Gelung Ukel Tekuk Solo & Caping Kalo Kudus : Lambang Keanggunan dan Keseimbangan Hidup Perempuan - Indonesia Kaya

Cari dengan kata kunci

COVER Gelung Kudus

Gelung Ukel Tekuk Solo & Caping Kalo Kudus : Lambang Keanggunan dan Keseimbangan Hidup Perempuan

Tak hanya berfungsi sebagai hiasan rambut, gelung ukel tekuk Solo juga menjadi simbol peralihan seorang gadis menuju kedewasaan.

Tradisi

Solo dan Yogyakarta, dua kota di Jawa Tengah, memiliki akar kebudayaan yang sama kuat dalam tradisi Jawa, yaitu Kesultanan Mataram. Walaupun berasal dari akar yang sama, yaitu Keraton Ngayogyadiningratan, kedua kota ini mengembangkan karakteristik uniknya masing-masing. Solo dikenal dengan tradisi yang lebih halus dan estetika yang cenderung bulat dan elegan, sementara Yogyakarta mengedepankan nilai-nilai simbolik dengan gaya yang lebih tegas dan tinggi. Keduanya saling melengkapi sebagai keutuhan budaya Jawa yang luhur, meskipun dengan nuansa yang berbeda dalam ekspresi kebangsawanan, seni, dan tata busana.

Dalam konteks kekayaan budaya ini, gelung ukel tekuk menjadi salah satu contoh penting yang menunjukkan perkembangan tata rambut dalam masyarakat Jawa. Digunakan dalam lingkungan Keraton Ngayogyadiningratan dan Keraton Kasunan Surakarta, gelung ini awalnya dikenakan oleh para putri kerajaan dan wanita bangsawan. Seiring berjalannya waktu, penggunaannya meluas ke kalangan masyarakat umum, termasuk permaisuri, selir, putri-putri raja, dan para inang pengasuh. Perbedaan penggunaan gelung ukel tekuk terletak pada ragam aksesori serta pakaian yang dikenakan, menambah kedalaman pada tradisi yang kaya ini.

Makna di Balik Gelung Ukel Tekuk Solo

Gelung ukel tekuk Solo tidak hanya berfungsi sebagai hiasan rambut, tetapi juga menjadi perlambang transisi seorang gadis menuju kedewasaan. Dengan mengenakan gelung ini, seorang wanita secara simbolis telah melewati masa kanak-kanak dan siap menghadapi tanggung jawab baru. Gelung ini mengibaratkan seorang gadis sebagai bunga yang sedang mekar, memancarkan keharuman dan kecantikan. Bentuknya yang bulat dan rapi melambangkan keanggunan serta keseimbangan hidup seorang wanita yang telah siap untuk mengambil peran sebagai ibu rumah tangga. Dengan demikian, gelung ini menjadi representasi dari pertumbuhan, keanggunan, dan komitmen dalam menjalani peran sosialnya.

Dengan mengenakan gelung ini, seorang wanita secara simbolis telah melewati masa kanak-kanak dan siap menghadapi tanggung jawab baru.

Sementara itu, kebudayaan Kudus lebih cenderung mengikuti tradisi Keraton Solo daripada Keraton Yogyakarta. Hal ini disebabkan oleh faktor sejarah dan pengaruh politik yang kuat. Secara geografis, Kudus terletak di wilayah Jawa Tengah yang lebih dekat dengan Surakarta. Sejak masa Kesultanan Mataram, daerah-daerah di sekitar Solo, termasuk Kudus, telah terpengaruh oleh kebudayaan dan politik Keraton Surakarta. Bahkan, setelah Perjanjian Giyanti pada tahun 1755—yang membagi Kesultanan Mataram menjadi dua, yaitu Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta—Kudus tetap berada di bawah pengaruh kuat Kasunanan Surakarta.

Hubungan Kudus dengan Keraton Solo dipererat melalui seni dan tradisi seperti wayang kulit, gamelan, dan upacara-upacara adat yang lebih sering merujuk pada norma-norma Keraton Surakarta. Pengaruh ini juga terlihat dalam seni ukir, batik, dan struktur sosial Kudus yang mencerminkan gaya dan aturan dari Solo. Itulah sebabnya gelung ukel tekuk bergaya Solo juga ditemukan di Kudus. Namun, gelung yang digunakan di Kudus memiliki ciri khas tersendiri, yaitu penggunaan caping kalo, sebuah topi tradisional yang awalnya dikenakan oleh para petani tembakau.

Tahapan Pembuatan Gelung Ukel Tekuk Solo

Dalam proses pembuatannya, rambut dibagi menjadi dua bagian, yaitu sunggar dan sanggul. Untuk membentuk sunggar, rambut di kedua sisi atas telinga disisir ke atas dan menuju tengah. Setelah tampak rapi, rambut diikat menjadi satu di bagian tengah belakang kepala. Setelah diikat, longgarkan rambut di kedua sisi untuk mencapai bentuk sunggar yang diinginkan. Gunakan ibu jari dan keempat jari lainnya untuk menjepit rambut di kedua sisi, lalu tarik sedikit keluar tanpa dipaksakan.

Caping kalo adalah topi tradisional khas Kudus yang awalnya digunakan oleh para petani tembakau.

Selanjutnya, untuk membuat sanggul, mulailah dengan mengikat rambut yang akan dibentuk. Kemudian, buat lingkaran pertama di sisi kiri. Arahkan rambut yang menjuntai ke bawah, tepat di garis pertumbuhan rambut (hairline), dan angkat ke atas untuk membentuk setengah lingkaran menuju ikatan rambut. Pada tahap ini, satu lingkaran sudah mulai terlihat di sisi kiri.

Kemudian, posisikan rambut untuk membuat lingkaran di sisi kanan dengan cara membawa rambut ke hairline di sebelah kanan. Arahkan ujung rambut ke tengah sanggul dan teruskan ke atas menuju tempat ikatan rambut. Setelah itu, ikatkan ujung rambut pada pangkal ikatan dan kencangkan menggunakan jepit rambut. Selanjutnya, buat lingkaran kedua di arah sebaliknya sehingga bagian atas sanggul menyatu dengan baik. Ambil lungsen (rambut tambahan) yang telah dipersiapkan dan ikatkan tepat di tengah sanggul sebagai penguat.

Gelung ukel tekuk Solo biasanya dihiasi dengan ceplok jebehan, yang terdiri dari tiga elemen utama, yaitu ceplok yang diletakkan di tengah sanggul bagian atas, dua tangkai bunga jebehan yang dipasang di sisi kiri dan kanan sanggul, serta pethat berbentuk gunung yang diletakkan di bagian atas sanggul atau di antara sanggul dan sunggaran.

Aturan di Balik Pemakaian Gelung Ukel Tekuk Solo

Meskipun gelung ini boleh dikenakan oleh berbagai lapisan masyarakat, aksesori dan pakaian yang digunakan tetap harus disesuaikan dengan usia dan keperluan, sehingga sekaligus mencerminkan status sosial wanita yang menggunakannya. Sebagai contoh, putri remaja mengenakan gelung ini dengan hiasan peniti ceplok di tengah, serta peniti renteng di sisi kanan dan kiri sanggul. Mereka memadukan gelung tersebut dengan kain garis miring (pinjung kencong), yang biasanya dikenakan saat menghadap raja pada hari ulang tahun sang raja.

Putri dewasa mengenakan gelung ini dengan kain semekan atau kain seredan setelah menikah, menjadikannya bagian dari pakaian sehari-hari di lingkungan keraton. Di sisi lain, dalam acara resepsi di luar keraton, gelung ini juga digunakan oleh pengiring raja, yang memadukannya dengan pethat emas, bunga ceplok jebehan, kain batik wion, serta kebaya beludru atau sutra.

Setelah menikah, putri dewasa mengenakan gelung ini dengan kain semekan atau seredan sebagai pakaian sehari-hari di keraton.

Dua tusuk konde terakhir sekaligus menjadi penguat untuk caping kalo pada gelung ukel tekuk Solo khas Kudus. Seiring waktu, caping ini telah mengalami transformasi dari alat kerja menjadi simbol budaya dan fashion lokal. Pengrajin seperti Mbah Rudipah dan Kamto adalah beberapa dari sedikit orang yang masih menjaga tradisi pembuatan caping kalo, yang melibatkan teknik rumit seperti merajut daun rumbia atau resulo untuk membentuk topi yang khas. Tak hanya itu, caping kalo juga dipakai dalam berbagai upacara adat dan kini menjadi ikon di acara-acara budaya seperti Kudus Fashion Week.

Dengan semakin langkanya pengrajin yang dapat membuatnya, pemerintah dan masyarakat Kudus berupaya mencari generasi baru untuk melanjutkan warisan ini, meskipun proses pembuatannya memerlukan kesabaran dan keahlian yang tinggi. Upaya ini tidak hanya bertujuan untuk melestarikan, tetapi juga untuk menginovasi. Keunikan gelung ukel tekuk Solo yang dipadukan dengan caping kalo Kudus menjadi cermin kebanggaan lokal dan simbol komitmen terhadap pelestarian budaya.

Informasi Selengkapnya
  • Indonesia Kaya

  • Arman Febryan (@armanfebryan), Bagus Pamungkas (@bagspams), Yahya Ayasy (@yah.yaudah)

  • Kemdikbud, Budaya Indonesia

    Rostamaillis,dkk. 2008. Tata Kecantikan Rambut Jilid 2. Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan. Jakarta