Masyarakat adat Nusantara masih memegang teguh tradisi dan kebudayaan serta warisan kultural dari para leluhurnya. Baik dari pola hidup maupun dari berbagai ritual adatnya. Ngata Toro merupakan desa adat yang masih memegang teguh tradisi para leluhur. Ngata Toro atau Desa Toro merupakan sebuah desa yang berada di dekat Taman Nasional Lore Lindu, tepatnya di Kecamatan Kulawi, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Desa ini terkenal dengan varietas padi unggulan seperti padi Kamba dan padi Kanari.
Ngata Toro merupakan desa adat yang masih memegang teguh tradisi para leluhur.
Menurut pengakuan salah seorang tetua adat, masyarakat Desa Toro sejak dulu sudah menggantungkan hidupnya pada dua nilai moral, yaitu hintuvua dan katuvua. Hintuvua adalah nilai-nilai moral dalam membangun hubungan antar sesama manusia dengan berlandaskan saling cinta, penghargaan, solidaritas, dan musyawarah. Sedangkan, katuvua adalah nilai-nilai ideal tentang pola hubungan antara manusia dengan lingkungannya yang didasari pada keselarasan pola hidup dengan alam.
Berdasarkan dua nilai moral tersebut, tidak salah jika Desa Toro mempunyai hasil panen yang baik sehingga menjadi lumbung padi bagi Kabupaten Sigi. Apalagi, padi dari desa ini terkenal memiliki kualitas yang baik.
Padi dari desa ini terkenal memiliki kualitas yang baik.
Untuk mengungkapkan rasa syukur atas panen yang berlimpah tersebut, masyarakat Desa Toro mempunyai ritual adat yang menyangkut hari panen raya bernama vunja ada mpae. Upacara ini biasa dilakukan ketika menjelang panen raya.
Ritual vunja ada mpae diawali dengan pembicaraan antara para tetua desa dengan orang-orang yang berwenang merancang segala kegiatan seputar pertanian, dikenal dengan nama tina ngata. Orang-orang yang tergabung dalam tina ngata adalah mereka yang memiliki pengetahuan tentang ilmu perbintangan, sehingga bisa menjadi pedoman dalam memutuskan berbagai hal yang berkaitan dengan pertanian, pengolahan ladang, dan sawah.
Vunja ada mpae adalah ritual adat untuk mengucap rasa syukur atas panen yang berlimpah.
Hasil perbincangan para tetua adat dengan tina ngata kemudian disebarkan kepada masyarakat desa. Setelah berita akan dilaksanakannya perayaan vunja ada mpae menyebar di masyarakat, kemudian para tetua adat dan tina ngata bertemu kembali untuk menentukan hari dilaksanakannya perayaan tersebut.
Setelah hari perayaan sudah ditentukan, dilaksanakanlah maeko. Maeko adalah acara mengundang masyarakat desa tetangga untuk turut serta dalam perayaan vunja ada mpae. Maeko merupakan salah satu implementasi dari nilai hintuvu yang diajarkan oleh para leluhur Desa Toro dalam kehidupan bermasyarakat.
Perayaan vunja ada mpae pada umumnya dilaksanakan di tanah lapang. Di bagian tengah tanah lapang tersebut, dibuat bangunan adat yang disebut lobo. Lobo adalah bambu-bambu yang dibentuk sedemikian rupa untuk meletakkan berbagai hasil panen desa.
Pada perayaan ini, masyarakat desa bergembira menikmati hidangan yang telah tersedia, berupa kue-kue dan hasil kebun. Perayaan vunja ada mpae juga menjadi sarana bagi masyarakat untuk berbaur dengan para tetua adat – yang mengenakan pakaian yang terbuat dari kulit kayu yang disebut mbesa.
Pada tahap selanjutnya, tetua adat akan memimpin doa sebagai perwujudan rasa syukur atas panen yang melimpah. Disusul dengan tabuhan giam (gendang) yang dilanjutkan dengan kemunculan para penari raego. Tari raego merupakan tari sakral yang hanya dipentaskan saat perayaan vunja ada mpae. Tari ini diiringi musik yang bersumber dari tabuhan gendang dan instrumen gitar. Di sela-sela musik, terdapat syair-syair yang isinya mengandung ucapan syukur dan kegembiraan.
Perayaan hasil panen merupakan representasi dari kearifan lokal masyarakat Desa Toro terhadap alam dan sesama manusia.
Vunja ada mpae merupakan upacara adat yang lekat hubungannya dengan ciri masyarakat Nusantara yang agraris. Perayaan hasil panen tersebut merupakan representasi dari kearifan lokal masyarakat Desa Toro terhadap alam dan sesama manusia. Selain itu, juga sebagai ucapan rasa syukur kepada Tuhan atas hasil panen yang melimpah.