Lepo Lorun: Surga Tenun Ikat Eksotis dari Nusa Tenggara Timur - Indonesia Kaya

Cari dengan kata kunci

lepo_lerun_1290.jpg

Lepo Lorun: Surga Tenun Ikat Eksotis dari Nusa Tenggara Timur

Sentra tenun ikat NTT yang melestarikan budaya dan memberdayakan masyarakat melalui produksi kain berkualitas tinggi dengan pewarna alami.

Pariwisata

Dunia fashion di Indonesia sebenarnya memiliki banyak potensi yang berkaitan dengan seni bernilai tinggi, yang bisa dimanfaatkan untuk menambah keragaman dalam industri mode tanah air. Songket, tenun ikat, dan batik hanyalah sebagian kecil dari benda seni tersebut, yang dapat diolah menjadi produk bermutu tinggi. Seiring dengan perkembangan zaman, kini banyak usaha yang digalakkan untuk menggerakkan penggunaan barang tradisional dalam industri fashion Indonesia.

Namun, pertanyaannya adalah, apakah minat masyarakat Indonesia untuk membeli barang-barang tersebut sudah cukup tinggi? Salah satu faktor yang mendukung keberlanjutan barang seni bernilai tinggi ini adalah minat konsumen untuk menggunakannya. Selain itu, kita juga perlu bertanya tentang kontribusi yang telah diberikan untuk mempertahankan kelestarian barang-barang seni tersebut.

Diprakarsai oleh Alfonsa Horeng, sentra industri ini diresmikan pada 24 Mei 2004 untuk mempertahankan budaya warisan leluhur.

Sentra Industri Lokal Lepo Lorun (STILL) adalah salah satu bukti nyata dari usaha pelestarian barang seni bernilai tinggi yang terletak di Desa Nita, Kecamatan Nita, Kabupaten Sikka, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Diprakarsai oleh Alfonsa Horeng, sentra industri ini diresmikan pada 24 Mei 2004 dengan tujuan untuk mempertahankan budaya yang sudah turun-temurun diwariskan oleh para leluhur. Selain itu, STILL juga bertujuan untuk mengenalkan produk tenun ikat khas daerah tersebut ke luar daerah, bahkan hingga ke mancanegara.

Proses pembuatan tenun ikat di Lepo Lorun masih dilakukan secara manual, dengan pewarnaan menggunakan bahan-bahan alami seperti kulit tanaman mengkudu, kayu pohon hepang, dadap serep, kunyit, dan kulit pohon mangga. Alfonsa Horeng mengungkapkan bahwa pada awalnya, sentra industri ini dimulai sebagai proyek “iseng”. Namun, setelah melihat keseriusan ibu-ibu yang bergabung dalam proyek ini, ia memutuskan untuk menggarapnya dengan lebih serius.

Sentra tenun ikat ini tersebar di tujuh belas desa di Kabupaten Sikka.

Sentra tenun ikat ini tersebar di tujuh belas desa di Kabupaten Sikka. Para penenun diberi gelar “seniwati”, karena menurut Alfonsa, tenun ikat merupakan seni bernilai tinggi dan bagian dari identitas budaya bangsa yang termasuk dalam kategori folk art. Melihat usaha para ibu-ibu di Kabupaten Sikka, kita seharusnya mulai berkontribusi untuk melestarikan barang seni yang sangat bernilai ini. Salah satu bentuk kontribusi yang nyata adalah dengan membantu menyebarkan informasi mengenai keistimewaan tenun ikat tersebut.

Informasi Selengkapnya
  • Elsa Dwi Lestari

  • Indonesia Kaya