Tanjidor, Jejak Musik Budak yang Menjadi Warisan Betawi - Indonesia Kaya

Cari dengan kata kunci

tanjidor_ie_1290

Tanjidor, Jejak Musik Budak yang Menjadi Warisan Betawi

Dulu dimainkan di halaman para tuan tanah, kini tanjidor jadi bagian tak terpisahkan dari arak-arakan dan pesta rakyat Betawi.

Kesenian
Tagar:

Tanjidor adalah kesenian tradisional Betawi berbentuk orkes yang dimainkan secara berkelompok. Musik ini banyak dipengaruhi oleh tradisi musik Eropa, terutama dalam penggunaan alat musik tiup. Istilah “tanjidor” sering disingkat menjadi tanji, yang berarti “menabuh”. Karena instrumen yang paling dominan adalah tambur dengan bunyi khas “dor-dor-dor”, maka istilah tersebut kemudian berkembang menjadi “tanjidor”.

Asal-usul tanjidor belum dapat dipastikan secara pasti.

Asal-usul tanjidor belum dapat dipastikan secara pasti. Paramita Rahayu Abdurachman dalam Bunga Angin Portugis di Nusantara menyebut bahwa tanjidor mungkin berasal dari sisa kebudayaan Islam—baik dari Moro maupun wilayah lainnya. Secara etimologis, istilah “tanjidor” memiliki kemiripan dengan beberapa kata dalam bahasa Portugis: tanger berarti memainkan alat musik, tangedor (diucapkan tanjedor) merujuk pada orang yang memainkan alat musik berdawai di luar ruangan, dan tangedores digunakan untuk menyebut brass band yang tampil dalam parade militer atau pawai keagamaan.

Meski sama-sama menggunakan sistem tangga nada diatonik, kesenian musik di Portugis cukup berbeda dari tanjidor yang berkembang di masyarakat Betawi. Tanjidor justru lebih menonjolkan penggunaan alat musik tiup sebagai elemen utama dalam permainannya.

Dari Halaman Tuan Tanah ke Jalanan Betawi

Kemunculan tanjidor kerap dikaitkan dengan kebiasaan para pejabat dan orang kaya di wilayah Batavia (kini Jakarta) dan sekitarnya, yang memiliki ensambel musik pribadi di rumah mereka. Ensambel ini umumnya dimainkan oleh para budak. Salah satu tokoh yang berperan penting dalam sejarah awal tanjidor adalah Augustijn Michiels, atau yang lebih dikenal sebagai Mayor Jantje—seorang tuan tanah di Citrap (kini Citeureup), Bogor. Peran Mayor Jantje dalam kemunculan tanjidor diulas oleh sejarawan Mona Lohanda dalam pengantar buku Mayor Jantje: Cerita Tuan Tanah Batavia Abad ke-19 karya Johan Fabricius.

Mayor Jantje memiliki beberapa jenis ensambel musik di kediamannya, termasuk ensambel Eropa, marching band tentara, ensambel Tionghoa, dan gamelan. Sebagai tuan tanah yang memiliki ratusan budak, ia memanfaatkan keahlian mereka—termasuk dalam bidang musik. Sebanyak 30 budak yang mahir memainkan alat musik membentuk kelompok yang dikenal sebagai Korps Musik Papang (Het Muziek Corps der Papangers).

Para pemusik tersebut bertugas menghibur Mayor Jantje dalam berbagai pesta dan jamuan makan. Mereka memainkan musik sambil berbaris mengelilingi meja yang dipenuhi para tamu. Setelah Michiels meninggal pada tahun 1833, keluarganya melelang 30 musisi budak beserta instrumen-instrumen mereka.

Setelah sistem perbudakan dihapuskan, para budak yang telah merdeka dan memiliki keahlian bermusik membentuk kelompok-kelompok musik yang kemudian dikenal dengan nama tanjidor.

Setelah sistem perbudakan dihapuskan, para budak yang telah merdeka dan memiliki keahlian bermusik membentuk kelompok-kelompok musik yang kemudian dikenal dengan nama tanjidor. Awalnya mereka memainkan lagu-lagu Eropa seperti polka, mars, lancier, dan musik untuk pesta dansa atau parade. Seiring waktu, repertoar mereka berkembang dengan memasukkan lagu-lagu Betawi, Melayu, dan berbagai lagu daerah lainnya.

Musik tanjidor kemudian berkembang di wilayah-wilayah penyangga Jakarta seperti Bekasi, Depok, Tangerang, Bogor, dan Karawang. Para pemainnya umumnya berasal dari daerah-daerah tersebut, bukan dari pusat kota Jakarta. Pada masa lalu, para pemusik tanjidor tidak menjadikan musik sebagai mata pencaharian utama. Sebagian besar dari mereka adalah petani. Ketika musim tanam tiba, alat musik disimpan di rumah; namun setelah panen, mereka berangkat ke Jakarta untuk mengamen atau mengisi berbagai acara seperti pesta pernikahan, arak-arakan pengantin, sunatan, hingga perayaan Imlek dan Cap Go Meh.

Kelompok tanjidor biasanya terdiri dari 7 hingga 10 orang dan membawakan berbagai jenis lagu.

Kelompok tanjidor biasanya terdiri dari 7 hingga 10 orang dan membawakan berbagai jenis lagu—mulai dari repertoar diatonik hingga lagu-lagu dengan tangga nada pelog dan slendro. Beberapa lagu yang umum dimainkan antara lain Batalion, Kramton, Bananas, Delsi, Was Tak-tak, Welmes, Cakranegara, serta lagu-lagu tradisional seperti Jali-Jali, Surilang, Sirih Kuning, Kicir-Kicir, dan Cente Manis.

Dalam setiap pementasan, kelompok musik khas Betawi ini biasanya mengikuti pola tertentu. Pertunjukan diawali dengan lagu-lagu bertempo mars dan walz, kemudian dilanjutkan dengan ragam lagu lainnya seperti lagu-lagu Betawi atau gambang kromong, lagu Sunda (seperti jaipongan), lagu Melayu, hingga lagu dangdut.

Kesenian tanjidor dikenal luwes dan mudah beradaptasi dengan bentuk kesenian lain. Seperti dicatat dalam buku Wajah Pariwisata Jawa Barat, adaptasi ini melahirkan berbagai bentuk baru, antara lain jikres (tanjidor-orkes), jinong (tanji-lenong), bajidoran (tanjidor dengan kliningan Sunda), tanji godot (tanjidor dengan tambahan instrumen biola dan cello), serta jipeng (tanji-topeng). Proses adaptasi ini juga mendorong perluasan dan penyesuaian pada instrumen yang digunakan dalam tanjidor.

Ragam Instrumen dalam Tanjidor

Sebagai sebuah ensambel, tanjidor terdiri dari berbagai alat musik tiup dan perkusi, seperti klarinet, piston (terompet), trombon, saksofon tenor, saksofon bas, drum (membranofon), simbal (perkusi), dan tambur.

Klarinet kadang disebut suling atau kronet, dan menghasilkan suara melengking bernada tinggi. Terompet dalam tanjidor umumnya dikenal dengan sebutan piston, mengacu pada sistem katup (klep) yang ditekan untuk menghasilkan berbagai nada. Trombon, yang sering dijuluki “terompet panjang”, memiliki tabung resonansi yang dapat digerakkan maju-mundur untuk mengatur tinggi nada.

Selain itu, ada juga tuba tenor—sering disebut “tenor” atau “tenor jongkok” karena biasanya dimainkan di pangkuan pemain, membuat posisi tubuh seperti sedang jongkok. Sementara itu, tuba bas disebut juga “bas”, “bombardon”, atau “bas selendang” karena cara memainkannya disandang melingkari bahu seperti selendang.

Instrumen lain dalam ensambel ini adalah alat-alat musik perkusi.

Instrumen lain dalam ensambel ini adalah alat-alat musik perkusi. Tambur kecil dimainkan dengan memukul membrannya menggunakan dua tongkat kayu. Tambur besar—sering disebut tanji—dimainkan dengan satu tongkat pemukul berkepala kain lunak pada satu sisi membran, sementara tangan lainnya memegang simbal yang dipukulkan ke simbal lain yang diletakkan di atas tambur besar. Selain itu, ada pula drum atau membranofon yang terbuat dari kulit direntangkan, dimainkan dengan tangan atau batang pemukul. Beberapa kelompok tanjidor juga menambahkan triangle sebagai pelengkap ritmis.

Saat ini, musik tanjidor paling sering ditampilkan dalam arak-arakan pengantin dan penyambutan tamu agung, mempertahankan fungsinya sebagai musik perayaan dalam tradisi masyarakat Betawi.

Tagar:
Informasi Selengkapnya
  • Indonesia Kaya

  • Tim Indonesia Exploride

  • Johan Fabricius. Mayor Jantje: Cerita Tuan Tanah Batavia Abad Ke-19 (dengan pengantar oleh Mona Lohanda), Jakarta: Masup Jakarta, 2008.
    Paramita Rahayu Abdurachman. Bunga Angin Portugis di Nusantara. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008.
    Wajah Pariwisata Jawa Barat. Bandung: Dinas Pariwisata Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat dan Yayasan 17 Oktober, 1986.