Generasi 90-an mengenal sosok Laila Sari sebagai Neli atau Nenek Lincah. Artis serbabisa kelahiran Padang Panjang, Sumatra Barat, 4 November 1935, ini juga akrab dijuluki Nenek Roker. Lengkap dengan busana kebaya, selendang, dan rambut bersanggul yang mulai memutih, ia mendendangkan lagu-lagu bernada tinggi sambil berjingkrak-jingkrak layaknya penyanyi rock.
Artis serbabisa kelahiran Padang Panjang, Sumatra Barat, 4 November 1935, ini juga akrab dijuluki Nenek Roker.
Gaya nyentriknya itu ia populerkan lewat acara Berpacu dalam Melodi yang mengudara di TVRI pada Juni 1990. Mengutip laporan tabloid Monitor (24/6/1990), Laila turut hadir memeriahkan episode yang mengundang seniman-seniman Betawi. Tanpa rasa canggung menghadapi riuh tawa penonton, biduan itu melantunkan I Can’t Stop Loving You, yang dipopulerkan Ray Charles pada tahun 1962, sambil berkeliling panggung dan menjinjing tangkai mikrofon. Lagu andalan lain Laila Sari adalah Don’t Let Me Down karya rock band legendaris The Beatles. Berulang kali, Laila menyanyikan keduanya dalam berbagai kesempatan. Tak hanya nge-rock, Laila juga mahir menyanyikan pop, keroncong, dan seriosa.
Sejak belia, Laila hidup berdampingan dengan musik, lengkap dengan kedua orang tua yang juga merupakan seniman panggung. Tumbuh dewasa dekat arena hiburan Prinsen Park (Lokasari) di Mangga Besar, membuatnya fasih soal pasang surut hiburan malam Jakarta tahun 1950-an. Pada masa itu, rock ‘n roll populer menjadi musik pengiring dansa menggantikan keroncong, gambus, dan musik klasik Eropa yang sudah ada sejak zaman Belanda.
Melalui sebuah wawancara televisi, Laila menceritakan bahwa musik rock merupakan mimpi masa mudanya yang terlambat menjadi kenyataan. Ketika perempuan-perempuan seusianya bermimpi menjadi peragawati atau gadis sampul, penerima penghargaan Lifetime Achievementdari Sahabat Kartini 2015 ini justru tertarik belajar menggebuk drum dan memetik gitar.
Celakanya, sang ibu tidak merestui semangat rocker dalam diri Laila. Maklum, pada zaman itu, rock ‘n roll terasosiasi dengan kelompok remaja kota anti-sosial berjulukan cross-boy. Seiring meningkatnya sikap antipati terhadap budaya barat dekade 1960-an, Laila tidak punya pilihan lain selain mengikuti nasihat orang tuanya. Keroncong lantas dipilih untuk mengobati rasa hausnya akan musik.
Laila Sari menyukai sandiwara seperti ia menyukai musik dan rock ‘n roll. Dunia panggung telah mengasah kemampuan dan membesarkan namanya jauh sebelum julukan Nenek Roker tercipta. Selama lebih dari enam dekade, Laila menimba pengalaman akting, olah vokal, tari, hingga lawak dari atas panggung. Meski kegiatan keartisannya menyebar ke berbagai bidang, Laila tetap percaya diri menyebut dirinya sebagai ‘anak panggung.’
Selama lebih dari enam dekade, Laila menimba pengalaman akting, olah vokal, tari, hingga lawak dari atas panggung.
“Saya memang anak panggung. Dari dulu hanya mengandalkan penghasilan dari panggung,” tuturnya.
Munculnya si Anak Panggung
Laila Sari terlahir dengan nama asli Siti Nurlaila Ningsih. Ia merupakan anak sulung pasangan Komarudin dan Rachmawati. Ayahnya berasal dari Padang, sedangkan sang ibu yang berdarah Banten masih berusia 15 tahun ketika mengandung dan melahirkan Laila.
Dalam wawancara majalah Femina (1991), Laila mengaku tidak memiliki sisa ingatan tentang ayah kandungnya. Dua tahun setelah kelahiran adik laki-lakinya, Martunus, sang ayah meninggalkan Laila untuk selamanya. Saat itu, usianya baru 4 tahun.
Kepergian sosok pelindung keluarga satu-satunya lantas disusul desas-desus serbuan pasukan Jepang ke Indonesia. Di tengah kekhawatiran akan pecahnya perang, Laila dan adiknya buru-buru dibawa mengungsi oleh sang ibu. Mereka pindah dari rumah di Pagar Alam, Sumatra Selatan, ke Jakarta sekitar tahun 1940-an.
Rachmawati menghidupi anak-anaknya dengan bekerja sebagai biduan untuk kelompok tonil, sebutan sandiwara pada masa itu. Dari sana, ia menikah lagi dengan seniman asal Medan bernama Abidin Lubis. Pernikahan itu dilakukan terburu-buru demi menghindari lingkaran kencan serdadu Jepang yang sering mengincar perempuan-perempuan panggung.
Kehidupan masa kecil Laila mengalir layaknya kisah drama. Keluarganya tercerai-berai sepanjang masa perang. Ibu dan ayah tirinya sering bepergian ke luar kota untuk berpentas, sementara Laila dan adiknya menjadi rebutan antara dua keluarga dari pihak ibu, sehingga mereka terpaksa berpisah.
Setelah ditinggal selama tiga tahun tanpa kabar, Laila tak kuat lagi menahan rindu. Ditemani kakeknya, ia bersikeras pergi mencari ibunya ke penjuru Jakarta. Setiap ada pementasan sandiwara, mereka akan langsung mendatanginya sambil berharap ada sang ibu di sana.
“Begitu saya tengok, eh, tidak ada! Saya cari dan lihat, tetap saja orang tua saya tidak ditemukan,” katanya mengenang saat-saat putus asa itu.
Menurut buku Sejarah Nasional Indonesia VI (2008: 108), sandiwara keliling memang kerap digelar pada periode Jepang. Pembatasan sosial dan kekerasan militer yang terjadi di mana-mana seolah tak memberi pengaruh pada kelangsungan pertunjukan. Kelompok semacam ini biasanya mementaskan lakon-lakon Melayu dan cerita khas Seribu Satu Malam yang diselingi permainan musik keroncong.
Ketika berusia 8 tahun, Laila akhirnya dipertemukan kembali dengan ibu dan ayahnya di daerah Bekasi. Sejak saat itu, ia menolak ditinggal lagi. Ke mana pun orang tuanya berpentas, Laila akan mengikuti. Dialah penonton paling setia di setiap pertunjukan orkes Melayu milik Abidin Lubis yang diberi nama Laila Sari itu.
Dialah penonton paling setia di setiap pertunjukan orkes Melayu milik Abidin Lubis yang diberi nama Laila Sari itu.
“Ibu saya menyanyi dan bermain drama bersama ayah yang juga memiliki orkes yang diberi nama separuh nama saya,” ungkap Laila sambil mengenang masa-masa dirinya mulai tertarik pada dunia panggung.
Hidup seatap bersama rombongan pemain sandiwara mematik kecintaan Laila kepada dunia seni. Dari ayah tirinya, Laila bersentuhan dengan seni permainan watak. Sementara itu, ia mendalami bidang tarik suara bersama sang ibu. Laila menghafal lagu-lagu Melayu dengan mengamati pertunjukan drama dan musik orang tuanya.
Pada usia 9 tahun, Laila pertama kali mempertunjukan hasil latihannya dalam sebuah tur sandiwara di Pontianak. Dari sekadar ikut-ikutan menjadi biduan di acara hajatan, hingga akhirnya berhasil mencicipi dapur rekaman. Menurut pengakuannya, ia pernah meluncurkan sebuah piringan hitam. Lagu-lagu yang dibawakan berjudul Mama Janda, Bunga Rampai, Gembala Sapi, dan Kalung Asmara. Sayang, tak satupun rekaman suaranya yang selamat dari gerusan waktu.
Bagi Laila, ayah tirinya punya pengaruh besar di awal kariernya sebagai ‘anak panggung.’ Saking seringnya berpentas dengan kelompok orkes milik Abidin Lubis, orang-orang sampai lupa dengan nama aslinya. Para penonton justru lebih mengenal Nurlaila sebagai Laila Sari Lubis.
Bagi Laila, ayah tirinya punya pengaruh besar di awal kariernya sebagai ‘anak panggung.’
Dari Panggung ke Layar Lebar
Selepas kemerdekaan, Laila mulai bisa hidup secara wajar. Ia dapat berkumpul kembali bersama kedua orang tua dan adiknya. Kampung Tangkiwood di Mangga Besar, Jakarta Barat, dipilih sebagai tempat tinggal keluarga seniman ini.
Pada masa itu, Tangkiwood tak ubahnya Hollywood kecil. Alwi Shahab dalam buku Robinhood Betawi: Kisah Betawi Tempo Doeloe (2002: 135) mencatat ada lebih dari 50 keluarga artis yang berasal dari kampung ini. Rumah-rumah semi permanen yang dihuni seniman, pemusik, penyanyi, pelawak, dan pemain peran jebolan panggung sandiwara zaman Belanda dan Jepang berjejer di sepanjang Gang Tangki I, II, dan III. Tidak sedikit di antara mereka yang melompat ke perfilman.
Pada masa itu, Tangkiwood tak ubahnya Hollywood kecil.
Laila Sari dan Tangkiwood adalah dua cerita yang tak terpisahkan. Darsih, adik ipar Laila Sari, membenarkan bahwa kakaknya itu sudah menghuni Tangkiwood sejak kecil. Sekalipun telah berkeluarga, Laila bahkan tetap bertahan di lingkungan yang sama. Hanya berbeda rumah yang jaraknya tidak sampai satu kilometer.
“Setahu saya, dulu tinggal di Gang Tangki lalu pindah ke Jalan Badila. Rumahnya yang terakhir itu dibangun sendiri bareng suaminya dari honor manggung,” ungkap Darsih saat dihubungi melalui sambungan telepon. “Dulu, yang ngasih kerjaan Mak Laila banyak banget,” imbuh perempuan yang pernah menjadi asisten Laila Sari ini.
Menjadi bagian dari seniman Tangkiwood telah mendatangkan kemakmuran bagi Laila Sari. Dari perkampungan artis itu, ia memberanikan diri untuk mengikuti kelompok-kelompok teater klasik. Teater jenis ini memiliki akar kesamaan dengan opera stambul atau opera bangsawan yang populer pada 1920-an.
Kemampuan Laila sebagai penghibur meningkat pesat dalam waktu singkat. Buku Apa Siapa Orang Film Indonesia 1926-1978 (1979: 269) mencatat bahwa Laila mendulang nama sebagai penyanyi dan pemain sandiwara terkenal sepanjang tahun 1950-an. Ia sering mengadakan pertunjukan keliling kota bersama kelompok Sedap Malam, Sinar Sakti, Dupa Nirmala, Ratu Asia, Senyum Jakarta, dan lain-lain.
Seperti anak-anak panggung asal Tangkiwood lainnya, pada akhirnya Laila juga menarik perhatian orang-orang film. Bermula dari pementasan lenong, tiba-tiba Laila diajak mengisi peran anak-anak untuk film Air Mata Ibu. Belum jelas apakah film tersebut merupakan film berjudul sama yang pernah dibintangi Fifi Young, salah satu artis legendaris Tangkiwood pada 1941.
Beranjak remaja, film segera menjadi sesuatu yang serius bagi Laila. Bangku sekolah kelas 3 SMP pun dia tinggalkan demi meniti karier sebagai pemain film. Sambil ‘naik-turun’ panggung, Laila juga terlibat dalam berbagai produksi film layar lebar. Kembang Katjang (1950) merupakan film yang mengawali debutnya sebagai bintang remaja.
Dalam setiap film, Laila mengaku selalu berakting dengan sungguh-sungguh. Peran-peran yang dibawakan di awal kariernya pun tidak pernah sama. Dalam film berjudul Burung Merpati (1954), ia memerankan gadis muda kasmaran yang terlibat pernikahan paksa. Sementara film Dinamika(1955) menuntutnya untuk berperan sebagai laskar perempuan yang pandai bermain anggar.
Laila memutuskan mengundurkan diri dari dunia film pada pertengahan 1950-an saat kariernya tengah berada di puncak. Pertiwi (1955) yang dibintangi aktor legendaris Rd Ismail, menjadi film terakhirnya sebelum menghilang dari layar lebar selama 15 tahun. Meski begitu, Laila masih tetap aktif di dunia panggung.
Pertiwi (1955) yang dibintangi aktor legendaris Rd Ismail, menjadi film terakhirnya sebelum menghilang dari layar lebar selama 15 tahun.
Perfilman Indonesia telah benar-benar berubah ketika Laila memutuskan kembali pada 1970-an. Saat itu, ia didatangi karyawan film yang memintanya ikut bermain dalam Wadjah Seorang Laki-laki yang sedang digarap Teguh Karya. Pemimpin Teater Populer itu baru pertama kali membuat film dan menghendaki agar sebagian pemainnya juga berasal dari dunia teater. Laila dan Wolly Sutinah alias Mak Wok terpilih dari kalangan pegiat teater klasik Tangkiwood.
Membuat film bersama seniman-seniman generasi baru ternyata tidak semudah yang dibayangkan Laila. Selama proses pengambilan gambar, ia harus rela menelan sumpah serapah sutradara Teguh Karya yang terkenal perfeksionis soal akting. Laila dianggap masih terpengaruh gaya dialog teater klasik yang terdapat dalam film-film 1950-an, sehingga tidak mampu menghemat kata-kata.
Menurut Slamet Rahardjo, salah satu lawan mainnya waktu itu, pada akhirnya Laila mendapat banyak pelajaran dari didikan keras Teguh Karya. Perlahan tapi pasti, ia belajar untuk memisahkan akting dalam sandiwara klasik dan film. “Enggak usah diucapkan karena lu sudah jalani secara visual,” ucapnya menirukan nasihat Teguh kepada Laila.
Laila nampaknya kelewat mencintai dunia panggung sehingga sulit baginya untuk pindah ke perfilman. Sepanjang dekade 1970-an hingga 1980-an, ia hanya muncul di beberapa buah film untuk mengisi peran-peran kecil yang kerap luput dari perhatian. Di film Pulau Putri (1977) yang dibintangi pelawak Bagio, Laila bahkan pernah memainkan peran seorang nenek sihir, dilanjutkan peran-peran pendukung lainnya dalam seri film Lupus.
Penghibur Sejati hingga Akhir
Bagi Laila Sari, panggung sandiwara adalah jalan hidup. Setelah melewati masa kanak-kanak yang sulit, dunia panggung mendidiknya hingga menjadi ‘seseorang.’ Di atas panggung pula, Laila bertemu dengan suaminya, pelawak Murdadi Iskandar alias Boertje.
Setelah melewati masa kanak-kanak yang sulit, dunia panggung mendidiknya hingga menjadi ‘seseorang.’
Seingat Darsih, Laila dan suaminya pertama kali berjumpa dalam sebuah pertunjukan sandiwara di Depok pada 1960. Dikisahkan olehnya, ayah tiri Laila sedang mengumpulkan dana PMI melalui pementasan drama bertema perjuangan. Laila lantas diminta melatih pemain-pemain baru yang malah membuatnya terlibat cinta lokasi dengan Ndai, panggilan akrab Iskandar.
Kisah yang disarikan tabloid Monitor (25/7/1990) agak berbeda lagi bunyinya. Laila berjumpa dengan pria yang berusia 5 tahun lebih muda itu dalam sebuah pertunjukan sandiwara yang disutradarai orang Filipina bernama Gharchiah pada 1959. Setelah menjalin hubungan selama satu tahun, keduanya memutuskan untuk menikah dan mengadopsi seorang anak perempuan.
Dalam perjalanan seninya, Laila dan Iskandar menjadi pasangan seniman yang tak terpisahkan. Keduanya merangkak bersama dan mencari rezeki di dunia panggung. Rumah bagi keduanya bukan sekedar tempat beristirahat, tapi juga sebagai ruang untuk berdiskusi dan mematangkan bahan lawak, serta lagu-lagu untuk pentas. Sejak awal 1970-an, keduanya terlibat acara sandiwara televisi Komedi Jakarta dan Lenggang Jakarta yang tayang di TVRI selama 7 tahun.
Atas dorongan suaminya, Laila membentuk sebuah grup lawak bernama Laila’s Group. Bersama pelawak Johnny dan Totok Dower, mereka melawak dan menyanyi di bar hotel dan restoran di Jakarta. Dalam wawancara yang terbit di majalah Femina (1991), Laila menyebut kelompok buatan suaminya itu sebagai tempat ia mengasah diri agar tidak cepat tua.
“Jika sudah berada di atas panggung, saya tidak pernah merasa tua,” kata Laila penuh semangat. “Keinginan saya hanyalah memberi kepuasan kepada orang yang membutuhkan hiburan,” demikian harapannya. Laila membuktikan ucapannya dengan tampil seenergik mungkin dalam setiap kesempatan, meski perlahan-lahan usia dan tubuhnya tak mampu mengimbangi lagi.
“Jika sudah berada di atas panggung, saya tidak pernah merasa tua”
Kontras dengan semangatnya itu, kehidupan Laila di masa tua justru terbilang memprihatinkan. Menurut pengakuan Darsih, Laila Sari hidup terlunta-lunta di hari tuanya. Terlebih tatkala suami dan ibunya mulai sakit-sakitan dan meninggal pada tahun 2000, sehingga Laila harus bekerja seorang diri menghidupi keluarga besarnya. Darsih menyebut kakak iparnya itu sebagai orang yang tidak suka menumpuk rezeki.
Atas pengabdiannya selama lebih dari enam dekade di dunia seni, Laila sempat menerima penghargaan Lifetime Achievement dari Silet Award 2016 dan sebuah unit rumah. Sebuah penggalangan dana online yang mengumpulkan lebih dari 140 juta rupiah pun sempat diadakan untuk membantu masa pensiun Laila. Sayangnya, Laila belum sempat menikmati seluruhnya.
Pada 20 November 2017, Laila Sari mengembuskan napas terakhir di rumahnya yang terletak di daerah Tangki, Kecamatan Tamansari, Jakarta Barat. Ia meninggal pada usia 82 tahun, sepulang kerja dari sebuah stasiun televisi. Darsih mengatakan bahwa Laila tidak memiliki riwayat penyakit, sehingga kepergiannya murni akibat usia lanjut. Artis tiga zaman itu pun dimakamkan di TPU Karet Bivak, Jakarta Pusat, satu liang lahad dengan suaminya.
Kini, masa-masa jaya sang Nenek Roker seolah tak meninggalkan sisa. Riwayat hidupnya ikut terkubur seiring memudarnya pesona kampung artis Tangkiwood yang sudah berubah menjadi kawasan padat rawan banjir. Meski begitu, lewat ironi hidupnya, Laila Sari telah mengajarkan bahwa kesulitan hidup tak pantas menghalangi semangat seseorang untuk berkarya hingga usia senja.