Dari banyaknya tari tradisional Bali, legong merupakan salah satu tari non-ritual yang tetap lestari dari bertahan melintasi zaman. Tari yang dicirikan dengan gerak tubuh dinamis, gestur jemari lentik, dan delik mata yang tajam ini telah bertahan selama hampir 200 tahun.
Awalnya, tari legong merupakan tarian sakral yang dipentaskan khusus pada perayaan odalan di dalam Pura Payogan Agung, Sukawati. Dari tarian sakral inilah kemudian berkembang sebuah tarian hiburan untuk kalangan bangsawan, yang menjadi cikal bakal tari legong modern.
Menurut Babad Dalem Sukawati, tari ini diperkirakan muncul sekitar tahun 1811.
Berdasarkan Babad Dalem Sukawati, tari ini diperkirakan telah ada sejak sekitar tahun 1811. Konon, Raja I Dewa Agung Made Karna mendapatkan ilham setelah melakukan pertapaan selama 42 malam di Pura Payogan Agung, Desa Ketewel. Dalam pertapaannya, beliau melihat visi para bidadari yang menari anggun dengan iringan musik merdu. Terinspirasi oleh penglihatan tersebut, sang raja kemudian merancang koreografi dan aransemen musik yang serupa. Setelah tari tersebut selesai, beliau mengajarkannya kepada masyarakat Desa Ketewel.
Tari ini kemudian diberi nama “legong”, dari penggabungan “leg” dan “gong”. “Leg” bermakna gerak tubuh yang gemulai, sementara “gong” merupakan salah satu instrumen musik pengiring gerak sang penari. Berdasar penggabungan dua kata tersebut, “legong” dapat dimaknai sebagai perpaduan harmonis antara gestur tangan dan kaki yang gemulai dengan permainan instrumen gong.
“Legong” berarti perpaduan harmonis gerak tangan dan kaki yang gemulai dengan iringan gong.
Tari legong klasik, yang dulunya hanya dipentaskan di lingkungan keluarga bangsawan, memiliki pakem baku yang membedakannya dengan jenis legong lainnya. Munculnya banyak varian tari non-sakral pada tahun 1930-an hingga 1950-an membuat istilah ‘legong klasik’ menjadi rancu. Oleh karena itu, tari non-sakral versi awal ini kemudian dibakukan dengan nama ‘legong keraton’.
Tari legong keraton biasanya mengangkat cerita tentang raja-raja Bali atau kisah dari cerita Ramayana. Saat ini, cerita yang biasa dibawakan dalam tari legong keraton antara lain “Bapang”, “Candra Kanta”, “Jobong”, “Kuntul”, dan “Lasem”.
Tari legong keraton umumnya mengangkat kisah raja-raja Bali atau cerita Ramayana.
Dalam setiap pertunjukan, tari legong keraton akan dibagi ke dalam 4-5 bagian. Empat bagian utama dari tari legong adalah papeson (pembukaan), pengawak (bagian utama), pengencet (pengembangan dari bagian utama), dan pekaad (penutup). Selain keempat bagian tersebut, pada beberapa tipe legong, terdapat bagian pengipuk, yaitu babak yang berisi adegan percintaan atau pertempuran.
“Tari Legong Lasem, yang menceritakan kisah penculikan Dewi Langkesari oleh Prabu Lasem, sering dipentaskan di berbagai tempat, seperti panggung amphitheater di kompleks Garuda Wisnu Kencana. Pertunjukan ini terbagi menjadi sembilan babak yang mengisahkan perjuangan Dewi Langkesari untuk membebaskan diri dengan bantuan burung garuda. Alur cerita berakhir dengan kekalahan Prabu Lasem.