Pada tahun 2024, UNESCO menyelenggarakan peringatan 100 tahun kelahiran Ali Akbar Navis secara internasional. Peringatan ini diinisiasi untuk menghormati hari kelahiran penulis yang lebih dikenal dengan nama pena A.A. Navis, yang jatuh pada tanggal 17 November. UNESCO telah memulai perayaannya sejak bulan Maret 2024 di berbagai universitas dan pusat bahasa.
“Karya sastra A.A. Navis menghantarkan masyarakat untuk beradab dan berbudaya. Kemudian, karyanya kritis dan relevan dengan kehidupan masyarakat,” ungkap Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO Itje Chodijah saat mengemukakan alasan digelarnya acara peringatan ini.
Karya yang paling dikenal dari pengarang kelahiran Padang Panjang, Sumatra Barat, ini adalah buku kumpulan cerita pendek (cerpen) Robohnya Surau Kami (1956). Terdapat 11 cerita dalam kumpulan cerpen ini (dua cerpen terakhir, “Penolong” dan “Dari Masa ke Masa”, ditambahkan saat dicetak ulang oleh Gramedia). Cerpen pertama dalam buku ini yang berjudul “Robohnya Surau Kami” mengabadikan nama A.A. Navis dalam dunia sastra Indonesia.
Makna Ibadah Sejati
“Robohnya Surau Kami” merupakan cerita sederhana mengenai dilema manifestasi ibadah yang dialami oleh seorang kakek penjaga surau—disebut garin—yang dalam cerita diperkenalkan oleh narator tak bernama. “Sebagai penjaga surau, Kakek tidak mendapat apa-apa. Ia hidup dari sedekah yang dipungutnya sekali se-Jumat.”
Meski hidup dalam kesederhanaan, Kakek cukup bahagia. Hingga suatu hari, ia tampak begitu muram karena seorang pembual bernama Ajo Sidi mendongengkan sesuatu yang mengusik hatinya. Dongeng itu bercerita tentang Haji Saleh yang taat beribadah, tetapi saat di akhirat malah dijatuhi hukuman masuk neraka oleh Tuhan.
Dongeng itu bercerita tentang Haji Saleh yang taat beribadah, tetapi saat di akhirat malah dijatuhi hukuman masuk neraka oleh Tuhan.
Di neraka, Haji Saleh bertemu juga dengan teman-temannya yang taat beribadah. Mereka kemudian protes kepada Tuhan dan bertanya alasan mereka dikirim ke neraka, sambil tak lupa mengajukan pembelaan “yang penting bagi kami ialah menyembah dan memuji Engkau.”
Permohonan mereka ditolak oleh Tuhan yang mengatakan, “Kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua. Sedang harta bendamu kau biarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri kau negeri yang kaya raya, tapi kau malas.”
Tak disangka, dongeng Ajo Sidi tersebut membuat Kakek kehilangan makna hidup dan akhirnya melakukan sesuatu yang berakhir tragis.
Inspirasi cerpen “Robohnya Surau Kami” berasal dari gurauan yang didengar oleh A.A. Navis di sebuah acara tentang orang-orang Eropa yang masuk surga, sementara orang Indonesia masuk neraka karena tidak mau memanfaatkan kekayaan alam yang dianugerahkan Tuhan—seolah tidak pandai mensyukuri nikmat yang diberikan kepada mereka.
Gaya bercerita “Robohnya Surau Kami” menjadi ciri khas A.A. Navis, yaitu kesederhanaan yang menyimpan pesan moral. Cerpen ini menyinggung umat-umat beragama yang menghabiskan waktu sepanjang hidupnya hanya untuk beribadah. Meskipun latar belakang ceritanya bernapaskan Islam, relevansinya mencakup segala jenis kepercayaan.
Gaya bercerita “Robohnya Surau Kami” menjadi ciri khas A.A. Navis, yaitu kesederhanaan yang menyimpan pesan moral.
Tua vs. Muda
Kesederhanaan A.A. Navis dalam bercerita juga terlihat pada cerpen-cerpennya yang lain. Selain itu, alih-alih menuding sosok asing sebagai muara kesengsaraan rakyat (ia menulis saat Jepang masih berkuasa), A.A. Navis lebih fokus pada karakter manusia Indonesia.
Ia menyindir soal haus status dan ketergantungan seseorang terhadap sebuah objek dalam cerpen “Topi Helm”. Cerita ini berkisah tentang seorang tukang rem kereta api bernama Pak Kari yang sangat menyayangi topi helm pemberian atasannya. Ia sangat bangga setiap memakai topi helm tersebut. Meskipun diolok-olok oleh rekan kerjanya, Pak Kari tak peduli. Namun, saat topi helm itu dibakar oleh kepala stasiun, ia tidak tinggal diam dan mengambil tindakan ekstrem.
Ia menyindir soal haus status dan ketergantungan seseorang terhadap sebuah objek dalam cerpen “Topi Helm”.
Kereta api kembali jadi latar dalam cerpen “Penolong”. Kali ini, A.A. Navis bercerita tentang Sidin yang membantu proses penyelamatan korban-korban kecelakaan kereta api. Sidin, pemuda pemberani namun naif, merasa heran dengan sikap nyinyir beberapa penolong lainnya.
Ketika mengenali bahwa identitas korban yang digotong adalah seorang pencatut beristri banyak, salah satu dari penolong berkomentar, “Kalau tak salah ini Mak Gadang. Semestinya ia tak ditolong.” Sementara itu, ketika ia dan seorang pemuda misterius mencoba melepaskan kaki anak perempuan yang terjepit di bawah kursi gerbong, orang-orang lain malah sibuk menyeruput kopi karena kelelahan. Cerita ini berakhir mengejutkan disertai pertanyaan keheranan di kepala Sidin, “Kenapa hanya ada orang gila di dalam gerbong itu?”
Dikotomi perspektif serta aspirasi antara orang tua dan anak muda menjadi tema yang tampaknya paling diminati A.A. Navis. Dalam cerpen “Anak Kebanggaan”, seorang duda bernama Ompi senantiasa menanti kehadiran anak tunggalnya yang telah lama merantau ke Jakarta. Ompi sangat mengagumi sang anak yang ia beri nama Indra Budiman dan menaruh harapan besar bahwa anaknya dapat tumbuh jadi pemuda yang berkarakter dan berbakti. “Coba kalau anakku, Indra Budiman, sudah jadi dokter, si mati ini akan pasti dapat tertolong,” katanya bila ada orang meninggal setelah lama menderita sakit.
Dikotomi perspektif serta aspirasi antara orang tua dan anak muda menjadi tema yang tampaknya paling diminati A.A. Navis.
“Datangnya dan Perginya” mengusung tema serupa. Ayah dan anak terpisah karena sang anak melarikan diri dari rumah setelah memergoki ayahnya—yang telah kawin-cerai beberapa kali setelah ditinggal mati istri—tidur dengan pelacur. Bertahun-tahun kemudian, Masri, sang anak, membuka pintu maaf dan mengundang ayahnya untuk berkunjung ke rumah.
Awalnya, sang ayah sempat menolak undangan tersebut karena merasa malu. Namun, menyadari usia yang telah uzur, ia pun akhirnya mengiyakan untuk bertemu anak, menantu, dan cucunya. Tak disangka, ia menemukan sosok tak terduga di rumah Masri.
Perbedaan kontras antara karakter orang tua dan anak muda menjadi inti dari “Nasihat-Nasihat”dan “Dari Masa ke Masa”. Pemberi nasihat pada cerpen pertama berasal dari para orang tua, yang meskipun bijaksana dan logis, nyatanya tak selalu benar. Sementara itu, “Dari Masa ke Masa” sebagai penutup kumpulan cerpen ini menjadi semacam epilog yang diangkat dari pengalaman sang penulis (tokoh utamanya juga bernama Navis), seorang pemuda yang tidak memanggul senjata serta wajib minta nasihat kepada orang tua sebelum melakukan apa pun.
“Setelah berpengalaman cukup banyak, saya bisa menarik kesimpulan tentang sikap orang-orang tua itu. Kalau orang partai, sambutannya selalu hangat pada kami orang muda. Tapi kalau ia pejabat, mereka selalu suka membiarkan kami menunggu berlama-lama di ruang tamu.”
Suara Sumatra
A.A. Navis (1924-2003) sudah mencetak sebanyak 22 karya tulis berupa novel, cerpen, puisi, dan esai. Namun, kumpulan cerpen Robohnya Surau Kami menjadi karyanya yang paling membekas di kalangan pencinta sastra Indonesia. Sebelumnya, cerpen-cerpen dalam buku ini sudah diterbitkan di berbagai majalah, seperti cerpen “Robohnya Surau Kami” yang telah diterbitkan di majalah Kisah pada tahun 1955, sekaligus dianugerahi juara kedua cerpen terbaik dari majalah tersebut.
A.A. Navis (1924-2003) sudah mencetak sebanyak 22 karya tulis berupa novel, cerpen, puisi, dan esai.
Kumpulan cerpen ini awalnya diterbitkan oleh penerbit lokal NV Nusantara yang berbasis di Bukittinggi dan sudah dicetak sebanyak 11 kali pada 1961. Kemudian, Gramedia Pustaka Utama mengambil alih hak cetak pada 1986.
Sebagai seorang penulis, A.A. Navis dianggap sebagai penulis angkatan terbaru. Pengamat sastra A. Teeuw berpendapat bahwa Navis merupakan pengarang yang menyerukan suara Sumatra di tengah barisan pengarang asal Jawa. Apalagi, selama masa hidupnya, ia memang menetap, bekerja (termasuk menjadi Kepala Bagian Kesenian Jawatan Kebudayaan Provinsi Sumatra Tengah di Bukittinggi), dan berkarya di Sumatra.
Sementara itu, mengenai cerpen “Robohnya Surau Kami”, A. Teeuw mengulas bahwa ceritanya sangat memikat dan menjadi simbol memudarnya kesalehan tradisional atau kesalehan introver, yakni kesalehan yang mengabaikan kepentingan sosial.
Di kala penulis lain pada zamannya kerap memilih cerita dan tema yang nasionalis, A.A. Navis justru memilih jalan lebih personal yang mencoba mengusik sisi kemanusiaan pembacanya. Yang menarik, cerita-ceritanya pun tetap relevan dengan masa sekarang.
Seperti pertanyaan yang dilontarkan dalam cerita Dari Masa ke Masa, “Coba Bung renungkan, apabila orang-orang muda sekarang diberi peran yang sama seperti apa yang kita lakukan dulu, akan apa jadinya Republik ini?”