Rencong, Senjata Tradisional dari Bumi Serambi Mekah - Indonesia Kaya

Cari dengan kata kunci

Aceh_-_Rencong_besar_dengan_sarung_besi_-_IE.jpg

Rencong, Senjata Tradisional dari Bumi Serambi Mekah

Dengan bentuknya yang unik dan sarat makna filosofis, rencong menjadi identitas tersendiri bagi masyarakat Aceh.

Kesenian

Api dipanaskan. Bahan-bahan disiapkan. Di tumpuen (dapur tempat menempa), perajin mulai bekerja. Mula-mula besi ditempa lalu dibakar dengan api bersuhu tinggi. Bersamaan dengan itu, perajin merancang dan menempa besi itu menjadi mata pisau. Selesai pembakaran dan besi menjadi dingin, dia membersihkannya dari karat dengan asam. Mata pisau yang telah terbentuk dihaluskan menggunakan kikir lalu diberi hiasan.

Tahap selanjutnya membuat gagang dan sarung dari bahan tanduk, kayu kemuning, gading, bahkan terkadang perak atau emas. Perajin membentuk lekukan gagang dengan besi bulat dan melubanginya menggunakan bor. Setelah gagang selesai dibuat, baru kemudian dihias atau diukir. Pisau yang sudah jadi lalu dihaluskan dengan kertas pasir.

Rencong, yang dikenal sebagai identitas orang Aceh, membuat Aceh dijuluki “Tanah Rencong”.

Begitulah proses pembuatan rencong, salah satu senjata tradisional Aceh. Rencong, yang dalam bahasa Aceh disebut reuncong atau rincong, sudah lama menjadi identitas orang Aceh. Tak heran jika Aceh dikenal dengan sebutan “Tanah Rencong”.

Sama seperti keris, rencong diduga dipengaruhi oleh senjata tikam dari kebudayaan Dong Son di Vietnam Utara, yang telah ada sejak abad ke-1 Masehi. Barbara Leigh, seorang peneliti asal Australia, dalam bukunya Tangan-tangan Trampil: Seni Kerajinan Aceh, menyebutkan bahwa senjata-senjata seperti rencong telah ada jauh sebelum pengaruh Islam masuk ke Aceh. Barulah setelah itu, senjata tersebut diagungkan dan dikaitkan dengan bentuk aksara Arab. Leigh berpendapat bahwa penafsiran ini mudah dilakukan karena fleksibilitas bentuk huruf-huruf Arab.

Seperti keris, rencong diduga terpengaruh senjata tikam dari kebudayaan Dong Son di Vietnam Utara sejak abad ke-1 Masehi.

Bentuk rencong dipercaya merepresentasikan kalimat “Bismillah”. Gagangnya yang melengkung lalu menebal pada bagian siku ditafsirkan sebagai huruf Arab “ba”. Bagian gagang yang lurus dan digenggam melambangkan huruf “sin”. Bagian yang meruncing tajam pada pangkal besi, dekat gagang, diartikan sebagai huruf ‘mim’. Bilah besi dari pangkal gagang hingga mendekati ujung melambangkan huruf “lam”. Sementara ujung yang meruncing dengan bagian atas datar dan bagian bawah sedikit melengkung ke atas diartikan sebagai huruf “ha”.

“Mata rencong tidak pernah berubah bentuk, karena bentuk mata itu mencerminkan kalimat Bismillah sebagai kalam pertama untuk memulai sesuatu pekerjaan di kalangan masyarakat Islam,” tulis T. Syamsuddin dan M. Nur Abbas, dosen Sejarah Fakultas Keguruan Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, dalam Reuncong.

Mata rencong tidak pernah berubah bentuk, karena bentuk mata itu mencerminkan kalimat “Bismillah”.

Terdapat beberapa versi mengenai asal-usul rencong. Satu sumber menyebutkan bahwa rencong mulai dibuat pada awal abad ke-13 Masehi ketika Kerajaan Islam Samudra Pasai berdiri. Sumber lain menginformasikan bahwa rencong diciptakan pada abad ke-16 Masehi atas perintah Sultan Alauddin al-Qahhar.

Sementara Syamsuddin dan Nur Abbas mencatat bahwa rencong mulai digunakan sebagai senjata dalam peperangan sejak masa Sultan Ali Mughayat Syah, pendiri Kesultanan Aceh, ketika menghadapi penjajahan Portugis. “Senjata rencong mulai menemukan bentuk yang sebenarnya pada waktu itu,” tulis mereka.

Keberadaan rencong tercatat dalam Hikayat Pocut Muhamat pada abad ke-18 Masehi. Karya sastra tersebut menceritakan tokoh Pocut Muhamat memberi perintah “membuat senjata rencong” sehingga untuk keperluan itu “besi terkumpul dari segala penjuru”.

Butuh waktu bertahun-tahun untuk menyelesaikan sebilah rencong.

Pada zaman dulu, rencong dibuat oleh utoh (empu/perajin). Karena dianggap mempunyai “isi” atau nilai magis tertentu, cara membuatnya tak boleh sembarangan. Butuh waktu bertahun-tahun untuk menyelesaikan sebilah rencong. Pemakainya pun terbatas pada sultan dan uleebalang (kaum bangsawan) sebagai simbol kebesaran. Dalam perkembangannya, rencong digunakan berbagai kalangan sebagai perhiasan, perkakas, maupun senjata perang.

Sebagai perhiasan, rencong dipakai pada upacara pernikahan dan upacara penting lainnya. Sebagai perkakas, rencong biasa digunakan untuk melubangi pelepah rumbiah untuk dijadikan dinding rumah–kecuali jenis rencong tertentu yang dianggap bernilai religius.

Rencong juga menjadi senjata perang sekaligus lambang keberanian dalam melawan penjajahan.

Rencong juga menjadi senjata perang sekaligus lambang keberanian dalam melawan penjajahan. Selama Perang Aceh (1873-1904), tidak sedikit tentara Belanda yang kena tikam rencong para pejuang dan rakyat Aceh.

Ada beberapa jenis rencong. Pertama, rencong pudoi yang belum sempurna karena gagangnya lurus dan pendek. Kedua, rencong meukure yang diberi hiasan pada mata pisaunya dan dianggap punya kekuatan magis. Ketiga, rencong meupucok yang memiliki pucuk dan biasanya terbuat dari emas pada atas gagangnya. Keempat, rencong meucugek yang pada gagangnya terdapat cugek (bentuk panahan dan perekat) agar mudah dipegang dan tak lepas waktu menikam badan lawan.

Pemakaian rencong disesuaikan dengan strata sosial. Sultan dan uleebalang menyelipkan rencong meupucok. Golongan ulama memakai rencong meucugek dengan gagang dilapisi suasa (logam campuran emas dengan tembaga). Sedangkan rakyat biasa menggunakan rencong meucugek dengan gagang dilapisi perak atau bahkan terbuat dari kayu maupun tanduk.

Pemakaian rencong disesuaikan dengan strata sosial.

Menurut Sri Waryanti dari Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh dalam “Makna Rencong bagi Ureueng Aceh” di jurnal Patanjala Vol. 5 No. 3, September 2013, dalam masyarakat Aceh terdapat kepercayaan bahwa rencong bisa melindungi pemiliknya dari gangguan makhluk halus atau mengobati kerasukan. Rencong ini biasanya diwariskan turun-temurun dan dijaga dengan baik. Ia tak boleh dipakai kalau tak perlu betul atau dalam kondisi terdesak. Menyimpannya tak boleh sembarangan dan tempatnya harus dirahasiakan.

Ada juga pantangan yang tak boleh dilanggar. Sebagai contoh, bila ingin memperlihatkan sebilah rencong, kita tak boleh mengeluarkan dari sarungnya. “Apalagi kita sampai mempermainkannya atau menyentik-nyentik ujung yang runcing itu di hadapan kawan ataupun di muka umum, hal itu sangat dilarang karena akibatnya akan dapat membawa malapetaka bagi pemiliknya,” ungkap Sri Waryanti.

Kini, rencong lebih sering digunakan sebagai perhiasan atau atribut busana dalam upacara tradisional.

Kini, rencong lebih sering dipakai sebagai perhiasan atau atribut busana dalam upacara tradisional seperti pernikahan. Rencong, biasanya dengan gagang berlapis emas dan ukiran berbagai motif, diselipkan di pinggang bagian depan. Pemakaiannya melambangkan keberanian seorang lelaki dalam memimpin keluarga setelah menikah.

Kendati jumlah pembuatnya semakin sedikit, rencong masih ditempa di beberapa desa di Aceh. Hasil kerajinan mereka tersebar luas dan dapat ditemukan di hampir semua toko kerajinan khas Aceh. Ukuran adalah salah satu faktor penentu harga sebuah rencong. Semakin panjang, semakin mahal harganya. Namun, untuk rencong koleksi khusus, harganya bisa mencapai ratusan ribu hingga jutaan rupiah.

Informasi Selengkapnya
  • Indonesia Kaya

  • Tim Indonesia Exploride

  • Barbara Leigh. Tangan-tangan Trampil: Seni Kerajinan Aceh. Jakarta: Djambatan, 1989.
    Sri Waryanti. “Makna Rencong bagi Ureueng Aceh”, jurnal Patanjala Vol. 5 No. 3, September 2013.
    T. Syamsuddin dan M. Nur Abbas. Reuncong. Aceh: Proyek Pengembangan dan Permuseuman Daerah Aceh, 1981.