Rahayu Supanggah: Maestro yang Menggemakan Gamelan di Panggung Dunia - Indonesia Kaya

Cari dengan kata kunci

Rahayu Supanggah: Maestro yang Menggemakan Gamelan di Panggung Dunia

Rahayu Supanggah

Rahayu Supanggah: Maestro yang Menggemakan Gamelan di Panggung Dunia

Di tangan Rahayu Supanggah, musik gamelan ibarat mutiara yang terus digosok. Kilaunya memancar ke seluruh dunia dan memberi imajinasi masa depan.

Mini Biografi

Rahayu Supanggah menganggap dirinya sebagai bagian dari masyarakat Jawa yang mendunia. Ucapannya saat menghadiri acara Bukan Musik Biasa di Solo tahun 2014 tentu bukan sekadar bualan. Setelah hampir separuh abad berkarya, maestro gamelan kelahiran Desa Klego, Boyolali, 29 Agustus 1949, ini telah menjejakkan kaki di lebih dari 40 negara untuk mementaskan gending-gending Jawa ciptaannya.

Sejak awal 2000-an, Supanggah bersama kelompoknya konsisten membawa musik eksperimental gamelan berkeliling dunia. Jauh sebelum itu, ia lebih dulu dikenal sebagai musisi yang memopulerkan new music di Tanah Air. Kepioniran dalam merevolusi karawitan menjadikan dirinya termasuk generasi awal musik kontemporer Indonesia.

Sejak awal 2000-an, Supanggah bersama kelompoknya konsisten membawa musik eksperimental gamelan berkeliling dunia.

Sejak tiga dekade belakangan, gamelan memang tak lagi asing di telinga masyarakat dunia. Penyanyi asal Islandia, Björk, misalnya, pernah menggunakan gamelan Jawa untuk mengiringi lagu One Day dalam konser solo debutnya di MTV Unplugged tahun 1994. Tak hanya itu, pola perkusi gamelan juga ditemukan pada lagu-lagu milik band rock eksperimental Sigur Rós yang bernuansa folk seperti Se Lest (2005) dan Brennisteinn (2013).

Peni Candra Rini, murid sekaligus anak angkat Rahayu Supanggah mengaku bersyukur dapat mengenal sosoknya dari dekat. Pak Panggah, sapaan akrabnya, merupakan orang yang berperan mengubah pandangan Peni terhadap musik tradisional. Gamelan bukan sekadar benda sakral pengiring ritus-ritus adat Jawa, tapi juga dapat menjadi ungkapan cinta dan imajinasi.

“Pak Panggah mengekspresikan kemarahan, kekaguman, rasa cinta, dan patah hati lewat karawitan,” ungkapnya. Dalam penghayatan Peni, perilaku bapak angkatnya itu bak seorang sufi yang mengamalkan karawitan Jawa sebagai jalan ibadahnya.

“Pak Panggah mengekspresikan kemarahan, kekaguman, rasa cinta, dan patah hati lewat karawitan,”

Peni ditunjuk langsung oleh Pak Panggah untuk menembangkan komposisi gamelan buatannya sejak 2003. Waktu itu, ia masih berstatus anak didiknya di ISI Surakarta. Meski tak bertali darah, hubungan ayah dan anak antara keduanya perlahan tercipta lewat musik gamelan.

“Saya yang menyanyikannya, jadi saya tahu perasaan Bapak ketika menulis syair untuk komposisi,” kata sinden yang pernah meraih Aga Khan Music Awards 2020-2022 itu. Tema-tema membumi seperti kemanusiaan, kesederhanaan, dan kepedulian terhadap sesama manusia nyaris tak pernah hilang dari karya-karya Supanggah.

Melalui perbincangan telepon, Peni menceritakan awal mula dirinya diangkat anak oleh sang maestro. Pak Panggah agaknya menginginkan seorang penerus, tetapi putra-putra kandungnya memilih untuk tidak menekuni gamelan. Ia yang melihat bakat Peni lantas mengadopsinya secara adat agar tidak ada batas sakral antara guru dan murid yang mengganggu proses pewarisan ilmu.

Koe tak pek anak supoyo koe akeh takon karo aku (Kamu saya jadikan anak agar kamu banyak bertanya kepada saya),” ujar Peni menirukan perkataan Supanggah dalam Bahasa Jawa.

Dalam ingatan Peni, Pak Panggah mendidik anak-anaknya dengan cukup keras. Disiplin waktu baginya adalah mutlak. Namun, di balik itu terdapat rasa kasih yang tak berdasar. Peni masih ingat betul betapa gigih bapak angkatnya itu mendorongnya untuk belajar Bahasa Inggris. Tujuannya agar lingkungan pergaulan internasional kelak tidak membuat Peni kaget.

“Dulu, kalau saya BBM atau email Bapak wajib pakai Bahasa Inggris. Kalau Bahasa Indonesia enggak dijawab,” kenang Peni. “Menurut Pak Panggah, seniman tradisional juga harus punya kemampuan berdiplomasi dan menerangkan kepada masyarakat dunia,” ia melanjutkan.

“Menurut Pak Panggah, seniman tradisional juga harus punya kemampuan berdiplomasi dan menerangkan kepada masyarakat dunia,”

Kualitas seorang empu gamelan yang berkombinasi dengan lingkup pergaulan yang kosmopolit terbukti mendatangkan pengakuan internasional bagi Pak Panggah. Selain komposisi yang ia ciptakan, ia juga diakui lewat tulisan ilmiah dan serangkaian kolaborasi lintas budaya. Tak sedikit warga negara asing yang datang kepadanya untuk berguru.

Sementara itu, di dalam negeri, jasa-jasa Pak Panggah bagi kesenian tradisional dan karawitan sudah tak terhitung lagi. Pengabdiannya selama puluhan tahun di bidang kebudayaan diganjar penghargaan Bintang Budaya Parama Dharma (2010) oleh Presiden Republik Indonesia. Selain itu, penetapan gamelan sebagai Warisan Budaya Tak Benda UNESCO pada 2021 bisa terjadi berkat dirinya.

Dari Solo Memeluk Dunia

Siapa pun yang menekuni kekaryaan Rahayu Supanggah barangkali tidak menyangka jika semasa muda ia sempat menolak menjajaki seni gamelan. Ada keraguan untuk menjadikan karawitan sebagai jalan hidup mengingat buruknya kualitas hidup seniman pada masa lampau. Padahal, tradisi ini sudah menitis selama 10 generasi dalam darah keluarganya.

”Saya tidak ingin menjadi seorang seniman, karena ketika saya melihat orang tua saya yang menjadi seniman hidupnya miskin,” kenang Pak Panggah seperti dilansir surat kabar lokal Joglosemar (13/12/2009).

”Saya tidak ingin menjadi seorang seniman, karena ketika saya melihat orang tua saya yang menjadi seniman hidupnya miskin,” kenang Pak Panggah.

Pak Panggah lahir dari keluarga seniman tradisional. Ayahnya, Ki Gondosaroyo dikenal sebagai dalang pakeliran wayang kulit purwo yang menikah dengan pemain gender bernama Jami. Semasa hidupnya, Gondosaroyo mengasuh tidak kurang dari 30 orang cantrik (murid) penabuh gamelan. Bisa dibayangkan bagaimana sulitnya sang ayah membiayai hidup keluarga besarnya itu.

Ketika masih dalam kandungan, keluarga Pak Panggah mengungsi akibat geger pendudukan Belanda kedua. Dalam kondisi genting itu, sang ibu sempat terjatuh dan mengakibatkan Pak Panggah lahir dalam kondisi darurat. Begitulah asal-usul nama Pak Panggah, “Rahayu” yang berarti tetap selamat.

Dalam kondisi genting itu, sang ibu sempat terjatuh dan mengakibatkan Pak Panggah lahir dalam kondisi darurat. Begitulah asal-usul nama Pak Panggah, “Rahayu” yang berarti tetap selamat.

Seturut garis keturunannya, darah seni tradisi mengalir kental dalam diri Pak Panggah. Sebagai anak tunggal ia mewarisi keterampilan memainkan kendang dan wayang langsung dari sang ayah. Meski sadar punya bakat, Pak Panggah justru tidak menganggap gamelan sebagai hal serius.

Menukil Rustopo dalam artikel yang dimuat dalam buku Pisungsung Bunga Rampai (2019: 13-14), krisis ekonomi 1960-an berimbas pada usaha keluarga Gondosaroyo. Pak Panggah lantas diperintah ayahnya untuk ngenger (mengabdi) kepada dalang Ki Nyotocarito di Kartasura. Alasannya bukan semata-mata mematangkan kemampuanya, melainkan untuk mengurangi beban ekonomi keluarga.

Sambil bekerja serabutan, Pak Panggah melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas. Sayangnya, harapan masuk SMA favorit terasa semakin jauh. Lantaran tidak punya biaya, Pak Panggah terpaksa masuk sekolah kesenian yang bersubsidi. Sejak 1964, status baru sebagai siswa Konservatori Karawitan Indonesia (Kokar) Surakarta harus dia tekuni dengan agak berat hati.

“Awal sekolah saya stres. Saya jadi anak yang berandalan,” ungkap Pak Panggah. Ia sangat putus asa karena merasa gamelan telah merenggut cita-citanya menjadi insinyur bangunan.

Pak Panggah sebenarnya punya prestasi yang cukup cemerlang. Ia punya bakat langka berupa kemampuan menguasai dan memainkan hampir semua instrumen gamelan. Anehnya, nilai pelajaran teori karawitannya tidak pernah bagus.

Diakui Pak Panggah dalam bukunya Bothekan Karawitan I (2002: 120), nilai-nilainya di Kokar memang dipenuhi angka merah. Kesukaannya bereksperimen dengan materi pelajaran di kelas tidak jarang menimbulkan masalah. Guru-gurunya yang berderajat empu melihat perbuatannya itu sebagai pelanggaran pakem.

“Saya pernah mendapat nilai jelek ketika bermain kendang dengan mengembangkan bahan yang diajarkan di kelas,” tulis Pak Panggah dalam bukunya. Pikirannya yang kelewat kritis dan progresif sering memicu debat antara dia dengan gurunya yang masih sangat kolot.

Keterlibatan Pak Panggah dalam acara pembukaan Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI), cikal bakal ISI Surakarta, mengakhiri masa suram remajanya. Kebencian pada gamelan tiba-tiba mencair tatkala ia diminta ikut misi kebudayaan Kepresidenan tahun 1965. Dalam lawatan ke Jepang, China, dan Korea, Pak Panggah jadi orang termuda dalam rombongan karawitan sebagai penabuh kenong.

Pengalaman tampil di luar negeri lantas merevolusi paradigma Pak Panggah tentang kesenian. Gamelan, yang sebelumnya ia anggap sebagai biang kesusahan, ternyata memiliki masa depan. Sejak saat itu, ia mulai menganggap serius karawitan.

“Saya ingin mengangkat seni tradisi ke tingkat dunia,” tutur Pak Panggah saat ditanya alasan dari titik balik terpenting dalam hidupnya itu dalam The Jakarta Post.

Lulus dari Kokar, Pak Panggah melanjutkan ke ASKI. Di sana, kebiasaannya berdebat dengan guru ternyata tidak hilang. Malah berkat sifat keras kepalanya, Pak Panggah menarik perhatian khusus para maestro seni tradisional gaya Surakarta, seperti Martopangrawit dan Gendon Sedijono Humardani.

Di bawah didikan keras Gendon Humardani, Pak Panggah belajar menjinakkan sifat bandelnya. Ketua ASKI sejak tahun 1974 itu berjasa memperluas cakrawala Pak Panggah di bidang seni modern. Hasilnya terlihat di kemudian hari ketika pertemuan antara nuansa tradisional dan kontemporer mulai mendefinisikan setiap karya Rahayu Supanggah.

“Karya-karyanya sepintas terasa tradisional, tetapi isi dan maknanya selalu kontemporer, aktual, kontekstual, dan memberi imajinasi masa depan,” catat Rustopo (2019: 22).

Tahun 1979, Pak Panggah menciptakan komposisi karawitan Gambuh yang menggegerkan forum Pekan Komponis Dewan Kesenian Jakarta. Komposisi berdurasi 25 menit itu membawanya pentas di Royal Albert Hall bersama London Symphony Orchestra.

Tahun 1979, Pak Panggah menciptakan komposisi karawitan Gambuh yang menggegerkan forum Pekan Komponis Dewan Kesenian Jakarta.

Harapan menyulap gamelan dari kesenian kelas lesehan ke panggung internasional telah tercapai, tapi Pak Panggah belum puas. Ia ingin bisa memeluk dan mengobati dunia dengan gamelan. Pak Panggah percaya, spirit musik tradisional dapat melembutkan hati setiap pendengarnya.

“Saya ingin musik saya menjadi terapi bagi orang-orang yang merasa sakit hidup di dunia yang kian kacau-balau ini,” demikian harapannya.

Sambil menyelesaikan studi doktoral bidang Etnomusikologi di Université de Paris VII, Prancis, Pak Panggah melanglang buana. Sepanjang periode 1970-an sampai 1990-an, ia berkelana ke berbagai negara untuk menggelar pentas dan mengajar gamelan. Dari perjalanan itu, tercipta kerja sama kreatif bersama banyak seniman lintas kebangsaan.

Rahayu Supanggah meraih gelar DEA (Doktor lulusan Prancis) pada 1985. Sambil terus berkeliling dunia, ia menjadi pengajar di ISI Surakarta dan menerima gelar Guru Besar Karawitan di tempat yang sama. Dia mencapai purna tugas pada 2019.

Dari Timur Melihat ke Timur

Dari sekian banyak cerita pewayangan, Pak Panggah sangat terkesima dengan cerita Dewa Ruci. Buah cinta pada lakon itu ditunjukkan dengan membangun gapura ISI Surakarta berbentuk perahu. Menurutnya, Dewa Ruci layak menjadi inspirasi para seniman karena berisikan kisah pengembaraan mencari kesempurnaan hidup.

Menurutnya, Dewa Ruci layak menjadi inspirasi para seniman karena berisikan kisah pengembaraan mencari kesempurnaan hidup.

“Untuk menjadi seorang seniman yang penting adalah pengembaraan,” kata pria yang pernah menjabat Rektor ISI Surakarta tahun 1997-2001 itu dalam sebuah wawancara.

Dewa Ruci menceritakan Bima yang setia berguru mencari makna hidup kepada Durna, meski sebenarnya mereka bermusuhan. Barangkali Pak Panggah sedang merefleksikan dirinya sendiri ke dalam tokoh Bima. Kebenciannya terhadap gamelan dapat luluh seketika ia memutuskan setia kepada guru dan menjalani hidupnya sebagai pengrawit.

Terbukti, pengembaraanlah yang memperkaya khazanah musik Pak Panggah di luar tradisi Jawa. Ketika menggarap musik pentas Mahabharata (1985) karya Peter Brook di Paris, ia banyak mempelajari musik klasik Eropa. Tak hanya itu, pergaulannya dengan perkusionis Jepang, Toshiyuki Tsuchitori, menghasilkan pemahaman tentang musik tradisional Jepang yang tidak sedikit. Bersama Toshi dan Aloysius Suwardi, Pak Panggah menggelar konser Karawitan New Waves di Tokyo pada 1992.

Kemampuan Pak Panggah meracik beragam musik tradisional dari penjuru Asia teruji lewat kolaborasi multikultural pada 1997. Kerja sama seniman lintas disiplin dari enam negara Asia tersebut menghasilkan pertunjukan King Lear yang diarahkan sutradara Ong Keng Sen. Di puncak acara, Pak Panggah memainkan komposisi Bubaran Lear menggunakan instrumen gamelan khusus yang dibuat sendiri.

Kemampuan Pak Panggah meracik beragam musik tradisional dari penjuru Asia teruji lewat kolaborasi multikultural pada 1997.

Menurut laporan Tempo (14/01/2018), musik tradisional Asia punya peran menambah kompleksitas musik-musik ciptaan Pak Panggah. Komposisi yang tidak sederhana itu kembali muncul dalam musik pengiring film cine-orkestra Setan Jawa (2016), di mana ia menggabungkan tradisi gamelan Jawa-Bali dengan musik tradisional Tibet dan orkestra barat.

Setan Jawa menjadi kolaborasi terakhir antara Rahayu Supanggah dengan sutradara Garin Nugroho yang dimulai pada 2005. Sebelumnya, mereka telah melahirkan film musikal Opera Jawa (2006). Dilanjutkan karya panggung berupa trilogi yang terbagi menjadi Ranjang Besi (2008), Tusuk Konde (2010), dan Selendang Merah (2013).

Setan Jawa menjadi kolaborasi terakhir antara Rahayu Supanggah dengan sutradara Garin Nugroho yang dimulai pada 2005.

Selain gending Jawa, Pak Panggah juga akrab dengan bunyi-bunyian musik dari pelosok Nusantara. Keluwesan di bidang musik tradisional, ia praktikkan saat meracik komposisi musik I La Galigo karya Robert Wilson yang mendunia pada 2004. Selama tiga tahun, Pak Panggah meneliti materi musik Bugis dan Makassar abad ke-13 dan ke-14 yang hampir punah. Dari sana, terciptalah tafsir baru dari materi-materi kuno yang disesuaikan dengan pertunjukan modern.

“Modern tidak harus bermateri modern. Modern itu sebuah sikap bagaimana menginikan karya dalam bentuk, nilai, dan manfaat,” terang Pak Panggah saat menjelaskan proses kekaryaan musik pergelaran yang diangkat dari epos masyarakat Bugis itu.

Meski telah berkelana cukup jauh, Pak Panggah tidak pernah meninggalkan akar budaya yang membesarkannya. Bagaimanapun, ia lahir dan tumbuh dalam tradisi gamelan Jawa. Tak sekalipun dirinya berpretensi mengubah orientasi ke barat agar terkesan modern. Menurut Pak Panggah, musik tradisional dapat tampil modern tanpa harus melihat ke barat.

“Saya mengambil sudut pandang timur melihat ke timur. Bukan barat ke timur atau sebaliknya,” katanya dalam sebuah wawancara.

Dalam perbincangan dengan Rustika Herlambang yang terbit di majalah Dewi (Agustus 2008) tersebut, terlihat cara Pak Panggah memperlakukan musik tradisional bak mutiara yang harus terus digosok. Agar tradisi terus berkilau, maka harus selalu ada orang yang memberi sentuhan-sentuhan baru. Pak Panggah pikir, kalau bukan dirinya, siapa lagi?

Berkarya di Garasi Sampai Akhir

Rahayu Supanggah membuktikan sebuah gerak luwes ulang-alik antara profesi seniman dan akademisi. Menurut profesor komposisi dan etnomusikologi ini, karya seni yang unggul lahir dari proses penelitian panjang. Dibutuhkan waktu dua sampai tiga tahun baginya untuk menyelesaikan sebuah karya yang pas di hati.

Dalam wawancara dengan penulis Triyanto Triwikromo, Pak Panggah mengaku sempat merasa tidak puas dengan komposisi musik Opera Jawa. Alasannya, ia hanya punya waktu tiga bulan untuk bekerja. Kenyataan bahwa film kolaborasi pertama dengan Garin itu memborong penghargaan di sejumlah festival film di Asia dan Eropa, tetap meninggalkan kesan tak nyaman dalam dirinya.

“Saya bersedia membuat komposisi untuk Opera Jawa karena tahu ia bakal tidak dikompetisikan,” ungkap Pak Panggah. “Saya paling benci pada kompetisi,” ia menegaskan. Meski begitu, rasa tak puasnya itu tidak menghalangi puji-pujian terhadap kekayaan musik film Opera Jawa.

Lewat Opera Jawa, Pak Panggah meraih penghargaan Best Composer dalam ajang Asian Film Awards 2007 di Hong Kong. Ia menjadi satu-satunya wakil Indonesia yang berhasil menyisihkan 700 komponis lain dari seluruh dunia. Kategori penghargaan yang sama diberikan oleh Festival Film Nantes dan Festival Film Indonesia satu tahun sebelumnya.

Lewat Opera Jawa, Pak Panggah meraih penghargaan Best Composer dalam ajang Asian Film Awards 2007 di Hong Kong.

Sifatnya yang tidak gigih bersaing menjadi alasan Pak Panggah merasa nyaman tinggal di Solo. Tatkala rekan-rekan seniman sekampung halamannya seperti Sardono W. Kusumo hijrah ke Jakarta untuk mengejar mimpi di Taman Ismail Marzuki, Pak Panggah bergeming. Ia beralasan lingkungan kreatif yang penuh persaingan semacam itu tidak cocok baginya.

Keputusannya bertahan di Solo pada akhirnya berdampak panjang. Ekosistem Kota Batik itu sangat mendukung perkembangan kreativitas seniman gamelan seperti dirinya. Dari Solo, Pak Panggah masuk ke dalam arus musik kontemporer dunia bersama kelompoknya yang bernama Garasi Seni Benawa.

I Nyoman Sukerna tidak ingat persis kapan Garasi Seni Benawa didirikan. Satu hal yang dia ingat, kelompok ini terbentuk begitu saja dari hasil kumpul-kumpul Pak Panggah bersama murid dan kawan-kawannya di kampus. Idenya datang dari keinginan Pak Panggah agar rumahnya di Dusun Benawa, Karanganyar, dapat menjadi semacam bengkel seni yang mempertemukan kesenian tradisional dan modern.

“Garasi itu tempat Pak Panggah bereksperimen, lepas dari nama institusi pendidikan tinggi,” terang Sukerna saat dihubungi melalui telepon.

Lebih jauh, bekas murid Pak Panggah di Jurusan Karawitan yang kini menjabat Rektor ISI Surakarta itu menceritakan bahwa kepulangan gurunya dari Prancis tahun 1985 diikuti setumpuk permintaan kerja sama dari luar negeri. Sejak saat itu, Garasi Seni Benawa selalu dilibatkan dalam berbagai proyek kesenian multikultur. “Beberapa job yang Pak Panggah miliki yang nggarap, ya, tim Garasi,” imbuh Sukerna.

Menurut Sukerna, kepiawaian Pak Panggah dalam mengembangkan musik tradisional menjadi garapan baru, merupakan daya tariknya yang selalu dicari orang. Boleh dibilang, berkat hal itu, Pak Panggah tidak pernah mengalami pasang surut kehidupan seperti yang dikhawatirkan semasa remaja.

Sikap luwes dan tidak suka mendominasi itu pula yang mendatangkan ragam kerja sama dengan banyak musisi dan sutradara dunia. Gending Jawa ciptaan Pak Panggah bahkan pernah dipakai dalam film Once Upon A Time in America (1984) yang dibintangi Robert de Niro. Bersama Kronos Quartet, kelompok kuartet gesek asal San Francisco, Pak Panggah membawa instrumen gender dan kempul bersanding dengan bunyi-bunyian alat musik gesek.

Dalam kurun waktu 30 tahun, Pak Panggah telah terlibat dalam pembuatan puluhan album gending Jawa kontemporer. Perannya terbagi antara menjadi kolaborator untuk musisi lain, pimpinan grup, komposer, dan penabuh drum atau pemain kenong. Album Homage to Tradition (Kurmat Pada Tradisi) merupakan kompilasi karya-karya terbaiknya yang dirilis tahun 2003.

Selain mendampingi banyak musisi dan sutradara dunia, Pak Panggah menyusup ke beragam disiplin. Musiknya pernah mengiringi pagelaran tari Sardono W. Kusumo, peragaan busana Anne Avantie, dan karya perupa Indonesia di Venice Biennale. Di tangannya, musik gamelan melesat sejajar dengan musik klasik barat.

Di mata Sukerna, Rahayu Supanggah adalah sosok guru yang mampu membuktikan ajarannya melalui tindakan dan jejak yang ditinggalkan. Terbukti semasa hidupnya, Pak Panggah lebih suka menyimpan sendiri kisah hidupnya dan menolak dibuatkan biografi. Sifat luhurnya itu tersampaikan lewat komposisi gending ciptaan Peni untuk sang guru berjudul Ati Sadu yang berarti rendah hati.

Pak Panggah lebih suka menyimpan sendiri kisah hidupnya dan menolak dibuatkan biografi.

Kini, maestro karawitan itu telah tiada. Ia meninggal akibat penyakit stroke tepat di Hari Pahlawan tanggal 10 November 2020. Usianya saat itu 71 tahun.

Sebagai penghormatan, Sukerna bersama rekan-rekannya sedang memperjuangkan agar nama sang guru bisa bersanding dengan tokoh-tokoh pelopor pendidikan seni terkemuka lainnya di Solo. Ia mencontohkan GPH Joyokusumo yang abadi sebagai nama pendopo ISI Surakarta.