TERLEBIH dahulu lukah atau bubu didandani menyerupai manusia. Sebuah kayu panjang dimasukkan ke dalam lukah sehingga membentuk tangan. Ujung lukah yang lancip ditancapkan labu sehingga mirip kepala.
Dua lelaki (peladen) duduk berhadapan dan memegang bagian bawah lukah. Dukun kemudian membacakan mantra. Begitu mantra mulai dilantunkan, kedua lelaki itu mulai menggoyang-goyangkan lukah. Goyangan lukah makin lama makin cepat. Bergerak ke kanan dan ke kiri. Adakalanya berputar-putar.
Kedua lelaki itu kewalahan dan harus berdiri sambil tetap memegang lukah. Tapi mereka akhirnya tak kuat lagi mengendali kan lukah. Mereka melepaskan pegangan. Dalam kesempatan lain, ada pula yang terpelanting. Tatkala lukah terlepas, daya magis pada lukah pun sirna.
Itulah puncak dari permainan rakyat lukah gilo yang hidup dan berkembang di Jambi, Riau, Sijunjung, Pesisir Timur Sumatera Utara, dan daerah lainnya di Sumatera.
Keberadaan lukah gilo tak bisa dilepaskan dari tradisi nelayan menangkap ikan. Para nelayan mengandalkan lukah yang berbentuk kerucut panjang dan terbuat dari bambu atau rotan. Lukah dimantrai agar ikan menjadi gilo (gila atau mabuk) lalu masuk ke dalam lukah.
Menurut Desfiarni dalam Tari Lukah Gilo, tradisi yang berkaitan erat dengan kepercayaan animisme dan dinamisme itu kemudian berkembang menjadi sarana guna-guna dan pengobatan. Ketika masyarakat membutuhkan hiburan, tradisi ini diangkat ke arena pertunjukan yang sarat nuansa supranatural.
Pertunjukan biasanya dilaksanakan pada malam hari. Malam dianggap waktu yang tepat untuk memanggil roh yang akan dimasukkan ke dalam lukah. Pertunjukan dipimpin oleh seorang pawang atau dukun –disebut kulipah dalam bahasa Minang atau bomoh dalam bahasa Melayu. Dalam permainan boneka bernuansa magis ini, lukah bisa menjadi gilo atau gila karena dapat bergerak liar setelah dimantrai. Mirip dengan jailangkung yang dikendalikan seorang dukun.
Secara kosmologi, tradisi ini menunjukkan perlunya manusia menjaga hubungan dengan alam, termasuk alam gaib. Sebab, alam menyediakan segala kebutuhan mereka untuk hidup. Merusak alam berarti merusak urat nadi kehidupan mereka dan juga tatanan alam gaib.
Wan Syaifuddin dalam Tarian Lukah atau Jambang Lukah Menari menyebut hakikat pemanggilan roh dengan medium mantra dalam permainan rakyat ini dimaksudkan untuk mengambil hati dan sekaligus mendamaikan hati para roh. Dengan adanya upacara ritual tarian lukah, para roh telah dihargai keberadaanya sehingga mereka menjadi damai tanpa mengganggu manusia di sekitarnya.
Lukah gilo kerap dimainkan dalam upacara pengangkatan penghulu, perhelatan Nagari, dan upacara perkawinan. Permainan rakyat ini kemudian menginspirasi lahirnya sebuah garapan tari lukah gilo.
“Lukah gilo pada awalnya tidak disertai dengan unsur seni lain seperti musik, vokal, atau instrumen. Pada perkembangan selanjutnya unsur seni lain digunakan sebagai musik pengiring dan busana dipilih yang sesuai, bahkan lukah pun ditarikan sehigga dapat disebut sebagai tari lukah gilo,” sebut Desfiarni.
Tarian ini tidak menjiplak secara utuh ritual lukah gilo. Ia hanya mengangkat ide dasar dari tradisi tersebut sehingga menghasilkan sebuah seni pertunjukan yang baru.
Secara umum, tari lukah gilo dipentaskan oleh laki-laki dan perempuan. Jumlah penari tidak ditentukan. Mengingat tarian ini dibawakan sesuai dengan besar-kecil panggung. Bagian awal pertunjukan, yang menampilkan permainan rakyat lukah gilo, biasanya hanya dibawakan para pemain laki-laki. Sebab, laki-laki memiliki tenaga yang kuat ketika lukah mengalami trance. Jadi, meskipun merupakan bentuk baru dari tradisi lukah gilo, unsur magis dalam kesenian tradisi tersebut tidak hilang sepenuhnya.
Dalam pementasan, para penari mengenakan pakaian tradisional sesuai budaya setempat. Ada juga yang mengenakan baju lengan pendek dan celana panjang dengan motif seperti susunan bambu. Warnanya pun kuning sesuai warna bambu, dan dikombinasi dengan warna hitam dan coklat. Rias wajahnya cenderung natural namun terkesan tajam dengan memadukan eye shadow berwarna hitam dan silver.
Kehadiran properti boneka lukah gilo menjadi penting dalam pementasan ini. Boneka tersebut seolah bernyawa dan memainkan peran dalam tarian. Selain itu, digunakan pula lukah tanpa atribut yang digunakan para penari. Jumlah, motif, dan ukurannya bisa bervariasi. Bisa dikatakan tarian ini menekankan kontrol atau pengendalian lukah.
Dari sisi koreografi, gerak tari didominasi oleh gerak teatrikal. Menurut Suaida, Sherli Novalinda, dan Syaiful Erman dalam “Konsep Ritual dalam Penciptaan Karya Tari Gilo Lukah” di jurnal Laga-Laga Vol. 4 No.2, September 2018, tarian ini bertumpu pada gerakan tangan mengayun, hentakan kaki, dan badan mengayun. Selain itu, penari bisa menari di atas, di bawah, atau di dalam lukah. Lukah bisa dimasukan ke kepala, badan, tangan, bahkan lukah bisa diangkat-angkat dengan pola gerakan sesuai keunikan dari lukah gilo, yakni bergoyang ke kiri dan ke kanan, melambung ke atas ke bawah, bergetar, dan tidak terkendali.
Sebagai seni kreasi baru, tari lukah gilo juga dikembangkan para penggiat seni dan sanggar tari. Penggarapannya tergantung ide dan kreativitas koreografernya. Baik dari sisi penambahan musik, pemilihan kostum, maupun gerak tari. Hal ini dilakukan agar kesenian tradisi ini tidak hilang ditelan zaman.*
Baca juga: Tari Pendet Tari Penyambutan Dewa dan Manusia