Rendang memang maskotnya masakan Padang. Kenikmatannya jelas membuat banyak orang penasaran, tak terkecuali koki selebriti sekaliber Gordon Ramsay. Kelezatannya yang mendunia membuat sajian untuk perantau ini menyabet gelar makanan terenak peringkat pertama dalam World’s 50 Most Delicious Foods versi CNN International.
Jika rendang daging terhitung biasa, mungkin rendang paru bisa menjadi alternatif lauk makan siang di warung Padang favorit. Berbeda dengan jenis jeroan lainnya, bagian paru-paru sapi cenderung lebih bisa diterima oleh banyak orang, terutama bila disajikan sebagai rendang. Meski begitu, orang-orang dengan kolesterol tinggi perlu berhati-hati saat menikmati jeroan sapi.
Orang-orang dengan kolesterol tinggi perlu berhati-hati saat menikmati jeroan sapi.
Tak hanya dari segi rasa, perjalanan sejarah rendang hingga menjadi sumbangan budaya dari Nusantara untuk dunia juga tak kalah menarik untuk diamati.
Dari Teknik Jadi Sajian Unik
Kata “rendang” berasal dari Bahasa Minang yaitu randang. Hal ini mengacu kepada teknik memasak lambat yang disebut marandang. Arti dari kata marandang adalah mengolah dan mengaduk masakan dalam waktu lama dengan api kecil di atas kayu bakar hingga masakan menjadi kering.
Penggunaan santan dalam sajian khas Minang, erat kaitannya dengan budaya India. Berdasarkan Journal of Ethnic Foods, Volume 4, Issue 4, Desember 2017, Rendang: The Treasure of Minangkabau yang ditulis oleh Muthia Nurmufida dan kolega, rendang merupakan hasil dari perpaduan budaya masyarakat Minangkabau dengan pedagang India yang membawa hidangan kari khas mereka ke Indonesia.
Masyarakat Minangkabau kemudian mengadaptasi hidangan kari tersebut menjadi gulai yang memiliki kuah khas, sebelum akhirnya diolah menjadi rendang yang hampir tidak memiliki kuah. Proses memasak rendang sendiri memakan waktu sekitar 6-7 jam. Hal ini dilakukan agar daging bisa menjadi lebih kering sehingga dapat bertahan lebih lama.
Proses memasak rendang sendiri memakan waktu sekitar 6-7 jam.
Sebagai bagian dari warisan budaya masyarakat Minangkabau, rendang diyakini telah dikenal sejak 1550 M, seperti yang dikutip dari Jurnal Jantra, Jurnal Sejarah & Budaya, Vol. 9 no 1, Juni 2014, Struktur Simbolik Kuliner Rendang di Tanah Rantau oleh Martian dan Robby Hidajat. Hal ini dikarenakan pada waktu itu masyarakat Minangkabau sering merantau dan membutuhkan makanan yang tahan lama untuk dibawa sebagai bekal selama perjalanan. Pada masa tersebut, rendang biasa dibungkus dengan daun pisang.
Rendang tidak hanya berfungsi sebagai bekal saat melakukan perjalanan, tetapi juga memiliki peran penting dalam ritual adat. Misalnya saja pada saat pengangkatan Datu yang disebut Bajamba Gadang, atau dalam ritual adat saat kematian yang disebut Pesta Ratok atau meratap. Dalam ritual adat ini, rendang biasanya dimasak oleh kaum laki-laki Minang.
Walau rendang dapat dengan mudah ditemui dalam kehidupan sehari-hari, dalam berbagai upacara adat, rendang tetap menempati posisi paling istimewa di antara hidangan khas Minangkabau lainnya. Selain itu, rendang juga dijuluki sebagai Kepalo Samba (induk makanan) dalam tradisi Minangkabau. Dalam penyajiannya, rendang kerap disajikan bersama gulai, sayur rebung, ikan goreng, dan sayur nangka.
Filosofi Rendang
Berbagai sumber sejarah dan budaya menyebut bahwa sajian rendang mengandung filosofi yang lantas menjadikannya prinsip hidup orang Minangkabau, yakni kesabaran, kebijaksanaan, dan kegigihan.
Sajian rendang mengandung filosofi yang lantas menjadikannya prinsip hidup orang Minangkabau, yakni kesabaran, kebijaksanaan, dan kegigihan.
Nilai kesabaran tergambarkan dari proses memasaknya yang memakan waktu hingga 6-7 jam. Hal ini mengajarkan kita untuk memiliki kesabaran dan menghargai setiap tahapan dalam kehidupan.
Nilai kebijaksanaan didapatkan pada saat proses memasak rendang, yaitu diperlukan kecermatan dalam mengatur suhu api, memilih bahan-bahan, serta rempah-rempah terbaik, untuk mencapai cita rasa rendang yang diinginkan.
Sedangkan nilai kegigihan diambil dari proses memasak rendang yang memerlukan kegigihan dalam mengaduk daging yang sedang dimasak, jika ingin mendapatkan rendang yang kering sempurna.
Dalam upacara adat masyarakat Minangkabau pada masa lalu, rendang biasa dibuat menggunakan daging kerbau. Namun, karena kerbau sudah semakin langka, maka rendang kini lebih sering dibuat menggunakan daging sapi dan ayam. Sementara itu, sebagai bentuk variasi olahan jeroan khas Padang, bagian jeroan sapi seperti paru juga turut diolah sebagai rendang.
Menyajikan Rendang Paru di Rumah
Tak ada perbedaan signifikan dalam proses pembuatan rendang daging maupun rendang paru. Paru-paru sapi sendiri memang memiliki tekstur yang lebih kenyal saat dikunyah. Untuk orang yang jarang makan bagian paru, mungkin akan gampang mengira bahwa itu bagian daging. Apalagi ketika memakan rendang paru yang tersaji dengan kering sempurna.
Namun, rendang paru membutuhkan waktu memasak yang lebih lama bila dibandingkan dengan rendang daging. Jumlah bumbu dan santan yang digunakan di dalam rendang paru pun relatif lebih banyak.
Rendang paru membutuhkan waktu memasak yang lebih lama bila dibandingkan dengan rendang daging.
Bumbu-bumbu yang digunakan meliputi cabai merah, bawang putih, jahe, lengkuas yang dihaluskan, serta berbagai jenis dedaunan yang diiris halus. Setidaknya, dibutuhkan santan 1,5 kali lebih banyak dari rendang yang terbuat dari daging. Tak hanya itu, takaran bumbu yang digunakan juga lebih banyak.
Tertarik menyajikan rendang paru untuk keluarga di rumah? Cek resep rendang paru yang bisa disimpan lama untuk lauk sehari-hari melalui tautan di atas. Tersedia juga resep olahan daging dan jeroan khas Indonesia yang bisa dimasak dengan mudah lewat situs resep makanan tersebut. Selamat mencoba!