Mengungkap Makna Sakral di Balik Sayyang Pattuduq, Tradisi Kuda Penari Khas Tanah Mandar - Indonesia Kaya

Cari dengan kata kunci

sayyang pattuduq

Mengungkap Makna Sakral di Balik Sayyang Pattuduq, Tradisi Kuda Penari Khas Tanah Mandar

Arak-arakan kuda penari yang menjadi puncak perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW dan khataman Al-Qur'an di Tanah Mandar.

Tradisi

Kuda yang dihiasi aksesori itu menari-nari mengikuti irama tabuhan rebana yang bertalu-talu dalam sebuah pertunjukan yang disebut sayyang pattuduq. Kepalanya mengangguk-angguk, bergoyang mengikuti ketukan rebana, sementara kaki depannya melangkah seirama dengan musik yang mengiringi. Di atas punggung kuda, seorang perempuan berpakaian adat Mandar duduk dengan anggun, ditemani bocah laki-laki berpakaian ala Arab dengan gamis panjang.

Sesekali, kuda itu mengangkat kaki depannya tinggi-tinggi, sementara empat pria pendamping sigap mengendalikannya. Iringan musik rebana dan selawat dari para pengiring kuda terus terdengar meriah, disambut dengan kegembiraan oleh warga di setiap rumah yang dilewati. Pertunjukan ini merupakan upaya melestarikan tradisi turun-temurun dari nenek moyang mereka di tanah Mandar, Sulawesi Barat.

Kaitan Sayyang Pattuduq dengan Nabi Muhammad SAW

Tradisi ini sering digelar untuk merayakan maulid Nabi Muhammad SAW. Dalam bahasa Mandar, ‘sayyang’ berarti kuda, sedangkan ‘pattuduq’ berarti menari. Jadi, secara harfiah, ‘sayyang pattudu’ dapat diartikan sebagai tradisi mengarak anak yang baru khatam Al-Qur’an menggunakan kuda yang menari. Saat membawa anak, kuda akan menari-nari dengan menggoyangkan kepala dan kedua kaki depannya mengikuti irama tabuhan rebana.

Dalam bahasa Mandar, ‘sayyang’ berarti kuda, sedangkan ‘pattuduq’ berarti menari.

Ada beberapa versi mengenai asal-usul tradisi sayyang pattuduq di tanah Mandar. Versi pertama menyebutkan bahwa tradisi ini telah dimulai sejak abad ke-14 pada masa pemerintahan raja pertama Kerajaan Balanipa, Imayambungi, yang bergelar Todilaling. Namun, versi yang lebih kuat menyatakan bahwa tradisi sayyang pattuduq muncul seiring dengan masuknya agama Islam ke wilayah Kerajaan Mandar.

Menurut Muhammad Ridwan Alimuddin dalam buku Polewali Mandar, Alam, Budaya, Manusia, tradisi sayyang pattuduq diperkirakan bermula pada abad ke-16, seiring dengan masuknya Islam sebagai agama resmi di beberapa kerajaan Mandar. Awalnya, tradisi ini hanya berkembang di lingkungan istana dan dilaksanakan sebagai bagian dari perayaan maulid Nabi Muhammad SAW. Pemilihan kuda sebagai sarana pertunjukan dikarenakan hewan ini merupakan alat transportasi utama pada masa itu.

Sebelum agama Islam masuk di tanah Mandar, kuda menjadi simbol kekerasan, kekuasaan, kekuatan, dan kemewahan. Setelah Islam masuk, kuda mulai dilatih dan dididik sebagai alat pendidikan. Pesantren-pesantren yang bermunculan setelah masuknya Islam mewajibkan para santrinya untuk melatih dan mendidik kuda. Seorang santri belum dianggap berhasil jika belum mampu melatih kuda hingga patuh, meskipun telah menyelesaikan seluruh pengajian.

Karena itu, para santri mulai melatih kuda untuk menari mengikuti irama rebana dan senandung selawat. Dari sinilah, sayyang pattuduq mulai berkembang di lingkungan istana kerajaan dan disakralkan. Pertunjukannya hanya digelar pada upacara perayaan maulid Nabi Muhammad SAW. Namun, seiring berjalannya waktu, tradisi sayyang pattuduq berkembang menjadi perayaan bagi anak-anak yang telah khatam Al-Qur’an di setiap kampung di Sulawesi Barat. Artinya, tradisi ini kini dapat dinikmati dan diikuti oleh seluruh lapisan masyarakat. Masyarakat Mandar meyakini bahwa tradisi sayyang pattuduq dapat menjadi motivasi bagi anak-anak untuk rajin mengaji dan menyelesaikannya.

Masyarakat Mandar meyakini bahwa tradisi sayyang pattuduq dapat menjadi motivasi bagi anak-anak untuk rajin mengaji dan menyelesaikannya.

Arak-Arakan Perayaan Hafalan Al-Qur’an

Sayyang pattuduq, tradisi arak-arakan kuda penari, biasanya digelar setelah tanggal 12 Rabiul Awal. Acara ini melibatkan puluhan hingga ratusan kuda penari yang membawa anak-anak yang telah menyelesaikan hafalan Al-Qur’an. Kuda-kuda ini bukan sembarang kuda; mereka dilatih secara khusus oleh pelatih yang jumlahnya sangat terbatas di Polewali Mandar. Pelatihan berlangsung selama lima hingga enam hari, di mana kuda-kuda ini diajarkan gerakan-gerakan khas seperti menganggukkan kepala dan menghentakkan kaki depan. Sebelum memulai pembelajaran, pelatih melakukan ritual dengan mengikat tali pada kepala kuda dan membelainya dari ujung kepala hingga ekor.

Pada hari perayaan, kuda-kuda yang telah dilatih itu dihias dengan aksesori dan pernak-pernik adat. Kuda-kuda yang sudah berhias kemudian ditunggangi oleh seorang wanita dewasa yang disebut pissawe, yang mengenakan pakaian adat pokko. Di belakang pissawe, duduk anak-anak yang telah khatam Al-Qur’an. Anak perempuan mengenakan kerudung pandawara, sedangkan anak laki-laki mengenakan sorban dan gamis. Pissawe, sebagai simbol, harus menaiki kuda dengan anggun tanpa menyentuh tanah. Sering kali, kerabatnya membantu mengangkatnya ke atas kuda. Selama arak-arakan, pissawe harus mempertahankan posisi duduknya yang anggun.

Kuda-kuda yang sudah berhias kemudian ditunggangi oleh seorang wanita dewasa yang disebut pissawe, yang mengenakan pakaian adat pokko.

Mengingat pissawe tidak boleh menginjak tanah, maka kuda biasa diparkirkan dekat tangga rumah panggung, dan pissawe dinaikkan oleh suami atau keluarganya. Setelah berada di atas kuda, pissawe harus berdiri sejenak menghadap matahari dalam sebuah ritual yang disebut ussul, yang melambangkan kecantikan dan keanggunan seorang wanita. Kemudian, pissawe duduk dengan anggun, menegakkan lutut kanan dan meletakkan tangan kanan di atasnya. Posisi ini harus dipertahankan sepanjang perjalanan, menuntut ketenangan dan keseimbangan yang tinggi, mencerminkan keanggunan dan kekuatan seorang perempuan Mandar.

Arak-arakan kuda penari dipimpin oleh sawi yang memberikan instruksi kepada kuda untuk menari. Ia diikuti oleh dua orang penjaga yang disebut passarung, biasanya dari kerabat tomissawe atau anak-anak yang telah khatam Al-Qur’an. Arak-arakan ini diiringi oleh grup rebana laki-laki atau parrawanayang melantunkan selawat sepanjang perjalanan. Puisi kalindadaq, yang berisi pesan-pesan agama atau pantun, sering kali dibacakan dengan nada jenaka, menambah keseruan bagi para penonton.

Arak-arakan sayyang pattuduq biasanya dilakukan di jalan-jalan desa atau kampung, bahkan terkadang melintasi jalan provinsi. Penontonnya tidak hanya berasal dari desa setempat, tetapi juga dari daerah lain, menunjukkan besarnya minat masyarakat terhadap tradisi ini.

Tradisi sayyang pattuduq masih berlangsung hingga kini. Beberapa desa di Kecamatan Balanipa, Polewali Mandar, dan Desa Salabose, Majene, secara rutin menggelar acara ini setelah musim maulid Nabi Muhammad SAW. Seiring berjalannya waktu, sayyang pattuduq tidak hanya digelar untuk memperingati khataman Al-Qur’an, tetapi juga sebagai bentuk penyambutan tamu penting seperti tokoh masyarakat, wisatawan asing, atau pejabat. Tradisi ini telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari identitas budaya masyarakat Mandar.

Informasi Selengkapnya
  • Indonesia Kaya

  • Indonesia Kaya

  • Alimuddin, M. R. (2011) Polewali Mandar: Alam Budaya, Manusia. (https://issuu.com/ridwanmandar/docs/alam_budaya_manusia_polman)