Bagi masyarakat, kedatangan tamu istimewa adalah momen yang sangat berharga, seperti yang dialami oleh masyarakat Blambangan pada masa lalu. Mereka tak dapat menyembunyikan kebahagiaan ketika mendengar kabar bahwa rombongan keluarga besar Prabu Hayam Wuruk bersama Mahapatih Gajah Mada akan berkunjung ke wilayah mereka. Kebahagiaan itu mereka ungkapkan melalui tari bedoyo wulandaru, yang menjadi representasi sukacita atas kedatangan tamu agung tersebut.
Tari Bedoyo Wulandaru merepresentasikan sukacita masyarakat Blambangan atas kedatangan Prabu Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada.
Secara etimologi, “wulandaru” merupakan gabungan dari “wulan” dan “ndaru”. “Wulan” berarti bulan, yang secara luas dapat dimaknai menerangi kegelapan. “Ndaru” berarti bintang jatuh, atau secara filosofis dimaknai sebagai tanda keberuntungan.
Sementara, “bedoyo” merujuk pada para penari yang membawakannya. Bedoyo merupakan ungkapan yang ditujukan kepada para wanita yang membawakan sebuah tari.
Melalui tarian ini, masyarakat Blambangan ingin menggambarkan kebahagiaan mereka yang seolah mendapat berkah cahaya bulan dan keberuntungan.
Gerak tari dan musik Tari Bedoyo Wulandaru merupakan pengembangan dari musik sablang dan gandrung Banyuwangi.
Gerak tari dan musik yang mengiringi tari bedoyo wulandaru merupakan pengembangan serta pengayaan yang terdapat pada musik sablang dan gandrung Banyuwangi.
Pada akhir pertunjukan, para penari melemparkan beras kuning. Beras kuning dipercaya dapat mengusir segala bala dan gangguan. Selain itu, mereka juga melemparkan logam benggol. Logam benggol, yang dulunya merupakan mata uang, melambangkan kesetiaan rakyat kepada pemerintah.
Tari Bedoyo Wulandaru masih dilestarikan hingga kini dan sering dipentaskan dalam berbagai acara, termasuk Festival Karya Tari tingkat provinsi Jawa Timur di mana berhasil meraih juara umum.