Hamparan sawah hijau berundak-undak. Di dekatnya, air sungai mengalir dan terlihat jernih. Suara kecipak airnya nyaring dan menenteramkan. Pohon-pohon kelapa berdiri di tiap sisi sawah dan sungai. Kabut tipis perlahan turun dan menyelimuti sebuah pura kecil di tepi sawah. Suasana menjadi magis. Inilah pemandangan suatu pagi di sawah Tegalalang, Bali.
Bagi banyak orang, Bali menarik karena suasana pantainya. Tapi sebagian lagi melihat sawah di Bali jauh lebih menarik. Sawah di sana memberikan kesan khusus bagi para pelancong dari dalam dan luar negeri. Banyak dari mereka memperoleh pengalaman spiritual berbeda ketika berada di sana.
Bagi orang Bali, sawah adalah denyut nadi kehidupan.
Namun bagi orang Bali, sawah bukan sekadar tempat wisata. Sawah adalah denyut nadi kehidupan. Mereka menghidupi sawah, dan begitu sebaliknya. Sawah diatur, dijaga, dan dilestarikan tahun demi tahun, generasi demi generasi. Pengaturan, penjagaan, dan pelestarian itu dilakukan melalui sebuah lembaga sosial bernama subak.
Sistem subak menjadi salah satu kekhasan Provinsi Bali. Sistem pengairan ini menjadi sebentuk kearifan lokal yang membuat masyarakat petani dapat hidup serasi dengan alam untuk memperoleh hasil panen optimal.
Subak merupakan suatu sistem swadaya masyarakat yang berfungsi mengatur pembagian aliran irigasi yang mengairi setiap petak area persawahan. Sistem ini dikelola secara berkelompok dan bertingkat disertai pembagian peran yang spesifik bagi setiap anggotanya.
Subak adalah sistem swadaya masyarakat yang mengatur pembagian aliran irigasi di setiap petak area persawahan.
Dalam organisasi subak, dikenal adanya beberapa perangkat. Perangkat-perangkat yang ada dalam subak adalah pekaseh (ketua subak), petajuh (wakil pekaseh), penyarikan (juru tulis), petengen (juru raksa), kasinoman (kurir), dan beberapa lainnya. Selain itu, dikenal adanya sub kelompok yang terdiri dari 20-40 petani yang disebut munduk dan diketuai seorang pengliman.
Selain sistem strukturalnya, subak memiliki kekhasan dalam hal ritual upacara keagamaan. Dalam subak, dikenal adanya ritual perseorangan dan berkelompok (tingkat munduk atau tempek).
Ritual perseorangan antara lain ngendangin (kali pertama mencangkul), ngawiwit (saat petani menabur benih), mamula (ketika menanam), neduh (selagi padi berumur 1 bulan agar tidak diserang penyakit), binkunkung (kala padi mulai berisi), nyangket (pas panen), dan manteni (selama padi disimpan di lumbung).
Dalam ritual berkelompok, dikenal ritual berkelompok seperti mapag toya (upacara jelang pengolahan tanah), mecaru (upacara agar terhindar hama), dan ngusaba (upacara menjelang panen).
Kemunculan subak tak terlepas dari sistem pertanian yang diterapkan masyarakat Bali sejak berabad-abad lampau.
Beberapa arkeolog meyakini masyarakat Bali mengenal pertanian sejak awal abad masehi.
Beberapa arkeolog meyakini masyarakat Bali mengenal pertanian sejak awal abad masehi. Keyakinan itu berdasarkan temuan alat-alat pertanian kuno di Sembiran, salah satu desa tertua di Bali, yang digunakan untuk menanam padi. Tapi para arkeolog belum mampu menjabarkan cara bertani dan pengelolaan irigasi masyarakat kala itu.
Keterangan lebih jelas mengenai pengelolaan sawah dan irigasi termuat dalam Prasasti Trunyan (891). Dalam prasasti itu tersua kata “serdanu” yang berarti kepala urusan air danau. Ini berarti masyarakat Bali sudah mengenal cara mengelola sawah dan irigasinya pada akhir abad ke-9.
Tak heran arkeolog kondang Supratikno Raharjo dalam Sejarah Kebudayaan Bali berkesimpulan bahwa masa ini dianggap sebagai awal kemunculan subak, meski istilah subak sendiri belum dikenal. Kesimpulan ini ditopang oleh Prasasti Bebetin (896) dan Prasasti Batuan (1022). Raharjo menulis, “Dua prasasti itu menjelaskan ada tiga kelompok pekerja khusus sawah, salah satunya ahli pembuat terowongan air yang disebut undagi pangarung.” Pekerja ini biasa dipakai dalam subak masa modern.
Subak berasal dari kata suwak, yang berarti sistem pengairan yang baik.
Kata subak merupakan kata modern. Asal kata itu tertulis dan berbunyi suwak. Kata ini ditemukan dalam Prasasti Pandak Badung (1071) dan Klungkung (1072). Menurut I Ketut Setiawan dalam Subak: Organisasi Irigasi Pada Pertanian Padi Sawah Masa Bali Kuno, tesis pada Universitas Indonesia, suwak terdiri atas dua kata, yaitu “su” yang berarti baik dan “wak” untuk pengairan. Dengan demikian, suwak dapat diartikan sebagai sistem pengairan yang baik.
Suwak telah berjalan di wilayah Klungkung. Wilayah yang mendapat pengairan yang baik disebut Kasuwakan Rawas. Penamaan itu tergantung pada nama desa terdekat, sumber air, atau bangunan keagamaan setempat.
Kasuwakan terbentuk karena pengaruh agama Hindu di Bali yang menganut konsep Tri Hita Karana.
Pembentukan kasuwakan tak lepas dari pengaruh agama Hindu yang dianut masyarakat setempat. Agama Hindu di Bali kala itu mengenal konsep Tri Hita Karana yang merumuskan kebahagiaan manusia. Kebahagiaan hanya bisa tercapai melalui harmonisasi tiga unsur, yaitu parahyangan (ketuhanan), pawongan (manusia), dan palemahan (alam).
Masyarakat percaya bahwa mereka harus bekerja mengolah tanah dan air, tapi kepemilikan dua unsur tersebut sejatinya berada di tangan dewa-dewi. Karena itu masyarakat harus menjaga tanah dan air agar tetap berlimpah. Penguasaan dan keserakahan atas tanah dan air tak dapat dibenarkan. Jika melanggarnya, sanksi pengucilan bisa menimpanya.
Masyarakat membangun pura dan candi di sekitar sawah sebagai ungkapan syukur atas keberlimpahan tanah dan air.
Konsep tadi mewujud dalam kasuwakan. Sebagai ungkapan rasa syukur atas keberlimpahan tanah dan air, masyarakat mendirikan beberapa bangunan keagamaan seperti pura dan candi di dekat sawah. Beberapa pura bertitimangsa abad ke-9 ditemukan di beberapa sawah. Pura itu dipersembahkan kepada Dewi Sri (dewi pertanian dan kesuburan).
Pada abad ke-20, pemerintah kolonial ikut mendorong perkembangan subak. Mereka membangun bendungan-bendungan seperti Dam Pejeng (1914), Dam Mambal (1924), Dam Oongan (1925), dan Dam Sidembuntut (1926). Mereka ingin hasil sawah meningkat. Mereka tak mencampuri aturan-aturan internal subak.
Subak telah memperoleh pengakuan dari para ahli pertanian internasional.
Keberhasilan subak dalam panen terbukti melalui statistik hasil pertanian 1934-1981 yang dikeluarkan IPB. Bali selalu menempati posisi di atas Jawa dan Madura untuk hasil panen nasional. Keberhasilan itu mendorong pemerintah daerah membangun Museum Subak pada 1981. Turis di Bali pun mulai tertarik mengenal subak.
Subak pun telah memperoleh pengakuan dari para ahli pertanian internasional. Salah satunya John S. Ambler (1990), yang pernah menjabat Program Officer bidang Pengairan Ford Foundation, yang menyebut subak sebagai prinsip pengelolaan irigasi yang unggul dan maju. Sistem irigasi pertanian ini pun tetap lestari dalam budaya masyarakat pedesaan di Bali selama berabad-abad dan terus berjalan hingga saat ini.