan gender yang masih mencekik perempuan Indonesia.

Dini berhak marah. Pernikahanya dengan Yves Coffin ternyata malah menimbulkan luka hingga berujung perceraian. Diplomat Prancis itu ternyata pemarah, kikir, dan suka berselingkuh. Selama bertahun-tahun, Dini tidak mendapat nafkah yang layak. Hal ini dibeberkan oleh Dini sendiri dalam salah satu seri Cerita Kenangan yang berjudul Dari Parangakik ke Kampuchea(2003).

Yang menarik, Dini berhasil memaparkan kemarahannya secara jujur dan adil. Pengkhianatan yang dilakukan suaminya lantas jadi pembenaran Dini menerima tawaran cinta laki-laki lain. Buka-bukaan soal keruwetan rumah tangga hingga hubungan gelap dengan seorang kapten kapal bernama Maurice itu berlanjut dalam Dari Fontenay ke Magallianes (2005), La Grande Borne (2007), dan yang terakhir Argenteuil (2008).

Ndudah (membedah) kejelekan orang lain, dan mungkin saya sendiri,” ungkap Dini, mengutip laporan Tempo (24 Mei 2004).

Dini memang selalu blak-blakan ketika menyangkut perasaan dan pilihannya, baik dalam dunia kepenulisan maupun kehidupan sehari-hari. Alih-alih meluapkan emosi dengan menunjuk dan berteriak, ia memilih cara yang lebih tenang. Jika sedang marah kepada seseorang, Dini lebih memilih mendiamkan dan bersikap ketus bila diperlukan.

Sulis Bambang hanya tersenyum saat diminta mengenang perilaku sahabat dekatnya itu. Pegiat sastra asal Semarang ini menceritakan bahwa Dini memang sering mengalami kerenggangan hubungan dengan teman-teman sesama pengarang. Perbedaan perspektif dalam tradisi saling mengkritisi karya sastra menjadi salah satu faktor penyebabnya.

“Menurut Mbak Dini, menulis itu soal kebebasan. Kalau yang dikritik itu cara berpikir, dia udah nggak cocok,” beber Sulis.

Meski dekat dengan sejumlah sastrawan seperti H.B. Jassin dan Ajip Rosidi, Dini dikenal sangat membenci profesi kritikus. Salah satu tokoh sastra terkemuka yang sempat kena damprat adalah Sapardi Djoko Damono. Dalam sebuah seminar yang diadakan tahun 1981, Dini ceplas-ceplos mengejek maestro puisi liris itu karena kedapatan mengkritik tetralogi seri Cerita Kenangan yang terbit berturut-turut dari tahun 1978 sampai 1981.

“Apa itu kritikus? Banyak pengkritik mencari nafkah dari hasil karya orang lain,” ujar Dini dalam sebuah kesempatan.

Apa itu kritikus? Banyak pengkritik mencari nafkah dari hasil karya orang lain

Dalam ingatan Sulis, Dini sebenarnya adalah pribadi yang sangat baik, penuh perhatian, dan suka berbagi. Berpikiran modern dan terbuka tak membuat Dini lupa akan sopan-santun dalam tutur kata dan tingkah laku. Hanya saja, sifatnya bisa berubah judes ketika menghadapi orang yang dianggap kurang ajar.

Watak khas Dini tersebut seolah tercermin dalam tokoh-tokoh perempuan dalam novel-novelnya. Misalnya, Sri dalam Pada Sebuah Kapal awalnya terlihat sebagai perempuan Jawa yang sederhana, namun kemudian tumbuh menjadi sosok yang kuat dan mandiri. Tokoh-tokoh lain, seperti Rina dalam La Barka dan Hilda dalam cerpen Istri Konsul, juga menunjukkan karakter serupa.

Sastrawan Alfons Taryadi dalam tulisannya di Kompas (9 Agustus 1974) memberikan tanggapan yang tepat mengenai novel Nh. Dini. Pria yang pernah menjabat sebagai Direktur Penerbit Gramedia itu menyoroti kesan Pada Sebuah Kapal sebagai sarana penyampaian uneg-uneg. “Selama ini, pengarang merasa kecewa dengan sikap suaminya dan kekecewaan itu ditransformasikan dalam sikap dan perilaku tokoh Sri dalam novel itu,” ungkapnya.

Jadi Diri Sendiri Sampai Akhir Hayat

Memasuki dekade 1980-an, protes soal isu seks dalam novel-novel Nh. Dini perlahan mereda. Barangkali, tingkat kebrutalan film-film panas di bioskop tahun-tahun itu membuat masyarakat sadar bahwa Dini sudah menulis novelnya dengan cukup santun.

Sayangnya, kehidupan Dini tidak bisa dikatakan baik-baik saja. Pada tahun 1984, Dini kembali ke Semarang seorang diri dalam keadaan sakit setelah resmi bercerai dari suaminya. Dini mendapatkan kembali status kewarganegaraannya, tetapi harus rela tinggal terpisah dari kedua anaknya. Selama dua tahun, perjalanan ulang-alik Jakarta-Semarang ia lakoni demi mencari nafkah.

Pada tahun 1986, Dini mendirikan taman bacaan untuk anak-anak bernama Pondok Baca Nh. Dini di rumah warisan orang tuanya di Sekayu. Ritus harian sebagai pengarang penuh waktu pun dimulai. Dini mulai mencatat hal-hal penting dalam kesehariannya, menyusun manuskrip, dan membimbing orang lain dalam menulis. Stamina dan disiplin tingginya itu bertahan selama puluhan tahun.

Demi menghidupi diri beserta taman bacaannya, sejak tahun 1980-an, Dini selalu meminta honorarium dalam setiap undangan berbagai acara sastra. Hal ini membuatnya sempat diejek oleh wartawan sebagai “pengarang yang pasang tarif”.

Sepanjang kariernya, Dini banyak mendapat penghargaan bergengsi di bidang literasi, tetapi ia mengaku lebih memilih uang daripada penghargaan. Saat banyak sastrawan beramai-ramai memboikot hadiah uang tunai Bakrie Award sebagai bentuk protes terhadap tragedi Lumpur Lapindo, Dini justru merasa bersyukur saat memenangkannya pada tahun 2011.

Selama bertahun-tahun, Dini berhasil menyambung hidup hanya dari royalti buku. Sesekali, ia menulis cerpen untuk majalah atau surat kabar dengan bayaran yang cukup memuaskan. Sayangnya, hal ini tidak berlangsung lama. Memasuki tahun 2000-an, pamor buku-buku Dini terjun bebas, tersaingi oleh media elektronik.

Pada saat yang sama, fisik Dini mulai aus. Pada tahun 2001, ia sempat menjalani perawatan intensif di rumah sakit setelah operasi pengangkatan batu empedu. Karena keterbatasan biaya, Dini terpaksa memilih pengobatan alternatif dengan tusuk jarum yang relatif lebih murah.

Menukil laporan Tempo (24 Mei 2004), di tengah kondisi pas-pasan itu, Dini tetap menolak tawaran untuk menjadi penulis tetap di berbagai penerbitan. Ia beralasan tidak ingin terikat oleh aturan dan tenggat waktu yang ketat di lingkungan kerja kantoran.

Dini menghabiskan masa tuanya dengan berpindah-pindah tempat tinggal. Dari Sekayu, ia pindah ke Perumahan Beringin Indah, hingga akhirnya perhatiannya tertuju pada wisma lansia. Keputusan untuk hidup di wisma diakui Dini sebagai keinginannya sendiri. Lingkungan wisma yang asri dan tenang sangat cocok dijadikan lokasi berkebun dan melukis di sela waktu menulis.

Setelah menjual rumahnya di Sekayu, Dini memboyong sebagian besar koleksi bukunya ke Rumah Lansia Yayasan Wredha Mulya di Yogyakarta pada tahun 2003. Di Kota Gudeg itu, Pondok Baca Nh. Dini kembali didirikan atas bantuan Ratu Hemas, permaisuri Sultan Hamengkubuwono X.

Menurut sahabat-sahabatnya, keputusan Dini untuk tinggal seorang diri muncul dari sifat kemandirian dan keberaniannya. Kesendirian mendorong Dini untuk memiliki lebih banyak waktu merenung. Dengan demikian, Dini bisa menjadi pribadi yang bebas, merdeka, dan bertindak sesuai kata hati.

“Mbak Dini itu sangat menghargai privasi. Tidur berbagi kamar dengan orang lain saja dia tidak mau. Karena sejak dulu terbiasa mandiri, jadi sukanya sendiri,” terang Sulis.

Wisma Lansia Harapan Asri di Banyumanik, Kota Semarang, menjadi rumah persinggahan terakhir bagi Dini. Di tempat itu, ia melahirkan karya terakhirnya yang berjudul Gunung Ungaran: Lerep di Lerengnya (2018), yang berisi hasil renungan Dini selama hampir sepuluh tahun tinggal di Wisma Langen Werdasih di kaki Gunung Ungaran.

Wisma Lansia Harapan Asri di Banyumanik, Kota Semarang, menjadi rumah persinggahan terakhir bagi Dini.

Dalam buku Sastra Modern II (1989), A. Teeuw memuji sifat kosmopolitan yang ada dalam karya-karya Nh. Dini. Meski banyak memasukkan unsur kehidupan internasional, Dini hampir tidak terpengaruh oleh gaya penulisan novel barat modern. Ia tetap konsisten pada jati dirinya sebagai seorang Nh. Dini yang terus terang dan bawel dalam menuntut hak perempuan.

Informasi Selengkapnya
  • Kompas, Tempo, Geotimes, Merdeka Pusat Data dan Analisa Tempo. 2019. NH Dini: Api Seorang Penulis. Tempo Publishing. Jakarta Budi Darma. 2002. Obsesi Perempuan Berkumis. Metafor Intermedia Indonesia. Jakarta Kompas, Tempo, Geotimes, Merdeka Pusat Data dan Analisa Tempo. 2019. NH Dini: Api Seorang Penulis. Tempo Publishing. Jakarta Budi Darma. 2002. Obsesi Perempuan Berkumis. Metafor Intermedia Indonesia. Jakarta