Cari dengan kata kunci

wayang_timplong_1200.jpg

Wayang Timplong, Kesederhanaan dari Wayang Kayu

Hidup dan berkembang di wilayah Nganjuk. Masih dimainkan pada acara bersih desa.

Kesenian

NAMA kesenian ini unik tapi terasa asing. Bahkan sebagian warga Nganjuk, Jawa Timur, tak tahu bahwa mereka memiliki kesenian tradisional yang eksis lebih dari seabad lalu. Mungkin karena itu pula kesenian wayang timplong terancam punah.

Kelahiran wayang timplong tak bisa dilepaskan dari sosok Ki Bancol atau Mbah Bancol dari Grobogan, Semarang, Jawa Tengah. Semasa kecil dia menyukai wayang klithik, yang terbuat dari kayu dan berbentuk kecil sehingga juga disebut wayang krucil. Setiap ada pagelaran wayang klithik, dia tak pernah absen menonton. Bermula dari kebiasaan inilah tumbuh rasa menyenangi wayang klithik.

Ketika pindah dan bermukim di Dusun Kedung Bajul, Desa Jetis, Kecamatan Pace, Kabupaten Nganjuk, Ki Bancol terdorong untuk membuat suatu kesenian sebagai sarana hiburan masyarakat setempat. Lahirlah wayang timplong melalui proses berbau mistik pada 1910.

Suatu ketika, Ki Bancol membelah sebatang pohon waru untuk kayu bakar. Pada satu belahan pohon itu dia melihat gambar mirip wayang. Seolah mendapat tuntunan gaib, dia memahat kayu itu menjadi sebuah wayang. Dia kemudian membuat wayang lainnya sehingga menghasilkan seperangkat wayang.

“Mbah Bancol juga menyiapkan seperangkat gamelan sederhana sebagai pelengkap,” tulis Anjar Mukti Wibowo dan Prisqa Putra Ardany dalam “Sejarah Kesenian Wayang Timplong Kabupaten Nganjuk” di Jurnal Agastya, Juli 2015.

Perangkat gamelan yang digunakan sebagai musik pengiring wayang timplong amat sederhana. Terdiri dari sebuah gambang bambu, sebuah kendang, tiga buah kenong, dan sebuah kempul (gong kecil).

Menurut Sukarman dalam “Bahasa Jawa dalam Wayang Thimplong Jawa Timur” pada Kongres Bahasa Jawa di Semarang, 15-20 Juli 1991, setelah gamelan tercipta lalu digubahlah gendhing pengiring yang ditandai dengan nama grendhel untuk jejeran, ladrang untuk perang, dan awe-awe untuk tandhakan.

“Oleh karena perangkat gamelan yang digunakan sangat sederhana , ketiga gendhing tersebut terkesan sama menurut telinga awam,” ujar Sukarman.

Karena bunyi gambang bambu yang terdengar thing-thong dan bunyi “plong” dihasilkan dari kenong, orang menyebut kesenian ini sebagai wayang timplong . Menurut Sukarman, di Nganjuk wayang timplong sering disebut dengan wayang kricik karena wayangnya bila dimainkan menimbulkan bunyi kricik-kricik. Banyak pula yang menyebut dengan nama wayang gung karena kesan bunyi gamelan yang berasal dari kempul.

Karena terinspirasi dari wayang klithik dan sama-sama terbuat dari kayu, ada yang memasukkan wayang timplong sebagai salah satu varian wayang klithik. Namun ada pula yang memasukkan wayang timplong dalam kategori sendiri karena adanya perbedaan mendasar dengan wayang klithik.

Wayang timplong dibuat dari kayu; biasanya kayu sengon laut atau mentaos. Wayang berbentuk pipih dengan bagian badan tak diukir seperti wayang kulit dan bagian tangan terbuat dari kulit binatang. Penekanan wajah tiap wayang ditandai dengan pemberian warna hitam dan putih.

Dalam satu pagelaran terdapat kurang lebih 70 tokoh wayang yang terdiri dari beberapa tokoh, binatang, dan senjata. Namun yang pakem ada Sembilan, yakni tokoh Ksatria (prajurit), Satria Muda, Putri Sekartaji, Ratu (Putri), Panji, Satrio Sepuh, Patih, Tumenggung dan Ratu (Kediri, Majapahit, Jenggala) tergantung cerita. Pada tokoh wayang timplong tak ada penokohan khusus kecuali Panji, Sekartaji, dan Kilisuci. Sedangkan tokoh lain hanya sebagai pemeran biasa. Panakawan ada dua, yakni Kedrah dan Gethik Miri.

Kelir (layar) terbuat dari kain berwarna putih dan diberi plipit (penguat tepi)  di bagian pinggirnya yang berwarna hitam. Di bagian tengah kelir dilubangi sebagai tempat dalang memainkan wayang. Dilengkapi pula dengan gunungan yang terbuat dari burung merak dan golekan, yang biasanya dimainkan di awal dan akhir pertunjukan.

Wayang timplong dimainkan seorang dalang dibantu lima orang panjak atau pemain gamelan. Tak ada pesinden untuk mengiringi pementasan.

Soal lakon atau cerita, pementasan kesenian wayang timplong mengambil cerita Panji yang berlatar belakang hubungan kerajaan Jenggala dan Kediri. Ada beberapa lakon yang biasa dipentaskan: Babad Kediri, Asmoro Bangun, Panji Laras Miring, Jaka Umbaran, Jaka Slewah, Dewi Galuh, Dewi Sekartaji dan lain-lain.

Keahlian mendalang wayang timplong diwariskan Ki Bancol, sebagai pencipta sekaligus dalang pertama, secara turun-temurun. Mula-mula kepada Darto Dono, lalu Ki Karto Jiwul, Ki Tawar, Ki Gondo Maelan, Ki Talam, dan Ki Jikan –dua nama terakhir beralih profesi lain. Sejak era Ki Gondo Maelan, dalang wayang timplong sudah tidak memiliki garis keturunan langsung dengan Ki Bancol.

Pada awalnya, wayang timplong berfungsi sebagai hiburan populer kendati hanya hidup dan berkembang di wilayah Nganjuk. Ia meraih popularitas pada 1970-an. Setelah itu popularitasnya mulai menurun. Bahkan wayang timplong mengalami ancaman kepunahan.

Menyikapi hal tersebut, dilansir kongres.kebudayaan.id, Pemerintah Kabupaten Nganjuk menggelar diskusi untuk menggali permasalahan seputar wayang timplong. Hasil diskusi pleno tim penyusun Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah (PPKD) Kabupaten Nganjuk tahun 2018, yang dihadiri dalang wayang timplong dan sejumlah anggota Persatuan Pedalangan Indonesia (Pepadi), menyimpulkan ruang gerak yang sempit, tak adanya regenerasi, pertunjukan kurang menarik, musik yang sederhana, dan manajemen pemasaran menjadi beberapa penyebab wayang timplong kian tersisih. Beberapa upaya coba dilakukan, semisal memadukan dengan campursari, tapi belum membuahkan hasil.

Saat ini, wayang timplong hanya dipentaskan dalam acara ruwatan atau bersih desa untuk tolak bala, melepas nadzar, atau acara khusus tertentu di pedesaan daerah Nganjuk.*

Informasi Selengkapnya
  • Indonesia Kaya

  • Indonesia Kaya

  • Anjar Mukti Wibowo dan Prisqa Putra Ardany dalam “Sejarah Kesenian Wayang Timplong Kabupaten Nganjuk” di Jurnal Agastya, Juli 2015

    Sukarman dalam “Bahasa Jawa dalam Wayang Thimplong Jawa Timur” pada Kongres Bahasa Jawa di Semarang, 15-20 Juli 1991

    “Ternyata di Dunia Hanya Ada Lima Dalang Wayang Timplong”, 10 September 2018, http://kongres.kebudayaan.id/ternyata-di-dunia-hanya-ada-lima-dalang-wayang-timplong/

This will close in 10 seconds